Breaking News
Loading...

 PANDANGAN SYI’AH TENTANG SAHABAT NABI SAW

Pandangan Sunni Terhadap Para Sahabat Ra

Dalam pandangan Ahlu Sunnah, Sahabat merupakan strata pertama dari umat terbaik. Ini berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Amran bin Hashin RA:

"Sebaik-baik masa adalah adalah masaku, lalu yang datang setelah itu, lalu setelah itu". Amran berkata: "Aku tidak ingat berapa kali Rasul mengatakan demikian, dua atau tiga kali?" "Lalu datang setelah itu kaum yang bersaksi tapi tidak menyaksikan, selalu berkhianat dan tidak dapat dipercaya, bernadzar tapi tidak pernah memenuhinya, hingga muncul karakter (al-saman) dalam diri mereka".

 


Tidak hanya itu, generasi ini juga memperoleh banyak pujian dari Allah serta keridhaan-Nya seperti diungkap dalam al-Quran:

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. al-Taubah: 100)

Dalam konteks pujian terhadap para Muhajirin, Allah berfirman:
"Bagi orang fakir yang berhijrah [Maksudnya: kerabat nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu Sabil yang kesemuanya orang fakir dan berhijrah] yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka Itulah orang-orang yang benar." (al-Hasyr:8)

Dalam konteks pujian terhadap para Anshar Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” (al- Hasyr: 9)

Dalam konteks pujian terhadap orang-orang yang ikut dalam Baiat Ridhwan, Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon,2 maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) (QS: al-Fath: 18).

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir dan Ummu Mubasysyir, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan masuk neraka seorang yang telah berbaiat di bawah pohon".
Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Jabir RA, Nabi SAW bersabda: "Semoga Allah melihat Ahli Badr dan berfirman: "Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian berhak masuk surga." Dalam sebuah riwayat: "karena Aku telah memaafkan kalian". Dalam riwayat lain: "Sesungguhnya Allah telah melihat, dan jumlah Ahli Badar sebanyak 313 orang".

Dan dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Syaikhani, serta pengarang Sunan kecuali Nasai dari Abu Hurairah dan Abi Said al-Khudri RA., Rasulullah bersabda: "Janganlah sekali-kali kalian mencela sahabatku, karena demi jiwaku yang berada di Tangan- Nya, jika salah satu dari kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud tidak akan mampu menandingi satu mud mereka atau setengahnya".

Dalam hal keutamaan para Sahabat ini, al-Hafidz Abu Hatim al-Razi mempunyai ungkapan yang sangat indah sebagai berikut:

"Keutamaan para Sahabat Rasul karena mereka adalah orang-orang yang telah menyaksikan wahyu, mengetahui tafsir dan ta'wailnya, mereka telah dipilih oleh Allah untuk bersama Nabi, menolongnya, menegakkan agamanya, serta memenangkan hak beliau, sehingga Rasul rela menjadikan mereka sahabat beliau, akhirnya mereka menjadi tokoh serta panutan kita.
Merekalah yang kemudian menjaga apa yang disampaikan oleh Allah, yang disyariatkan, diputuskan, dianjurkan, diperintahkan serta dilarang-Nya, merekapun menghayati, mengerjakan dengan baik, sehinga mereka memahami agama, perintah dan larangan Allah serta maksud-Nya dengan cara bergaul serta melihat langsung Rasulullah, mendengarkan penafsiran langsung dari beliau, serta apa yang beliau intisarikan.
Karena itu Allah memuliakan mereka dengan meletakan mereka dalam posisi panutan, seraya menafikan dari mereka keraguan, kebohongan, kesalahan, kebanggaan dengan diri serta permainan, lalu menamakanmereka umat yang moderat, seperti disebutkan dalam al-Quran dimana Nabi menafsirkan kalimat (Wasathan) dengan (Adlan), sehingga mereka mendapat gelar umat yang adil, pemimpin yang mencerahkan (memberikan arahan), menjadi hujjah bagi agama, serta pembawa al-Quran dan Sunnah.
Lalu Allah memerintahkan kita untuk berpegang kepada sunnah (minhaj) mereka serta mengikuti jalan mereka seraya berfirman:
(Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali).

Kita juga mendapatkan bahwa Rasulullah telah menganjurkan mereka agar menyampaikan apa yang beliau sampaikan kepada yang lain seraya berkata:
"Allah memberi pencerahan kepada seseorang yang mendengar apa yang saya sampaikan, lalu
menghafalnya dan memahaminya hingga menyampaikannya kepada yang lain".

Juga berkata dalam khutbahnya:
"Hendaknya yang datang saat ini dari kalian menyampaikan kepada yang gaib", beliau juga berkata: "Sampaikan dari saya walaupun hanya satu ayat dan tidak mengapa kalian menyampaikan dariku."

Lalu para Sahabat berpencar ke berbagai tempat dan negara karena tugas fath alislam, ghazwah, menjadi amir, hakim, dan lain-lain, sehingga akhirnya mereka menyebarkan apa yang mereka dapatkan dan hafalkan dari Rasul di daerah masing-masing, mereka memberikan fatwa dari pertanyaan yang diajukan oleh penduduk sesuai yang mereka dengar dari Rasul atau mengkiaskan jawaban yang ada dengan permasalahan yang belum ada, semua itu dilakukan dengan hati yang bersih, niat yang murni, serta keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan ridha, pengampunan serta rahmat kepada mereka”.

Dari sini seluruh ulama Jarh dan ta'dil sepakat tentang 'adalah (komitmen moral) seluruh sahabat. Dalam hal ini Ibnu al-Atsir dalam muqaddimah kitabnya, Usud al-Ghabah,
berkata:
"Sesungguhnya hadis yang menjadi standar penjabaran hukum, mengetahui yang halal dan haram dan masalah lain dalam agama, sebenarnya tidak dapat diketahui kecuali setelah mengetahui para perawinya ... untuk itu wajib mengetahui nasab dan kondisi mereka ... Para sahabat juga sama seperti para perawi lainnya kecuali dalam hal jarh dan ta'dil, karena mereka
seluruhnya termasuk udul (memiliki komitmen dalam hal moral), tidak boleh dijadikan obyek jarh ...".

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, mengatakan:
"Ahlu Sunnah sepakat bahwa seluruh sahabat adalah ‘udul (memiliki komitmen secara moral), tidak ada perselisihan dalam hal ini kecuali orang-orang yang suka melakukan bid'ah yang jumlahnya sangat sedikit".

Ibnu Hajar juga menukil dari Abu Zar'ah yang berkata:
"Jika kamu melihat seseorang mencela (mencaci-maki) salah seorang dari Sahabat, ketahuilah
bahwa ia termasuk zindiq, karena Rasulullah itu benar, al-Quran itu benar, dan apa yang darinya itu benar, dan yang menukilkan semua itu kepada kita seluruhnya adalah para Sahabat, mereka itu ingin mereka itulah kelompok yang ingin mengeluarkan para saksi kami untuk membatalkan al-Quran dan Sunnah. Mereka itulah yang layak dikritik kepribadiannya, karena mereka sebenarnya adalah zindiq".

Demikianlah pendapat dan sikap Ahlu Sunnah tentang Sahabat, serta perannya dalam
menjaga Sunnah Rasul; yang dijadikan pusat dan sumber kedua dalam Syariat Islam. Namun,
terdapat kelompok yang bersebrangan dengan mereka, yakni kelompok Syi’ah Dua Belas
Imam. Baik ulama klasik dan kontemporernya, golongan Syi’ah Dua Belas Imam mayoritas
mencela dan memiliki pandangan negatif terhadap para Sahabat Nabi SAW.


SIKAP ULAMA SYI’AH KLASIK

Mayoritas ulama klasik Syi'ah 12 Imam tidak saja memandang sahabat dengan pandangan negatif, namun memandang mereka dengan kaca mata hitam pekat dan permusuhan. Al-Kulaini meriwayatkan dari Hamran bin A'yun, bahwa seluruh sahabat telah murtad setelah wafatnya Rasulullah SAW., kecuali 3 orang.
Beberapa teman kita, dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Aurumah, dari an-Nadhir, dari Yahya bin Abi Khalid al-Qommath dari Hamran bin A'yun berkata: "Aku berkata kepada Abi Ja'far AS., Aku jadikan diriku tebusan bagimu! Betapa sedikitnya jumlah kita. Jika kita berkumpul untuk makan kambing pasti tidak akan habis! Beliau berkata: "Maukah aku ceritakan yang lebih aneh dari itu? Para Muhajirin dan Anshar mereka semuanya pergi (murtad dari Islam) kecuali –sambil menunjuk dengan jarinya- 3 orang". Amran berkata: Aku jadikan diriku tebusan untukmu. Bagaimana dengan Ammar? Beliau menjawab: Semoga Allah merahmati Ammar –Abu al-Yaqdhan- Ia terbunuh dan mati syahid. Dalam batin, aku berkata: Adakah sesuatu yang lebih baik dari mati syahid. Tiba-tiba beliau melihat ke arahku lalu berkata: Apa kamu kira seperti yang 3 orang itu? Tidak mungkin, tidak mungkin!

Dalam menafsirkan ayat: 2-3 Surat al-Anfal, al-Kulaini berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah: Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Salman al-Farisi, dan al Miqdad. Al-Kulaini juga menukil sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa balasan orang-orang yang mengaku berhak atas imamah padahal mereka tidak berhak (3 orang khalifah sebelum Ali), seluruh orang-orang yang mengingkari imamah 12 Imam, dan setiap orang yang mengaku dirinya muslim sementara kenyataannya tidak demikian (bukan pengikut syi'ah), adalah tidak akan ditatap oleh Allah, tidak akan ditazkiyah, dan bagi mereka azab yang pedih.

Al-Kulaini juga menyebutkan dengan jelas bahwa (al-Syaikhani) Abu Bakar dan Umar meninggal dalam kondisi belum bertaubat kepada Allah sehingga layak mendapatkan laknat dari Allah, Malaikat, dan seluruh manusia.
Selaras dengannya, al-Iyasyi juga meriwayatkan bahwa pasca meninggalnya Rasul, para Sahabat kembali kepada jahiliyah (dalam kondisi kekufuran), kecuali: Imam Ali, al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al- Ghiffari, Salman al-Farisi, dan (seorang belum pasti): Ammar.
Sementara al-Kisysyi, menambahkan 3 nama lagi dalam daftar nama Sahabat yang tidak murtad pasca meninggalnya Rasul SAW, yaitu: Abu Syasyan al-Anshari, Abu Amrah, dan Syatirah, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang.

Setelah berdirinya Dinasti Shafawiyah; di mana kebutuhan pengikut Syi'ah terhadap taqiyyah tidak sebesar ketika mereka hidup di tengah-tengah masyarakat Sunni, ungkapan para ulama di masa ini menjadi lebih jelas mengenai para Sahabat, terutama Ni'matullah al- Jazairi dan al-Majlisi yang merupakan Syeikh Dinasti Shafawiyah.
Al-Jazairi menyebutkan nama Umar secara gamblang sebagai sosok yang diancam dengan adzab di atas adzab Setan karena telah merebut khilafah dari Imam Ali. Sementara al-Majlisi, menyebut secara tegas beberapa nama para Sahabat sebagai alautsan al-arba'ah (empat berhala) dan musuh Allah – mereka disebut juga samar oleh al- Iyasyi –,yaitu: Abu al-Fashil (Abu Bakar) karena al-fashil dengan al-Bakr maknanya mirip, Ramu' (Umar-kebalikan), al-Na'tsal (Utsman). Al-Iyasyi juga menyamarkan beberapa nama berikut yang menurutnya berhak mendapatkan siksa Jahannam dan masuk melalui 7 pintu: Zariq (masuk melalui pintu pertama karena kedzalimannya), habtar (pintu kedua), Abdul al-Malik (khusus pintu ketiga, keempat dan kelima), Askar bin Husir (pintu keenam), Abu Salamah (pintu ketujuh).
Nama-nama di atas kemudian diterjemahkan secara transparan dan lugas oleh al-Majlisi sebagai berikut; Zariq mengisyaratkan kepada khalifah pertama; karena Bangsa Arab biasanya memandang sial mata hijau. Habtar artinya serigala, dijuluki demikian mungkin disebabkan oleh akal bulus dan kelicikannya, riwayat lain menyebutkan sebaliknya; yakni serigala lebih cocok untuk yang pertama. Askar ibn Husir julukan bagi sebagian khalifah Dinasti Umayyah atau Abbasiyah, demikian pula Abi Salamah adalah julukan untuk Aisyah dan semua yang terlibat dalam Perang Jamal.

Dari deretan ulama Syi'ah Imamiyah, sikap al-Hurr al-Amili tergolong paling ekstrem bila dibanding dengan lainnya. Ini bisa dilihat dari nama bab yang ada dalam bukunya, yaitu: Bab anjuran untuk melaknat 4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan yang merupakan musuh-musuh agama setelah selesai Shalat, langsung dengan nama-namanya.

Langkah al-Hurr al-Amili ini diikuti oleh seorang alim kontemporer yaitu al-Nuri al- Thabarsi, pengarang buku Fashl al-Khitab fi Tahrif Kitab Rabbi al-Arbab; di mana al-Tabarsi menulis bab khusus tentang anjuran pelaknatan sebagaimana ditulis oleh al-Amili. Salah satu riwayat yang ada dalam bab tersebut adalah sebagai berikut: "Dari Abi Abdillah, beliau berkata: ‘Di antara hak para wali kami atas kami adalah hendaknya salah seorang dari kami tidak langsung pergi (setelah melaksanakan shalat) sebelum membaca do'a pelaknatan’”.


SIKAP ULAMA SYI’AH KOMPEMPORER

Hampir sama dengan pendahulunya, sikap ulama Syi'ah Dua Belas Imam saat ini juga melaknat para Sahabat Rasul SAW. Sikap mereka tercermin dalam karya-karya mereka, seperti Husain al-Hurasani dalam bukuny al-Islam fi Dhau' al-Tasyayyu', Muhammad Ridla al-Mudzaffar dalam al-Saqifah, Muhammad Mahdi al-Kadzim al-Khalishi dalam Ihya' al- Syari'ah fi Madzhab al-Syi'ah, Abbas Ali al-Musawi dalam Syubuhat Haula al-Syi'ah, dan Mandzur Husain dalam Tuhfat al-Awam Maqbul yang memuat Do'a Shanamai Quraisy (Dua Berhala Quraisy). Untuk yang terakhir, para ulama seperti Ayatullah al-Udzma Muhsin Hakim Tabatabai, Ayatullah al-Udzma Abu al-Qosim al-Khu'i, Ayatullah al-Udzma Ruhulllah al-Khumaini, dan Ayatullah al-udzma Muhamma Kadzim Syariatmadari telah merekomendasikan buku ini untuk dibaca.

Husain al-Hurasani menyatakan bahwa hukum melaknat Syaikhani (Abu Bakar dan Umar) adalah boleh, dasarnya meneladani Rasulullah SAW. Sehingga mereka telah terusir dari hadapan Nabi SAW, dilaknat oleh Allah melalui duta-Nya Muhammad SAW.
Ungkapan al-Hurasani di atas sama sekali tidak dapat dicerna dengan logika manapun, karena bagaimana mungkin Nabi Muhammad yang dari awal kedatangannya sudah mendeklarasikan diri untuk membangun akhlak mulia terutama anjuran untuk menjaga lisan dan menjaga perasaan orang lain, atau menganjurkan untuk tidak berkata kecuali yang baik, jika tidak, diam lebih baik, justru mengajarkan dan menganjurkan umatnya untuk melaknat dan mencaci maki orang lain? Muhammad yang mana yang ia maksud?
Lebih dari itu, ia juga menyifati ketiga khalifah sebagai orang yang bodoh (tidak menonjol secara keilmuan), tidak pernah punya prestasi dalam jihad, tidak menonjol secara akhlak (moral), tidak konsisten dalam prinsip, tidak menonjol dalam ibadah, tidak professional dalam pekerjaaan, dan tidak memiliki keikhlasan dalam perbuatan.

Sementara Mandzur Husein penulis Do'a Shanamai Quraisy (Abu Bakar dan Umr), yang dibaca siang dan malam, melaknat dengan tegas dan memohon agar Allah melaknat para generasi awal terbaik dan unik beserta semua orang yang mengikutinya. Buku ini justru mendapat pengesahan dari empat (4) ulama besar Syi'ah kontemporer, yaitu Ayatullah al- ‘Udzma Muhsin Hakim Taba'tabai, Ayatullah al-‘Udzma Abu al-Qosim al-Khui, Ayatullah al-‘Udzma Ruhullah al-Khumaini, dan Ayatullah al-‘Udzma Mahmud Kadzim Syariatmadari.

Perlu diketahui, Do'a Shanamai Quraisy memuat kebencian, pelecehan, penghinaan, tuduhan, dan permusuhan terhadap Dua Sahabat Agung tersebut. Lebih jauh dari itu, Muhammad Ridha Mudhaffar menuduh para Sahabat seluruhnya telah murtad pasca meninggalnya Rasulullah SAW, kecuali beberapa orang, sembari menuduh bahwa seluruh Sahabat terutama Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah telah bersekongkol untuk memusuhi Imam Ali.

Adapun sikap beberapa ulama kontemporer lain seperti Murtadha al-Askari, Abbas Ali al-Musawi dan yang lainnya, dipenuhi dengan anjuran agar Syi'ah berhati-hati terhadap para Sahabat. Biasanya mereka memulai tulisannya dengan menggugat pengertian Sahabat dan dhawabit 'adalah (kriteria 'adalah) yang selalu disematkan kepada para Sahabat sebagaimana dipahami oleh Ahlu Sunnah, untuk sampai kepada kesimpulan bahwa tidak semua Sahabat itu 'udul. Dengan landasan ini mereka kemudian menyerang para Sahabat, seperti Abu Hurairah, Mu'awiyah bin Abi Sofyan, al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith, sebagai bantu loncatan untuk menjatuhkan para Sahabat utama semisal Abu Bakar, Thalhah, Zubair bin Awwam, Aisyah (Radhiyallahu anhum) dan lainnya.


KRITIK DAN KOMENTAR

Sikap negatif seperti ini justru bertolak belakang dengan sikap para Imam (Ahlu Bait) terhadap para Sahabat. Imam Ali misalnya menamakan hubungan antara beliau dengan para penentangnya (dalam peristiwa Shiffin dan Jamal) sebagai perbedaan dalam ijtihad, tidak ada sangkut pautnya dengan kekafiran atau kemunafikan atau jahiliyah, yang berimplikasi pada surga atau neraka. "Permasalahan bermula dari pertemuan antara kami dengan mereka (Penduduk Syam). Yang jelas Tuhan kita satu, dakwah kita dalam Islam juga satu, tidak ada yang kami miliki dari sisi keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang mereka miliki, demikian sebaliknya, satu hal yang menjadikan kami berselisih adalah masalah darah Utsman, dalam hal ini kami berlepas tangan"
.
Imam Ali juga melarang pengikutnya menjadi orang-orang yang suka mencaci dan melaknat para Sahabat, bahkan ia selalu menganjurkan untuk selalu mendoakan mereka: "Aku tidak suka kalian menjadi orang yang suka mencacimaki, namun jika kalian merenungkan kembali apa yang kalian kerjakan dan menyebutkan kondisi kalian, maka perkataan yang paling benar dan alasan yang paling dapat diterima adalah kalian mengatakan sebagai ganti cacian kalian: ‘Ya Allah
jaga darah kami dan darah mereka, dan perbaiki hubungan antara kami dan mereka’".

Sejarah juga mencacat kebalikan dari apa yang mereka tuduhkan, karena kecintaannya kepada para Sahabat, Imam Ali menamakan anaknya (selain Hasan, Husen, dan Muhammad bin Hanafiyah) Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ummi Kultsum, putri Nabi SAW, juga menikah dengan Umar bin Khattab yang melahirkan Zaid dan Ruqaiyah. Setelah Umar meninggal Ummi Kultsum dinikahi oleh anak pamannya Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib yang tidak lama setelah itu beliau juga meninggal, lalu dinikahi oleh saudaranya Aun bin Ja'far, pada saat itulah Ummi Kultsum meninggal.

Selain itu, Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib menamakan salah satu putranya “Abu Bakar” dan satu putranya lagi “Muawiyah”. Yang terakhir ini (Muawiyah) menamakan salah satu putranya “Yazid”. Begitu pula salah satu keturunan Umar bin Ali bin Abi Thalib yang bernama Isa bin Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan nama "al-Mubarak al-Alawi" (keluarga Alawi yang mubarak), memiliki julukan Abu Bakar. Sementara al-Hasan bin Abi Thalib menamakan putra-putranya “Abu Bakar”, “Umar” dan “Thalhah”. Adapun Zainal Abidin bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib menamakan putra-putranya dengan nama Amir Mukminin Umar (sebagai tabarrukan dan tayammunan).

Hasan bin Abi Thalib memiliki hubungan besan dengan Thalhah bin Abdullah. Ummu Ishaq putri Thalhah adalah Ibunya Fatimah putri Hasan bin Ali. Sementara Sakinah bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah istri Zaid bin Amru bin Utsman bn Affan al-Umawi. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Jika benar apa yang di klaim oleh Syi’ah, maka tidak ada pemahaman lain dari khutbah Imam Ali bin Abi Thalib di atas mimbar Kufah yang diriwayatkan lebih dari 80 jalan: "Sebaik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar dan Umar". dan ucapan Beliau:"Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Aku lebih baik dari Abu Bakar dan Umar, kecuali aku anggap sebagai pembohong" kecuali bahwa para Sahabat (tak terkecuali Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) sejatinya bersatu dalam tujuan, cita-cita dan barisan, serta tidak pernah terjadi permusuhan antara satu dengan yang lainnya.

Karena itu para penganut Syi'ah awal meyakini keutamaan Abu Bakar dan Umar. Hal ini berdasarkan apa yang dinukil oleh Abdu al-Jabbar al-Hamadani dari Abu Qosim Nashr bin al-Shabbah al-Balkhi bahwa seorang penanya bertanya kepada Syarik bin Abdullah: "Mana yang lebih baik (utama) Abu Bakar atau Ali?” Beliau menjawab: "Abu Bakar". Penanya tadi bertanya kembali, bagaimana anda mengatakan demikian padahal anda adalah seorang pengikut Syi'ah?. "Benar, barangsiapa tidak berkata demikian, maka ia bukan Syi'ah".


Setelah penjelasan ini siapapun layak bertanya, mungkinkah mereka yang telah menjadi keluarga, saling menyayangi, telah menyatu, dan telah memilih nama-nama terbaik untuk buah hati mereka, sesungguhnya tidak sedang berada dalam ukhuwah Islamiyah, kecintaan kerena Allah dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan? Di samping itu ternyata para imam (Imam Syi’ah) banyak sekali mengeluhkan dan mencela pengikut Syi'ah dalam khutbahnya.

Apa yang disebutkan di atas merupakan jawaban yang cukup jelas atas kesalahan pandangan dan sikap negatif terhadap para Sahabat. Sikap negatif ini tidak lain merupakan infiltrasi pemikiran luar ke dalam Islam untuk merusaknya dari dalam, karena upaya untuk menghancurkan Islam dari luar pada akhirnya berakhir dengan kegagalan. Karena para Sahabat merupakan kunci utama agama ini; di mana di tangan merekalah agama ini tegak, dan melalui mereka agama ini sampai ke seluruh penjuru dunia, maka menghancurkan konsep 'adalah para Sahabat yang baik tersebut secara otomatis akan meruntuhkan bangunan Islam yang benar, untuk kemudian dibangun di atas
puing-puing tersebut ajaran yang menyimpang dari hasil kompilasi dari berbagai khurafat dan asatir yang menyusup ke dalam Islam.

Walaupun masalah ini bukan termasuk masalah aqidah dalam pemikiran Islam, namun implikasi yang ditimbulkan dari ini lebih besar dari apa yang dibayangkan. Jika diyakini bahwa ‘adalah para Sahabat jatuh atau mereka keluar dari Islam, itu artinya sunnah secara utuh telah runtuh, ini karena periwayat hadis-hadis tersebut adalah para Sahabat, maka runtuh pula pondasi hukum-hukum Islam yang dibangun di atas sunnah itu.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Askari, Murtadha. 1993. Ma'ālim al-Madrasatain, (Beirut: ad-Dar al-Alamiyah, Cet. V)
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1358 H. al-Ishābah fi Tamyiz as-Shahabah, (Mesir: al-maktabah at-
Tijariyah).
Al-Atsir, Abu al-Hasan ‘Izzuddin ‘Ali bin Muhammad bin Abdul Karim al-Jazri Ibnu. T. Th.
Usud al-Ghabah fī Ma’rifat al-Shahābah, (Beirut: Dar Ihya’ Turats al-Arabi).
Al-Dahlawi, Syah Abdu al-Aziz Ghulam Hakim. 1991. Itsna Asyariyah. (Istanbul: Maktabah
al-Haqiqah).
Hurasani, Husein al-Hurasani. T.Th. Islam fi Dhaui al-Tasyayyu'.
Al-Iyasyi. T. Th. Tafsīr al-Iyashi, (Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-Arabi).
Al-Jazairi, Ni'matullah. T. Th. al-Anwār al-Nu'matiniyah, (Beirut: Muassasah al-A’lami)
Al-Khalisi, Muhammad Mahdi al-Kadzimi, Ihya' as-Syariah fi Madzhab as-Syi'ah, (Baghdad:
Matba'ah al-Azhar, Cet. II, 1385 H)
Al-Khotib, Muhibbuddin. 1409. al-Khututh al-Aridhah, (T. Tp: T. Pn, Cet. III,)
Al-Kisyisyi, Muhammad bin Umar. T. Th. Rijal al-Kisysyi, Editor dan komentar Jien al-
Mustafawi, (T. Tmp: Tehran).
Al-Kulaini. 1388 H. Ushul min al-Kafi, (Tehran, Maktabah al-Islamiyah).
Al-Majlisi, Muhammad Bagir. 1403 H. Bihār al-Anwār; al-Jami’ah Lidurar Akhbar al-
Aimmah al-Athar, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Cet. III)
Al-Mudzaffar, Muhammad Ridha. T. Th. al-Saqifah, (Beirut: Dar as-Shafwah, Cet. I).
Al-Musawi, Abbas Ali. T. Th. Syubuhat haula as-Syi'ah, (Beirut: Mansyurat Muassasah al-
A'lami li al-mathbu'at)
Al-Razi, Abu Muhammad bin Abi Hatim. 1371 H. Taqdīmāt al-Ma'rifah lī Kitāb al-Jarh wa
al-Ta'dīl. (Haidar Abad: T. Pnb).
Al-Ridha, Al-Syarif. Nahju al-Balaghah.
Al-Tabarsi, Husain an-Nuri. Mustadrak al-Wasail. (Tehran, al-Maktabah al-Islamiyah).
Az-Zirikly, Khairuddin. T. Th. al-A’lam, (Beirut, Dar al-Ilmi li al-Malayin).

Penulis : M. Kholid Muslih
[email protected]




************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: