Nikah Mut'ah diharamkan bagi mayoritas umat Islam, khususnya, Sunni, secara mutlak. Hal ini untuk melawan pemahaman syiah yang justru menghalalkannya. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As Sunnah menjelaskan, pernikahan mut'ah tidak berkaitan dengan hukum-hukum pernikahan yang disebut dalam Alquran. Contohnya talak, iddah, dan pewarisan (antara suami-istri). Karena itu, pernikahan tersebut tidak sah seperti pernikahan-pernikahan lain yang tidak sah menurut agama Islam.
Banyak hadis yang mengharamkannya. Contohnya, apa yang diriwayatkan dari Saburah Al-Juhani, dia pernah bersama Rasulullah SAW dalam peristiwa pembebasan Makkah. Ketika itu, dia memang pernah mengizinkan anggota pasukan Muslim untuk melakukan mut'ah. Namun, ketika bersiap-siap meninggalkan kota itu, dia mengharamkannya. Dalam riwayat Ibn Majah disebutkan, Rasulullah SAW telah mengharamkan mut'ah."Wahai kalian semua, sebelum ini aku telah mengizinkan kalian melakukan perkawinan mut'ah. Kini ketahuilah, Allah SWT telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat."
Kalangan syiah yang seringkali mengkultuskan Ali bin Abi Thalib termasuk di antara kalangan yang menjalankan nikah mut'ah. Namun ternyata ada hadits yang diriwayatkan oleh Ali yang esensinya justru mengharamkan nikah mut'ah. Rasulullah pun bersabda seperti diriwayatkan Ali bin Abi Thalib. Nabi mengeluarkan larangan nikah mut'ah pada peristiwa Khaibar. "Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut'ah dengan wanita pada perang Khaibar dan makan himar ahliyah. "(HR Bukhari dan Muslim).
Sayyid Sabiq pun menjelaskan, mut'ah hanya bertujuan untuk melampiaskan syahwat seksual semata. Tidak ada tujuan memperoleh anak serta mendidik mereka. Padahal, itulah sejatinya tujuan asli perkawinan. Karena itu, menurut Sayyid Sabiq, mut'ah lebih menyerupai perzinaan. Mut'ah pun merugikan pihak perempuan karena dia menjadi seperti barang dagangan yang berpindah-pindah dari tangan satu ke tangan lain. Hanya, Sayyid Sabiq sempat menjelaskan memang ada beberapa sahabat Nabi serta dari kalangan tabiin yang menyatakan nikah mut'ah halal. Di antaranya, yakni pendapat Abdullah bin Abbas ra. Hanya, sahabat Rasulullah tersebut mengungkapkan, kehalalan mut'ah hanya untuk keadaan darurat. Tidak untuk semua keadaan secara mutlak. Abdullah bin Abbas pun, ketika mendengar banyak orang melakukan mut'ah berdasarkan fatwanya, dia sangat terkejut. Dia lantas berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Bukan seperti itu yang kumaksud dalam fatwaku. Sungguh aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana Allah SWT menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi yang tidak dihalalkan kecuali bagi orang dalam keadaan darurat."
Tidak hanya itu, mengenai bacaan QS an-Nisa: 24 yakni " ... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafal istamta'tum bihi minhunna), berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban." Ada yang memberi penambahan makna sampai batas tertentu. Hal tersebut bukanlah termasuk bagian dari Alquran.
Imam Asy Syaukani berpendapat, redaksi tersebut bukan termasuk dalam Alquran karena sesuai dengan pandangan ulama yang menyaratkan keharusan sifat mutawatir dalam periwayatannya.
Sumber : republika
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: