Breaking News
Loading...

Mengapa Syiah Menganggap Diri Mereka sebagai Korban Sejarah?


Syiahindonesia.com -
Salah satu narasi yang sering diulang-ulang oleh Syiah adalah bahwa mereka adalah "korban sejarah", seolah-olah umat Islam Sunni telah menzalimi mereka sejak zaman dahulu. Narasi ini bukan hanya sekadar keluhan, tetapi sebuah strategi untuk memancing simpati dunia, membenarkan keyakinan menyimpang mereka, dan melanggengkan dendam terhadap mayoritas umat Islam.

1. Menciptakan Imajinasi Penindasan

Syiah membangun kisah bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, hak Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah "dirampas" oleh para sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka mengklaim bahwa sejak saat itu, Syiah menjadi korban penganiayaan politik dan agama.

Padahal, fakta sejarah menunjukkan bahwa umat Islam memilih Abu Bakar sebagai khalifah melalui musyawarah sahabat, dan Ali sendiri berbaiat kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman tanpa paksaan. Narasi pengkhianatan dan penindasan ini dibangun untuk memicu kebencian generasi Syiah terhadap para sahabat Nabi ﷺ dan mayoritas umat Islam.

2. Membalikkan Peran Pelaku dan Korban

Syiah sering menuduh kaum Sunni menindas mereka, padahal dalam banyak kasus sejarah, justru Syiah-lah yang melakukan pengkhianatan dan pemberontakan. Misalnya:

  • Di masa Khalifah Ali sendiri, kelompok Syiah justru memberontak hingga menyebabkan perpecahan besar.

  • Dalam sejarah Abbasiyah dan Fatimiyah, kelompok Syiah berkali-kali melakukan makar politik berdarah.

Namun mereka tetap berusaha membalikkan fakta: mereka yang memberontak disebut "pejuang kebenaran", sedangkan umat Islam yang mempertahankan persatuan disebut "penindas".

3. Membenarkan Ritual dan Ideologi Menyimpang

Dengan memainkan narasi "korban sejarah", Syiah membenarkan berbagai ritual aneh mereka, seperti:

  • Menangisi kematian Husain setiap tahun dalam perayaan Asyura.

  • Melakukan penyiksaan diri sebagai bentuk "penyesalan" dan "kesetiaan".

  • Membenci sahabat-sahabat utama seperti Abu Bakar dan Umar atas dasar "balas dendam sejarah".

Padahal Islam mengajarkan larangan berlebihan dalam berduka, apalagi dengan menyiksa diri sendiri atau memelihara dendam sejarah yang tidak berdasar.

4. Strategi Politik Modern

Di era modern, Syiah menggunakan narasi korban ini untuk meraih dukungan politik internasional. Mereka menampilkan diri seolah-olah selalu menjadi pihak yang tertindas oleh mayoritas Sunni. Ini menjadi alat propaganda untuk mendapatkan simpati, dana, dan perlindungan dari negara-negara besar.

Contoh propaganda modern:

  • Mengklaim bahwa minoritas Syiah di negara-negara Sunni adalah korban diskriminasi, padahal banyak dari mereka justru menjalankan agenda penyusupan.

  • Menggunakan media untuk menampilkan konflik sektarian sebagai upaya "perlawanan" atas nama keadilan.

Strategi ini digunakan untuk mengaburkan fakta bahwa banyak konflik justru dipicu oleh provokasi kelompok Syiah itu sendiri.

5. Membentuk Identitas Berbasis Kebencian

Narasi korban ini berfungsi untuk menanamkan identitas Syiah sebagai komunitas yang "berbeda dan lebih suci" dibandingkan umat Islam lainnya. Dengan terus menerus menekankan bahwa mereka "dikhianati" dan "ditindas", Syiah memperkuat loyalitas buta di kalangan pengikutnya dan memperpanjang permusuhan sektarian tanpa akhir.

Kesimpulan

Klaim Syiah sebagai korban sejarah bukanlah fakta obyektif, melainkan bagian dari strategi besar untuk mengaburkan penyimpangan mereka dari ajaran Islam yang murni. Dengan menciptakan mitos penindasan, mereka membenarkan ajaran sesat, memperdalam perpecahan, dan meraih simpati dunia. Umat Islam harus memahami propaganda ini dengan baik, agar tidak terjebak dalam perangkap narasi palsu dan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ sesuai pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah.

(albert/syiahindonesia.com)



************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: