Syiahindonesia.com - Salah satu perbedaan paling mendasar antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Syiah adalah sikap terhadap Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhum. Jika Sunni menempatkan mereka sebagai generasi terbaik, pemimpin terbaik, dan orang-orang yang diridhai Allah, maka Syiah justru menolak keabsahan tiga khalifah pertama dan hanya mengakui kepemimpinan Ali secara mutlak. Pandangan Syiah ini bukan hanya berbeda, tetapi bertentangan dengan bukti sejarah, dalil Al-Qur’an, dan sunnah Nabi ﷺ.
1. Akar Masalah: Doktrin Imamah versi Syiah
Syiah meyakini bahwa Nabi ﷺ telah menunjuk Ali sebagai penerus kepemimpinan secara nash dan bahwa imamah adalah ketetapan ilahi. Mereka mengklaim kepemimpinan umat tidak boleh dipilih melalui musyawarah sebagaimana yang dilakukan para sahabat.
Karena itu, menurut Syiah:
-
Abu Bakar,
-
Umar,
-
dan Utsman
semuanya dianggap merebut “hak” Ali.
Inilah akar dari penolakan terhadap Khulafaur Rasyidin.
2. Syiah Mengklaim Baiat kepada Abu Bakar Tidak Sah
Dalam sejarah Islam, para sahabat sepakat membaiat Abu Bakar di Saqifah. Namun Syiah mengklaim bahwa baiat tersebut ilegal dan dilakukan secara terburu-buru, bahkan tanpa hak.
Padahal kenyataannya:
-
Ali sendiri membaiat Abu Bakar, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
-
Tidak ada satu pun sahabat besar yang menolak kepemimpinan Abu Bakar.
-
Abu Bakar merupakan sahabat yang paling dekat dengan Nabi ﷺ, termasuk orang yang menemani beliau saat hijrah.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penolakan Syiah tidak memiliki basis sejarah yang kuat.
3. Penolakan terhadap Umar dan Utsman Berakar dari Kebencian Politik
Syiah menuduh Umar dan Utsman terlibat dalam berbagai konspirasi, mulai dari “merebut kekuasaan” hingga merusak agama. Padahal keduanya:
-
adalah bagian dari Asy-Syurah (enam orang ahli syura pilihan Nabi ﷺ),
-
diakui sebagai orang-orang terbaik oleh generasi sahabat,
-
berperan besar dalam perluasan wilayah Islam.
Allah berfirman:
﴿ وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ ... رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ﴾
“Orang-orang Muhajirin dan Anshar yang terdahulu… Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
(QS. At-Taubah: 100)
Ayat ini mencakup Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Maka bagaimana mungkin Allah meridhai orang yang dianggap Syiah sebagai pengkhianat?
4. Syiah Menganggap Sebagian Besar Sahabat Telah Murtad
Menurut doktrin Syiah, hanya 3–7 sahabat yang tetap “beriman” setelah wafatnya Nabi ﷺ. Artinya, mayoritas sahabat dianggap:
-
murtad,
-
munafik,
-
atau pengkhianat.
Pandangan ekstrem ini secara otomatis membuat keputusan mereka tidak dianggap sah, termasuk dalam memilih khalifah.
Padahal Islam mengajarkan bahwa generasi sahabat adalah generasi terbaik.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي »
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Jika Syiah menolak hampir seluruh sahabat, otomatis mereka menolak legitimasi Khulafaur Rasyidin.
5. Penolakan Ini Diperkuat oleh Doktrin Politik Syiah
Di Iran dan pusat-pusat kekuasaan Syiah lainnya, imamah dijadikan alat politik. Dengan mengagungkan Ali dan menghapus legitimasi Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Syiah:
-
membangun narasi bahwa hanya mereka yang memiliki kepemimpinan sah,
-
memonopoli tafsir agama,
-
menciptakan loyalitas mutlak kepada imam.
Penolakan terhadap Khulafaur Rasyidin adalah bagian dari desain politik ini.
6. Syiah Salah Menafsirkan Peristiwa Ghadir Khum
Syiah mengklaim bahwa Nabi ﷺ telah menunjuk Ali sebagai khalifah lewat hadis Ghadir Khum. Mereka menafsirkan kata:
« مَوْلَى »
sebagai: “pemimpin politik setelah Nabi”.
Padahal seluruh ulama Sunni sepakat bahwa dalam konteks Ghadir Khum, “mawla” berarti:
-
orang yang dicintai,
-
orang yang dekat,
-
atau wali dalam makna umum.
Jika Nabi bermaksud menunjuk pengganti, tentu beliau akan melakukannya ketika khutbah wada‘, bukan di tengah perjalanan di padang pasir.
7. Klaim Syiah Bertentangan dengan Fakta Sejarah
Beberapa fakta sejarah yang bertentangan dengan keyakinan Syiah:
-
Ali menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar.
-
Ali membaiat Abu Bakar dan Umar serta menjadi penasehat mereka.
-
Ali menamai putra-putranya dengan nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
-
Tidak ada konflik fisik antara Ali dan para khalifah sebelumnya.
Fakta-fakta ini mustahil terjadi jika Ali membenci atau menolak kepemimpinan mereka.
8. Sikap Syiah Merusak Persatuan Umat
Dengan menolak legitimasi Khulafaur Rasyidin, Syiah sekaligus:
-
menolak sejarah Islam yang otentik,
-
menolak sunnah yang diriwayatkan sahabat,
-
merusak fondasi persatuan umat,
-
membuka pintu kebencian terhadap Sunni.
Padahal Allah memerintahkan:
﴿ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ﴾
“Berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan janganlah bercerai-berai.”
(QS. Ali Imran: 103)
Penolakan Syiah justru mengarah kepada perpecahan.
Kesimpulan
Syiah tidak mengakui keabsahan Khulafaur Rasyidin karena:
-
doktrin imamah ekstrem yang mengharuskan Ali sebagai satu-satunya pemimpin,
-
keyakinan bahwa para sahabat (kecuali sedikit) telah murtad,
-
salah tafsir terhadap peristiwa Ghadir Khum,
-
narasi politik untuk menguatkan ideologi Syiah,
-
kebencian teologis terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Padahal sejarah, dalil Al-Qur’an, dan sunnah Nabi ﷺ menunjukkan dengan jelas bahwa tiga khalifah pertama adalah orang-orang yang Allah ridha kepada mereka. Penolakan Syiah tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya bagi kesatuan umat.
(albert/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: