Breaking News
Loading...

 FENOMENA PERNIKAHAN MUT’AH DI REPUBLIK ISLAM IRAN (Antara Ada dan Tiada) (Tulisan Keempat-terakhir)

Sukron Makmun
Pascasarjana Mazaheb University Tehran, Republik Islam Iran
E-mail: [email protected]


Setelah kita membaca semua pendapat kaum Syiah di atas, mungkin kita akan bertanya, “kalau memang demikian, apa bedanya mut’ah (sigheh) dengan prostitusi? Kalau masa paling singkat untuk mut’ah, sebagian dari mereka mengatakan adalah satu bulan, maka dalam setahun setiap orang bias melakukan dua belas kali. Laki-laki mana yang mengklaim dirinya sebagai orang yang berakhlak mulia, laki-laki yang mempunyai harga diri mau memberikan saudara perempuan atau ibunya kepada dua belas laki-laki dalam jarak setahun? Apalagi kalau ada yang mengatakan, masa mut’ah boleh kurang dari satu
bulan. Kira-kira bagaimana jadinya?

Perempuan mulia mana yang mau digilir oleh banyak laki-laki, dari pangkuan yang satu ke pangkuan yang lain. Siapa yang mengatakan bahwa mut’ah itu pantas dilakukan dengan saudara perempuan atau anaknya?. Anehnya, pada zaman modern ini ada ajaran yang kurang memuliakan perempuan, tapi ajaran tersebut diklaim sebagai syariat Muhammad SAW., sementara kita semua tahu, manusia paling agung itu berkata, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.

Ada sebuah hadits yang menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW. Seorang laki-laki yang menjadi pelayan Nabi Muhammad SAW datang kepada Nabi SAW., dan kemudian bertanya, “wahai, Nabi, izinkanlah aku berzina. Sahabat-sahabat Nabi berdatangan ingin memukul laki-laki tersebut. Nabi mencegah para sahabat itu, lalu bertanya kepada laki-laki tersebut, ‘apakah kamu suka kalau ada orang yang berzina dengan ibumu?’ ia menjawab, ‘tidak. Nabi SAW. berkata, ‘semua orang juga tidak akan setuju kalau ibunya dizinahi.’ ‘Apakah kamu suka jika ada orang yang berzina dengan saudara perempuanmu?’ Laki-laki itu menjawab, ‘tidak’. Nabi berkata, ‘semua orang juga tidak suka’. Kemudian laki-laki itu ditanya lagi, ‘apakah berzina dengan anak perempuanmu itu akan memuaskanmu?’ Laki-laki itu menjawab, ‘tidak.’ Nabi berkata, ‘orang lain juga tidak suka jika anak-anak perempuannya dizinahi orang lain.’

Dalam hadits ini tersirat bahwa setiap orang tidak boleh egois, mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri. Segala sesuatu yang tidak berkenan bagi kita berarti juga tidak berkenan juga bagi orang lain.
Suatu hari pernah ada orang yang terlibat dialog dengan dua orang yang bermadzhab Syiah. Salah satu dari mereka itu menyetujui adanya mut’ah. Ketika ia ditanya, “Apa pendapatmu tentang mut’ah?”.

Laki-laki itu menjawab, “o, bagus.” Lalu salah satunya berkata, “ok! Kalau begitu, bolehkah aku mut’ah dengan saudara perempuanmu?”. Laki-laki yang pro mut’ah tersebut tidak menjawab, bahkan langsung tersinggung, marah dan akhirnya mengajak bertengkar. Dimanakah harga diri, kesucian, rasa malu yang diajarkan oleh Islam kepada perempuan? Apakah mut’ah memelihara kesucian, harga diri dan rasa malu seorang perempuan?


Sebagian orang Syiah berkilah bahwa mut’ah itu hanya diperbolehkan kepada seorang perempuan yang tidak perawan (tsayyibah), baik itu perempuan yang dicerai oleh suaminya (muthallaqah) atau seorang janda (armilah). Dengan kata lain, tidak diperbolehkan mut’ah dengan seorang yang masih gadis. Tetapi pada kenyataannya tidak ada satu pun riwayat atau pendapat ulama’ Syiah yang menguatkan alas an tersebut, bahkan beberapa ulama’ Syiah tidak hanya membolehkan mut’ah dengan seorang gadis, tetapi boleh juga mut’ah dengan wanita tuna susila (WTS) (al-Âmilî, Wasâilu al-Syîah, juz 21, hal. 33). Mereka juga bersandar dengan firman Allah



“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuanperempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka kerena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepanda mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. al-Nisa’: 24)

Dalil mereka dengan sendirinya tertolak oleh kata “محصنين” dalam firman Allah tersebut. Mut’ah itu berbeda dengan “nikah”. Perempuan yang dinikahi (bersuami) menjadi haram untuk dinikahi, sementara perempuan yang dimut’ah tidak haram untuk dinikahi oleh orang lain. Ada juga sebuah riwayat dari Syiah yang mendukung argumen ini, yaitu riwayat dari Ishak bin Ammâr. Ia berkata, “Saya bertanya kepada Ibrahim (al-Kâzhim) tentang laki-laki yang berzina, dan juga menggauli budak perempuannya (ammah), ‘apakah meniduri budak perempuannya itu halal sebagaimana ia meniduri istrinya? Beliau menjawab, ‘ya’. ‘Lalu bagaimana jika ia mut’ah dengan wanita lain?’ ‘Apakah hukumnya sama dengan meniduri istrinya sendiri? Al-Kâzhim menjawab, ‘tidak’. ‘Sesungguhnya ia hanya boleh meniduri istrinya yang dinikahi dâim” (al-AAmili, Wasâilu al-Syîah, juz 38, hal. 68).

Perlu diketahui bahwa ayat dalam surat al-Nisa’ tersebut sebenarnya diturunkan untuk nikah dâim, bukan untuk mut’ah, sebagaimana yang dikira oleh orang-orang Syiah. Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang membolehkan mut’ah adalah orang-orang yang paling merendahkan martabat dan harga diri perempuan. Dulu, mut’ah pernah diperbolehkan, tapi hanya dalam masa bepergian, dan itu pun tidak diperbolehkan kecuali mut’ah dengan perempuan-perempuan Non Muslim (kafir). Setelah itu, akhirnya praktik tersebut diharamkan untuk selama-lamanya.\


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thâlib ra. Ja’far bin Muhammad (al-Imâm al-Shâdiq) juga pernah ditanya tentang mut’ah. Beliau menjawab, “di kalangan kami (pengikut madzhab Syiah) tidak akan pernah melakukan mut’ah kecuali para pencoleng yang tidak tahu malu (fâjir)” (al-Majlisi al-Syî i, Bihâru al-Anwar, juz 100, hal. 318).

Perempuan yang dimut’ah itu sebanding dengan para Selir dalam istilah raja, atau istilah Nyai pada masa penjajahan Belanda di Indonesia tempo dulu. Para raja atau para penguasa koloni mungkin lebih baik daripada mereka yang mut’ah. Karena orang yang mut’ah hanya sebatas membayar mahar, sementara para raja bisa menjamin dan mencukupi kebutuhan hidup para selir dan juga anak-anak yang lahir dari para selir.

Seandainya mut’ah itu dihalalkan oleh Syara’ maka tatanan masyarakat akan kacau, karena akan banyak anak yang tidak terurus. Orang-orang yang cenderung kurang mampu secara finansial akan memilih mut’ah sebagai jalan. Murah, meriah dan sekaligus menyenangkan. Karena dalam mut’ah suami tidak dibebani memberi nafkah. Mungkin para pelajar dan mahasiswa yang belum memiliki pekerjaan dan uang banyak juga yang
akan nikah mut’ah. Apalagi mereka yang berdomisili di Iran, satu-satunya negeri di dunia ini yang melegalkan mut’ah. Selama ada kesempatan dan tidak ada kesempitan, selama mereka yakin bahwa mut’ah adalah syariat agama, hampir dipastikan mereka akan memilih mut’ah sebagai alternatif. Sebagian orang Iran melakukan mut’ah mungkin karena biaya nikah dâim sangat mahal sekali.

Mereka harus membayar mahar yang jumlahnya cukup fantastis. Ada yang minta mahar sesuai dengan tahun kelahirannya. Contoh, kalau perempuan itu lahir pada tahun 1371 HS., berarti dia minta 1371 sikeh (kepingan emas berbentuk seperti koin) untuk mahar. Rata-rata mereka paling sedikit meminta 500 sikeh,. sementara harga rata-rata sikeh/keping adalah 250-300 dolar, sehingga yang dulu rata-rata usia kawin untuk laki-laki adalah 24 tahun, sekarang laki-laki di Iran baru bisa menikah pada usia 26-30
tahun.

Untungnya angka pernikahan di sini masih bagus sekali, masih mencapai 90%. Ada yang mut’ah hanya karena mut’ah itu disyariatkan. Dengan adanya hadits-hadits seperti yang
tercantum di atas, orang yang fanatik dan taat menjalankan ajaran madzhab Syiah ini, meskipun hati nurani, dan akalnya tidak sreg dengan mut’ah, tapi karena itu merupakan doktrin agama (madzhab), akhirnya mereka melakukan atas dasar kepatuhan.

Dan ada juga yang memang betul-betul mut’ah untuk memuaskan nafsu birahinya, bahkan tidak jarang yang mencari justifikasi untuk melegalkan praktik prostitusi berkedok agama ini. Jika mut’ah dengan perempuan-perempuan Non Muslim (kafir) itu diperbolehkan, maka secara akal dan melihat dari sisi kemanusiaannya, itupun tidak bisa disetujui. Islam itu agama rahmatan li alÂlamîn, bukan agama rahmatan li al-Muslimîn, sehingga perempuan apa pun agamanya, tetap harus dijaga martabatnya. Islam datang di antaranya untuk mengangkat derajat perempuan, dimana pada masa Jahiliyah dulu perempuan dianggap sebagai makhluk yang memalukan dan Islam bukan hanya mengangkat perempuan dari kelompok tertentu, tapi Islam selalu memberi contoh kepada umat lain, bahwa Allah itu memuliakan setiap ciptaannya.


PENUTUP

Memang sebagian besar orang mengatakan bahwa nikah mut’ah itu lebih baik daripada pergaulan bebas, karena anak-anak yang dihasilkan dari mut’ah itu mempunyai hak yang sama dengan anak-anak dari nikah dâim. Namun kendati mempunyai banyak kesamaan, nikah mut’ah (nikah munqati) tetap tidak bisa disamakan dengan nikah dâim. Jika mut’ah itu dihalalkan maka akan sangat riskan, disalahpahami dan disalahgunakan oleh orang-orang awam dan akhirnya bisa menjadi semacam pelacuran berkedok agama.


Meskipun tanpa diragukan bahwa mut’ah menurut sebagian orang itu memiliki faedah yang banyak, namun bahaya yang dibawa juga jauh lebih besar dan mut’ah itu tidak bisa menggantikan posisi pernikahan yang utuh (nikah dâim). Membangun rumah tangga, mendidik anak yang baik, dan kerjasama yang baik antara suami dan istri, laki-laki dan perempuan tidak akan mudah dicapai kecuali hanya dengan nikah dâim.

Masyarakat Iran sendiri sudah mulai sadar bahwa nikah mut’ah mempunyai dampak yang sangat negatif dalam masyarakat. Dalam urusan warisan akan mengacaukan hal ini disebutkan dalam qawâide âmereh dan nuzhûme umûmy. Belum lagi adanya anak-anak yang tak terurus akibat nikah mut’ah sehingga tempat penampungan anak yatim selalu dipenuhi dengan anak-anak tanpa ayah.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan dana yang banyak untuk itu. meskipun ada aturannya orang tua yang mut’ah wajib bertanggungjawab atas anak yang dilahirkan, tapi karena mut’ah bagi sebagian masyarakat dipandang sebelah mata maka akhirnya mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dan ketika menghasilkan anak, sementara secara materi mereka tidak mampu, akhirnya mereka lari begitu saja. Kaum wanita di
Iran juga sangat tidak setuju dengan mut’ah ini. Sama halnya dengan poligami di Indonesia. Wanita tidak berani mengatakan kalau poligami itu haram, karena al-Qur’an memang membolehkannya, meskipun tidak menganjurkannya. Tapi perempuan mana yang setuju dengan poligami?

Apalagi dengan mut’ah, yang tidak menguntungkan perempuan sama sekali. Tidak hanya perempuannya, masyarakat Iran, hampir kebanyakan juga menganggap mut’ah sebagai
sesuatu yang negatif, dan tidak terpuji. De-facto-nya mut’ah tidak banyak dilakukan oleh masyarakat Iran, meskipun diakui secara de-jure. Kalau dicermati lagi, nikah mut’ah sebenarnya menginjak-injak kehormatan perempuan, menjadikan perempuan menjadi makhluk yang tidak berharga, karena praktiknya nyaris seperti pelacuran, Cuma beda istilah saja. Prostitusi dan mut’ah sama-sama memiliki tujuan, jual beli perempuan demi uang.

Bedanya, dalam prostitusi disebut bayaran/upah, sementara dalam mut’ah disebut mahar. Jika demikian berarti mut’ah menjadikan perempuan sebagai komoditi. Dahulu sebelum mut’ah diharamkan untuk selamanya, ada sebagian sahabat yang dalam tugas perang melakukannya dan itu dilakukan tidak dengan perempuan Muslimah saja tetapi dengan perempuan non muslimah juga. Kemudian mut’ah akhirnya diharamkan. Itu zaman dulu, lalu kenapa pada zaman sekarang malah menghalalkan seorang muslim dapat nikah mut’ah dengan sesama perempuan Islam?

Ada baiknya kita lihat dari berbagai segi. Penulis pikir ilmu fiqh saja tidak cukup, apalagi fiqh dari satu madzhab saja yang belum tentu otentik dalil-dalilnya. Untuk menjawab masalah ini, kita masih butuh piranti-piranti yang lain, tidak cukup satu disiplin ilmu saja. Toh, kalau seandainya nikah mut’ah itu diperbolehkan, apakah itu jalan yang terbaik?. Tentu jawabannya ada pada keyakinan kita masingmasing.



Keterangan:

1. Cadur: pakaian perempuan Iran yang menutup semua badan kecuali muka dan telapak tangan, kebanyakan berwarna hitam, hampir seperti jilbab yang lebar tetapi bersambung dari atas ke bawah dan merupakan pakaian sehari-hari.

2. HS. (Hijri Syamsi). Tahun kalender Iran adalah Hijri Syamsi, dihitung sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW., tapi berdasarkan peredaran matahari bukan peredaran bulan, sebagaimana tahun kalendernya yang diterapkan di negara Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya yaitu, “Hijri Qamari”, atau yang dikenal sebagai tahun hijriyah. Sekarang ini (2010 M) di Iran adalah tahun 1389 HS.


DAFTAR PUSTAKA

1.    Al-Âmilî, Hur. 1409 H/1368 HS. Wasâilu al-Syîah. Qom: Muasseseh Alu al-Bait al-Ihya’ al-Turats.

2.    Al-Amili, Zainuddin bin Ali (Syahid Al-Tsani). 1423 H/1381 HS/2002 M. Masâliku al-Afham. Qom: al- Ma’arif al-Islamiyah.

3.    Al-Hilly, Najmuddin. 1409 H/1989 M. Syarâi’u al-Islam fi Masaili al-Halal wa al-Haram. Qom: Ismailiyan.

4.    Al-Majlisi, Muhammad Bagir. 1362 HS. Bihâru al-Anwar. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyah.

5.    Bâbaweh Qumi, Ibnu. 1414 H. Man Lâ Yahdlûruhu al-Faqîh. Beirut: Dar al-Ta’aruf al-Matbu’at.

6.    Bukhari, Muhammad bin Ismail. 1414 H. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar ibnu al-Katsir

7.    Ganji, Hasan. 1384 HS. Ravabite Zavjein dar Ezdevaje Moaqqat. Tehran: Payam Haq.

8.    Imamy, Mohammad Ja’far dan Asytiyani, M. Ridlo. 1387 HS. Nahjû al-Balâghah. Qom: Capkhaneh Solaemanzadeh.

9.    Kâsyâni, Mula Fathullah. 1378 HS. Minhâju al-Shâdiqîn. Tehran: Islamia.

10.    Khomeini, Ruhullah. 1417 H/1375 HS/1996 M. Tahrîru al-Wasîlah. Qom: Islamy.

11.    Kulaini, Muhammad bin Ya’kub. Tt. Al-Furû min al-Kâfi. Tehran: Dar al-Kitab al-Islamiyah.

12.    Mansor, Jahangir. 1389 HS. Qanune Madani. Tehran: Nashre Didar.

13.    Muslim, Imam. 1411 H/1990 M. Shahih al-Muslim bi syarkh al-Nawawi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

14.    Safai, S.H. dan Emami, A. 1382 HS. Huqûqe Khânevadeh, Nikâh va Enhelâle Ân, Faskh va Thalâq. Tehran:

15.    Daneshgahe Tehran. Thûsi, Muhammad bin Hasan. 1412 H. Al-Istibshâr fi ma Ikhtalafa min al-Akhbar. Beirut: Dar al-Ta’aruf al-Matbu’at. .1401 H/1981 M. Tahdzîbu al-Ahkâm. Beirut: Dar Sha’b.













************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: