Breaking News
Loading...

 FENOMENA PERNIKAHAN MUT’AH DI REPUBLIK ISLAM IRAN (Antara Ada dan Tiada) (Tulisan Ketiga Dari 4 Bagian)

Sukron Makmun
Pascasarjana Mazaheb University Tehran, Republik Islam Iran
E-mail: [email protected]

C. Kelompok yang Anti Nikah Mut’ah

Kelompok ini mengatakan bahwa nikah mut’ah menyalahi tujuan pernikahan dan melecehkan perempuan. Kelompok ini menyamakan nikah mut’ah sebanding dengan prostitusi.

Menurut orang-orang Sunni mengenai mut’ah, bahwa penganut Syiah bersandar pada riwayat yang ada di dalam beberapa kitabnya Ahlû al-Sunnah. Sunni dan Syiah sama-sama sepakat kalau nikah Muaqqat atau mut’ah itu pada awalnya diperbolehkan; Kemudian setelah itu mereka berbeda pendapat, apakah dihalalkan untuk selama-lamanya atau dihalalkan kemudian diharamkan? Syiah mengatakan nikah mut’ah itu dihalalkan untuk selamanya, sementara Ahlû al-Sunnah mengatakan bahwa mut’ah itu hanya berlaku pada masa awal Islam saja dan untuk kemudian dihapuskan. Hukumnya seperti halnya dengan daging keledai yang dipelihara. Pada awalnya dihalalkan tapi akhirnya Rasulullah SAW., mengharamkannya untuk selamanya.

Ada tiga (3) hal yang diharamkan untuk selamanya, yaitu: mut’ah, minuman keras (miras), dan daging keledai. Dan masih banyak lagi sesuatu yang ada dalam al-Qur’an pada akhirnya di-naskh (dihapuskan). Sebagaimana Ahlû al-Sunnah, Syiah juga berpendapat bahwa ada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang menghapuskan hukum nash al-Qur’an (naskh) (Imamy dan Asytiyani, 1387 H : 26).

Sikap Ali bin Abi Thalib karramallahuwajhah membiarkan (tidak menentang) Umar bin Khattab RA, melarang mut’ah untuk selamanya (secara qat’i) adalah salah satu dalil bahwa para sahabat menyetujui pendapat Umar bin Khattab ra. Ali bin Abi Thalib karramallahuwajhah oleh penganut madzhab Syiah dianggap kedudukannya paling tinggi dibanding sahabat-sahabat yang lain dalam keilmuan dan sebagainya, maka sangat tidak masuk akal jika Ali karramallahuwajhah tidak menegur dan membantah ketika melihat tindakan Umar itu salah.

Seandainya Umar RA salah dan Ali karramallahuwajhah diam saja, maka bisa dikatakan bahwa Ali karramallahuwajhah telah menutupi kebenaran, dan membiarkan kebatilan berjalan di muka bumi Allah SWT. Beliau bisa dikategorikan sebagai orang yang menyembunyikan ilmu yang diancam oleh Allah SWT. Pada hari kiamat nanti mulutnya akan dibungkam dengan besi panas yang membara.

Nikah mut’ah yang diperbolehkan oleh Islam Syiah mempunyai perbedaan yang sangat mendasar dengan nikah mut’ah yang dihalalkan pada masa awal-awal Islam. Secara ringkas, perbedaannya adalah sebagai berikut:

Pertama, Syiah menganggap bahwa mut’ah merupakan pokok agama (ushûluddin). Imam Ja’far al- Shâdiq berkata: “Mut’ah adalah agama Penulis, dan agama ayahku. Barang siapa yang melaksanakannya berarti melaksanakan ajaranku; dan barang siapa yang mengingkarinya berarti mengingkari ajaranku (Kâsyâni, Tt: 495 dan Qumi, Tt: 366).

Kedua, Orang yang mengingkari nikah mut’ah (shigheh) dianggap kafir dan murtad (Kâsyâni, Tt: 495).

Ketiga, Dalam pandangan Syiah, nikah mut’ah sama fungsinya dengan sedekah, yaitu menjauhkan murka Allah SWT kepada manusia. Mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Barang siapa yang melakukan mut’ah akan dijauhkan dari kegundahan (Kâsyâni,Tt: 493).

Keempat, Orang yang yang melakukan nikah mut’ah akan diampuni dosanya oleh Allah SWT. “Pada malam Mi’raj Jibril AS, berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “wahai, Muhammad, Tuhan berkata, ‘Penulis mengampuni perempuan dari umatmu yang dimut’ah’.” (Ibnu Bâbaweh Qumi, Man Lâ Yahdlûruhu al-Faqîh, hal. 463).

Ada beberapa orang bertanya kepada Imam Ja’far al-Shâdiq, “apakah orang yang mut’ah itu akan mendapat pahala?” Ja’far al-Shâdiq menjawab, “kalau orang tersebut mut’ah karena mencari ridla Allah maka setiap kalimat yang diucapkan kepada perempuan yang dimut’ah akan dihitung sebagai kebajikan.

Kemudian ketika dia bersenggama dengan perempuan itu maka dosanya diampuni oleh Allah, dan ketika mandi jinabat, ampunan Allah akan mengalir sebanyak air yang mengalir dari badannya, semua perbuatannya akan diampuni (Qumi, Tt: 336).

Kelima, Dalam pandangan Syiah, nikah mut’ah (muaqqat) merupakan amal yang paling utama, karena dapat menghantarkan pelakunya masuk surga, dan di dalam surga itu, ia akan berjumpa dengan para nabi.

Untuk menguatkan pendapat ini, ulama’ Syiah memalsukan sebuah hadits dan menyandarkannya kepada Nabi Muhammad SAW., “Barang siapa yang melakukan mut’ah (sigheh) sekali, ia akan terbebas dari murka Tuhan. Kalau melakukannya dua kali, pada hari kiamat nanti akan digiring bersama orang-orang yang baik.Jika ia melakukannya sebanyak tiga kali maka ia akan melihatku (Muhammad) di surga (Qumi, Tt: 366).

Keenam, barang siapa yang tidak melakukan mut’ah (sigheh), maka pada hari kiamat nanti akan memperoleh pahala yang lebih sedikit. Dikatakan bahwa, “barang siapa yang selama hidupnya tidak pernah melakukan mut’ah maka pada hari kiamat nanti anggota tubuhnya akan berkurang. (Kâsyâni, Tafsir Minhâju al-Shâdiqîn, juz 2, hal. 495).

Ketujuh, perempuan yang boleh dimut’ah (sigheh) jumlahnya tidak terbatas. Setiap laki-laki bias berkencan dengan seribu perempuan atau lebih. (Syeikh Thûsi , al-Istibshâr, juz 3, hal. 143, dan Tahdzîbu al-Ahkâm, juz 7, hal. 259)

Kedelapan, orang-orang Syiah berkeyakinan bahwa mut’ah (shigheh) dengan seorang gadis (perawan) juga diperbolehkan, meskipun tanpa saksi dan tanpa izin dari walinya gadis tersebut . (Syeikh Thûsi, Tahdzîbu al-Ahkâm, juz 7, hal. 254 dan Najmuddin al-Hilly, Syarâi’u al-Ahkâm, juz 2, hal. 186) Pendapat ini jelas bertentangan dengan Syariah atau hukum yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW., karena Nabi sendiri bersabda bahwa, nikah tanpa wali itu tidak dibenarkan.

Kesembilan, Syiah juga memperbolehkan mut’ah dengan anak perempuan yang belum baligh. Kulaini meriwayatkan, bahwa Abî Abdillah pernah ditanya, “apakah anak kecil itu bisa dimut’ah?” Abi Abdillah menjawab, “boleh, kecuali anak yang terlalu kecil dan belum tahu apa-apa.” Lalu Abi Abdillah ditanya lagi, “dikatakan terlalu kecil dan belum tahu apa-apa (usia minimal) itu usia berapa tahun? Abi Abdillah menjawab, sepuluh (10) tahun. (Kulaini, Al-Kâfi fî al-FurûA, juz 5, hal. 436; Syeikh Thûsi, al-Istibshâr, juz 3, hal. 145. dan Tahdzîbu al-Ahkâm, juz 7, hal. 255)

Kesepuluh, Syiah membolehkan sodomi (liwâth) dengan perempuan yang dimut’ah. Mereka bersandar kepada riwayat yang disandarkan kepada Imam al-Ridlâ. Suatu saat dalam sebuah dialog dengan masyarakat, beliau berkata, “sebuah ayat —dalam al-Qur’an—menghalalkan sodomi dengan perempuan melalui perkataan Nabi Luth as., yaitu ketika beliau sedang berdialog dengan kaumnya dalam sebuah ayat yang berbunyi “anak-anak perempuan ku, mereka lebih suci untukmu.” Jelas pada waktu itu Nabi Luth as. sudah tahu betul apa yang diinginkan oleh kaumnya yaitu, sodomi dengan sesama jenis. (Syeikh Thûsi, al-Istibshâr, juz 3, hal. 243, dan Tahdzîbu al-Ahkâm, juz 7, hal. 415)

Kesebelas, Syiah membolehkan mut’ah dengan pelacur atau perempuan yang sudah menikah. Menurut mereka, yang terpenting dalam mut’ah adalah mahar. Mengetahui apakah perempuan itu mempunyai suami atau tidak itu tidak penting. Kulaini mengutip perkataan Ja’far al-Shâdiq, “Suatu hari pelayannya Imam Ja’far al-Shâdiq bertanya kepada beliau, ‘kadang-kadang Penulis melihat perempuan cantik, sedangkan Penulis tidak tahu apakah dia itu pelacur atau sudah memiliki suami, tapi perempuan itu Penulis ajak mut’ah’. Ja’far al-Shâdiq berkata, “kamu tidak perlu mengetahui semua itu, karena itu bukan urusanmu. Pokoknya, yang penting kamu harus membayar maharnya perempuan yang kamu mut’ah itu. (Kulaini, al-Kâfi fî al-FurûA, juz. 5 hal. 463. Syeikh Thûsi, al-Istibshâr, juz 3, hal. 145, dan Tahdzîbu al-Ahkâm, juz 7, hal. 255). Imam Khomeini dalam kitabnya Tahrîru al-Wasîlah, berkata, “mungkin dengan argumen seperti itu para pelacur justru akan meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pekerja
seks komersial (PSK).”

Kedua belas, masa mut’ah bisa beberapa bulan, beberapa hari, beberapa jam, atau bahkan beberapa menit, disesuaikan dengan kebutuhan seks antara laki-laki dan perempuan yang melaksanakannya. (Kulaini, al-Kâfi fî al-FurûA, juz 5, hal. 460 dan Syeikh Thûsi, al-Istibshâr, juz 3, hal. 151). Mut’ah (sigheh) seperti ini disebut juga “isti’jâru al-Furûj”. Ada bab khusus yang menjelaskan hal tersebut, yaitu bab “iAâratu al-Furûj” (meminjamkan alat kemaluan).


BERSAMBUNG




************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: