Breaking News
Loading...

Kritik Tafsir Hadits ‘Ithrah Versi Syiah; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum (Bag. 2)

Syiahindonesia.com - Artikel ini lanjutan dari artikel "Kritik Tafsir Hadits ‘Ithrah Versi Syiah; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum (Bag. 1)"

Makna “Al‘Ithrah” Secara Bahasa

Menurut pakar bahasa, kata “’Ithratu Rajuli” adalah anak keturunan saja, berdasarkan hal ini maka Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dalam hadits diatas, sebab ia tidak termasuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ia bukan anak keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh lainnya dari perkataan para pakar bahasa dari ensiklopedi kamus bahasa terbesar sampai abad kesepuluh hijriyah yaitu “Lisanul Arab” dimana penulis menjelaskan secara detail makna diatas, begitu halnya ensiklopedi kamus bahasa terbesar yang datang setelahnya “Taaj Al Arus” yang menguatkan makna di atas.

Disebutkan bahwa “Al ‘Ihtrah” memiliki dua makna secara bahasa,pertama dari pakar bahasa, dan kedua dari yang menjelaskan hadits ini

Makna pertama disandarkan kepada bentuk jazm, dan kedua disebutkan dalam bentuk tamridhyaitu dengan lafadz yang menunjukkan bentuk tadh’if dalam bahasa, berikut bentuk perkataan beliaurahimahullah.

Beliau mengatakan dalam bentuk Al Mu’tamidah (makna yang disandarkan kepada bentuk jazm)
“Abu Ubaidah dan yang lainnya mengatakan;“’Ithratur Rajuli wa usratuhu wa fashilatuhu artinya adalah anak keturunan ke bawah.”

Ibnu Al Atsir berkata;“’Ithratur Rajuli (keluarga seseorang) lebih khusus dari kerabatnya.”
Ibnu Al‘Araby berkata; “Al ‘Ithrah adalah anak seseorang dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.” Ia juga mengatakan; “’Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah anakFathimah alaihassalam”

Beliau mengatakan dalam bentuk tadh’if yang mengisyaratkan penolakan terhadap penafsiran ini
Diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata;“Al Ithrah adalah batang pohon.”Selanjutnya ia berkata;‘Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abdul Mutthalib dan anak-anaknya.
Dikatakan juga bahwa ‘Ithrahnya adalahAhlubaitnya yang terdekat, mereka adalah anak-anaknya, Ali dan anak-anaknya.Ada juga yang mengatakan; ‘Ithrahnya adalah kerabat terdekat dan yang terjauh diantara mereka. Ada juga yang mengatakan; “’Ithrahnya seseorang adalah kerabatnya dari anak pamannya yang terdekat.”[1]

Ketika para pakar bahasa menyatakan bahwa makna “’Ithrah” adalah keturunannya saja, maka para tokoh Syi’ah telah memahaminya bahwa Ali bin Abi Thalib tidak trermasuk dalam cakupan hadits ini, sehingga mengharuskan adanya penafsiran dengan cara menghilangkan masalah ini meski masih terlihat serampangan,sehingga mereka membagi masalah ini menjadi dua pandangan yang keduanya justru membantah masalah Imamah.

Pertama,klaim bahwa ‘Ithrah adalah mereka yang berasal dari Bani Hasyim, diantaranya adalah paman-paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ali termasuk di dalamnya.

Akan tetapi hal ini membatalkan klaim mereka terhadap keimamahan Ali, karena perintahnya adalah mengikuti seluruh bani Hasyim, jadi tidak hanya ada dua belas imam yang mas’shum, namun seluruh Ahlulbait adalah ma’shum, dan ini tidak ada yang mengatakan satu pun dari mereka.

Al Mufid–salah seorang tokoh Syi’ah abad kelima hijriyah- dalam menjelaskan riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu; Kitabullah dan ‘itrahku ahlibaitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga.” Dia berkata;“Semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrahnya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan ahlibaitnya.”[2]

Saya jawab;“Jika semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrah beliau, tentunya tidak terhitung lagi yang menjadi imam.Karena mereka tidak berbicara keimamahan Bani hasyim, maka riwayat yang menyatakan keimamahan menjadi terbantahkan.

Kedua,takwil yang menyatakan bahwa Ali termasuk dalam cakupan hadits ini, karena Ali adalah Abu Al Ithrah, ini merupakan takwilan yang dipaksakan.

Setelah Al Majlisi menyebutkan hadits tentang makna ‘Ithrah, ia berkata: “Bila ada yang bertanya; seperti yang kalian kehendaki, semestinya Amirul Mukminin Ali bukan termasuk ‘Ithrah, karena makna ‘Ithrah hanya terbatas untuk anak dan keturunannya saja.”

Maka kami jawab; “Siapa diantara orang Syi’ah yang berpendapat demikian, mestinya ia mengatakan bahwa Amirul mukminin termasuk dari ‘Ithrah meskipun namanya tidak tercakup secara langsung, sebagaimana tidak disebutkannya nama anak secara langsung, karena Ali ‘alaihi salam adalah Abu Al ‘Ithrah, sayyid dan orang pilihannya. Meskipun tidak dicantumkan nama seseorang dalam cakupan hadits,namun ia tetap mendapatkan posisi dalam hadits.”[3]

Lihatlah saudaraku para pembaca sekalian, betapa lancangnya Al Majlisi mengatakan hal itu demi menarik simpati pengikutnya, dia mengatakan;“Meskipun namanya tidak tercakup secara langsung” maka ia harus dicantumkan ke dalam cakupan hadits meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkannya, inilah maksud perkataan Al Majlisi.

Seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan maksud hadits diatas, sehingga perlu penjelasan dari Syi’ah.Ini adalah tuduhan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan hekekat agama dengan penjelasan yang pasti yang dapat menghilangkan perselisihan. Padahal Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah mempercayakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjelaskan agama ini, dan tidak mungkin Allah mempercayakan penjelasan agama kepada orang yang tidak mampu menjelaskan seperti yang telah Allah percayakan kepada beliau, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari perkataan yang tidak benar ini.

Jika yang dimaksud adalah sebagian dari keturunannya, niscaya beliau akan menyebutkannya secara jelas, lalu kenapa beliau menyebutkan perkataan yang membutuhkan kepada penjelasan? –jika lafazh ini memang seperti itu- maka ini merupakan makna yang dimaksud, dan ini juga akan meruntuhkan dalil imamah dari dasarnya, namun makna seperti ini tidak benar dan makna yang lainnya juga tidak benar, karena ketidak abasahannya lafazh tersebut dari asalnya sebagaimana penjelasan yang lalu.


[1]Lisan Al ‘Arab (4/536)
[2]Al Masail Al Jarudiyah (hal. 40)
[3]Bihar Al Anwar (23/157,158)

Sumber: Ahadits Istadalat biha asyiah al itsna 'asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab

(nisyi/syiahindonesia.com)

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: