Breaking News
Loading...

Hamka: Islam Ahlusunnah atau Syi`ah Pertama Kali di Nusantara? (Bag. 1)
Oleh:  Bambang Galih S

TEORI tentang masuknya Islam di Nusantara telah menjadi perhatian dan penelitian panjang para intelektual dan orientalis di Indonesia, untuk menggali akar sejarah dan nilai kebudayaan Islam serta pengaruhnya di Nusantara.

Diantara beberapa penelitian atau teori yang pernah muncul, bahwa Islam di Nusantara pertama kali masuk dari Hindia, China dan Persia. Islam yang disebutkan datang dari Tanah selain Arab ini, kemudian banyak dihubungkan telah mengalami percampuran kebudayaan-kebudayaan lainnya dari Hindu, Budha,  hingga Syi`ah, sebagai hasil dari pengaruh tempat kedatangannya. Akhirnya Islam yang masuk di Nusantara dianggap sudah tidak murni lagi, karena melalui `tangan kedua`, Hamka menyebutkan;

Maka agak meratalah faham bahwasannya masuknya Islam ke tanah Indonesia, atau ke negeri-negeri Melayu, bukanlah langsung dari Tanah Arab, melainkan dari India, dari pantai Malabar. Senafas dengan itu dikatakan, bahwasannya Islam yang diterima disini bukanlah lagi asli dari Arab, melainkan telah `dari tangan kedua` yaitu dari orang Islam India dan orang Islam Parsi -Persia-. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002, hlm. 673)

Kajian terhadap sejarah saat ini memang diakui tidak sekedar suatu kajian ilmiah historis untuk melengkapi khazanah pengetahuan tentang kedatangan Islam di Nusantara, namun ia juga memiliki pernanan untuk menggali nilai-nilai kultural yang coba diwujudkan dan diangkat kembali sebagai identitas Islam yang dianggap khas dan berbeda di Nusantara. Sehingga Hamka pun menyadari akan hal tersebut dan melakukan penyelidikan keras terhadapnya.

Meskipun Hamka pernah dicibir oleh salah satu tokoh pergerakan Islam, bahwa ia dikatakan sibuk membuang waktu untuk meneliti sejarah masuknya Islam, juga aktif dalam kebudayaan, sementara musuh Islam sibuk berkerja menghapuskan Islam dari Indonesia. Maka Hamka menjawab, bagaimana dia mau menjadi pemimpin jika pemikirannya sedangkal atau sesempit itu dengan mengkritik seminar-seminar sejarah yang ia lakukan. Kemudian Hamka menimbali “Kenapa tidak bisa dikatakan ilmiyah hasil penyelidikan itu hanya karena sumbernya bukan Snouck Hurgronje, Goldzier atau Zwimmer”, menyebut nama-nama Orientalis, dengan maksud untuk menunjukkan kekurangan yang terjadi dan tidak diperhatikan oleh umat Islam dalam sektor sejarah. (Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm.97)

Salah sekian teori yang telah muncul pada masa Hamka (1908-1980) diantaranya yaitu dari Prof. Snouck Hourgronje, Prof. Husain Djajadinigrat dan Prof. Dr. Nainar, yang menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia, dan pengaruh yang terbesar adalah melalui India.

Pada bukunya Sejarah Umat Islam, yang ditulis oleh Hamka selama 22 tahun (1939-1961M) dalam empat jilid. Hamka menuliskan karyanya tersebut melalui penelitiannya pada sekitar seratus kitab dan naskah sejarah di negeri-negeri Melayu –Indonesia, Malaysia, Brunai dan lainnya-. Jilid keempat daripada buku Hamka mengupas tentang “Sejarah Umat Islam di Indonesia”, beliau sebut sebagai karya terlengkap tentang Sejarah Indonesia pada masanya. James R. Rush seorang orientalis Amerika dalam bukunya Adicerita Hamka pun mengakui Hamka sebagai penyusun “draf pertama sejarah” khususnya tentang Sumatera termasuk Indonesia. Sehingga Hamka semasa hidupnya banyak menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Indonesia dan Malaysia serta lainnya, memberikan penerangan bagi mahasiswa dalam pengetahuan dan otoritasnya tentang sejarah.

Menurut kajian Hamka, Islam telah masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyyah. Utusan Arab telah datang ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 Masehi dan melawat ke negeri Kalingga –Jawa Timur-, dan pulang kembali setelah memperhatikan betapa besarnya pengaruh agama Hindu dalam negeri itu, sehingga strategi penyiaran agama Islam di negeri-negeri Melayu tidak perlu dijalankan dengan kekerasan melainkan menurut kehendak agama Islam itu sendiri, yaitu melalui jalan dakwah.

Dua catatan tua sejarah Tionghoa yang diteliti oleh Hamka, menyebutkan tentang pelajar bangsa Tionghoa pada tahun 684 M, yang berjumpa dengan seorang pemimpin Arab, yaitu pemimpin dari satu koloni Arab di pantai pulau Sumatera sebelah Barat, yang merupakan armada dari raja besar Arab.  Menurut Hamka hal tersebut yang telah menunjukkan bahwasanya Islam telah datang ke tanah Jawa Nusantara yaitu pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh masehi tahun 674-675, dan telah mendirikan kampung di pantai Sumatera Barat pada tahun 684 M. Yang pertama ialah pada tahun 52 Hijriyyah zaman Khalifah Mu`awiyah bin Abu Sufyan, pendiri kerajaan bani Umaiyyah dan generasi sahabat serta pengikut setia Rasulullah Sallalahu `alaihi wasallam – Ahlusunnah wal jama`ah-. Adapun yang kedua pada tahun 62 Hijriyyah, masa pemerintahan Khalifah Bani Umayyah yang kelima, Abdul Malik bin Marwan.

Beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara yaitu melalui Parsi –Persia-, dengan madzhab Syi`ah nya, dijawab oleh Hamka. Menurut Hamka, meskipun memang ulama Syi`ah ada yang datang ke Nusantara dan terdapat kuburannya di Aceh. Tetapi kedatangan ulama-ulama Syi`ah pada abad kelima belas itu, tidaklah dapat menggantikan kedudukan Mazhab Syafi`i Ahlusunnah, yang telah menjadi mazhab resmi sejak kerajaan Pasai di abad keempat belas, bahkan sebelumnya, dan menjadi mazhab resmi kerajaan Malaka. Sebab di samping ulama-ulama bermadzhab Syi`ah dari Persia, pun tidak kurang pula datang ulama Syafi`i dari Parsi seperti As Saidi Asy Syirazi, yang diangkat menjadi Kadi Besar oleh Sultan al Malikuz Zahir di Pasai, yang tidaklah akan mencapai pangkat agama setingi itu kalau beliau bukan bermadzhab Syafi`i. Karena mengingat dalamnya jurang perbedaan diantara Sunni dan Syi`ah sejak dikala itu.

Memang didapatkan adanya kuburan ulama Syi`ah di Pasai, tetapi disamping itu didapatkan juga kuburan seorang ulama Sunni, keturunan khalifah-khalifah bani Abbas,yaitu al Amir Muhammad bin Abdul Qadir, keturunan Khalifah al Muntasir al Abbasiyah yaitu khalifah nomor dua terakhir (Al Musta`sim) yang meninggal di Pasai pada 23 Rajab tahun 822 H.

Di negeri Iran sendiri sebelum Kerajaan Shafawi (permulaan abad keenam belas) masih banyak ulama-ulama bermadzhab Sunni. Diantaranya ialah Abu Ishaq Asy Syirazi, yang juga orang Iran, yang dilahirkan di Syiraz, ia bukanlah orang Syi`ah tapi bermadzhab Syafi`I (1002-1083 M). Beliau adalah guru daripada Imam Ghazali dan pembangun dari Madrasah Nizhamiyah. 683 Sehingga Hamka menyimpulkan:

“Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwasanya madzhab utama sejak permulaan ialah Madzhab Syafi`I dalam lingkungan Ahli Sunnah Wal Jama`ah, madzhab pegangan yang umum daripada orang Arab dan keturunan Arab di pantai Malabar Koromandel. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002, hlm. 684)

Kuatnya pengaruh Madzhab Syafi`i merupakan bukti yang tidak dapat diabaikan, bahwa pelopor utama daripada penyiaran Islam di negeri-negeri Melayu ini ialah orang Arab. Di samping itu ada pula orang Iran, baik yang menganut Madzhab Sunni maupun Syi`ah, sehingga tinggal bekas-bekas adat istiadat dan kebesarannya, tetapi tidak menjadi dasar kepercayaan yang mengakar dalam masyarakat.

Adapun jika untuk mengemukakan beberapa pengaruh adat istiadat kebiasaan Parsi di negeri-negeri Melayu, menurut Hamka haruslah yang demikian itu dihubungkan kepada pengaruh Iran-Parsi- di negeri Islam yang lain juga, bahkan di Turki sendiri. Pengaruh ajaran Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailany, Ibnu Sina, bukanlah di tanah-tanah Melayu saja, bahkan diseluruh dunia Islam. Hamka melanjutkan kalau dipandang dari segi tasawuf, filsafat,kesenian, kebudayaan, tidaklah layak untuk mempersempit pengaruh bangsa Iran ke dalam pertumbuhan Islam kepada tanah-tanah Melayu saja. Tetapi lebih luas dari itu, dia meliputi sampai seluruh dunia Islam; sampai-sampai ke tanah Arab sebelah Barat, hingga pun di zaman kejayaan Islam di Spanyol. Dan pengaruh budaya dan pemikiran mereka, bukanlah murni dari Parsi sendiri yang dianggap Syi`ah, melainkan pemikiran Islam yang murni dari Arab-Ahlusunnah-, yang pada masa itu menguasai dan mendominasi di Parsi. Hamka menegaskan tentang maksud tersebut;

“Peperangan-peranan- yang diambil oleh Muslim dari Parsi, tentu ada juga. Tetapi tidaklah dia yang pertama dan utama. Apatah lagi masa itu orang Parsi sendiri pun telah tenggelam ke dalam kebudayaan Islam yang sebagian besar ditelan oleh suasana Arab. Sehingga meskipun dalam perkembangan Islam itu sendiri terdapat orang-orang yang berdarah Parsi, namun kebudayaan, cara berpikir, hasil usaha mereka semuanya adalah Arab, seumpamanya Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailani, Abu Yazid Bistami, yang semuanya itu, ada yang sedikit campuran darah Parsi dan ada yang banyak. Bahkan perawi hadis yang sangat terkenal Imam Bukhari, dari Asia Tengah, dengan bangga membangsakan dirinya kepada `Al-Ju`fiy`, sebab Kabilah bani Ju`uf dari Yamanlah yang diutus oleh Khalifah membawa Islam ke negeri Bukhara itu. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002, hlm. 674-675). Hidayatullah.com

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: