Breaking News
Loading...

 Menyoal “Fatwa” Syeikh Mahmud Syaltut Tentang Syiah

Dalam Saturday Forum yang diadakan Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization atau INSISTS tiga tahun lalu, yaitu, Sabtu (14/07/2018) di Jakarta, Dr. Syamsuddin Arif mengangkat judul: “Al-Azhar dan Syi’ah: Menyetujui atau Menolak?”.


Ia antara lain menyampaikan persoalan terkait “fatwa” Syeikh Mahmud Syaltut (Shaltout) pada 1959 yang mengatakan bahwa Syiah adalah madzhab di antara madzhab-madzhab yang ada dalam Islam”.
Tema ini merupakan hasil dari keikutsertaan Syamsuddin dalam konferensi internasional di Islamic College London pada 5-6 Mei 2018.


Ada beberapa hal yang melatari penelitian yang sangat penting ini, di antaranya: adanya konflik antara Sunni-Syiah yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia maupun luar negeri; fatwa Syeikh Mahmud Syaltut pada 1959 yang mengatakan bahwa Syiah adalah madzhab di antara madzhab-madzhab yang ada dalam Islam; dan pernyataan Grand Syeikh Ahmad Thayyib yang menyebutkan bahwa Syiah dan Sunni bersaudara.


Pada kajian yang cukup dipadati peserta itu, intelektual muda Muslim yang akrab dipanggil Dr. Syams ini berfokus pada fatwa Syeikh Mahmud Syaltut tentang Syiah yang seringkali dijadikan tameng oleh orang-orang Syiah atau simpatisannya pada umumnya guna menepis perbedaan antara Sunni dan Syiah dan diseret-seret sesuai kepentingan mereka.



Setidaknya ada lima pertanyaan yang mendasari kajian ini:
-    Pertama, benarkah itu adalah fatwa Syeikh Mahmud Syaltut? Kalau iya, apakah itu dikeluarkan oleh beliau sendiri atau orang lain?
-    Kedua, kalau iya, kenapa beliau mengeluarkannya?
-    Ketiga, kalau iya, apakah itu pendapat pribadi alias sikap beliau sendiri atau mewakili Al-Azhar yang saat itu diketuai oleh beliau sebagai Grand Syeikh?
-    Keempat, kalau itu hanya pendapat pribadi beliau, lalu bagaimana sikap resmi Al-Azhar sendiri?
-    Kelima, terlepas dari itu semua, dengan beredarnya dokumen yang diklaim fatwa itu, bagaimana sikap para ulama dalam Al-Azhar dan di luarnya?

Pada tahun 1947, Syeikh Mahmud Syaltut mengikuti organisasi Jama’ah Taqrib (Taqrib Society) yang didirikan oleh tokoh Syiah Muhammad Taqi Al-Qummi. Organisasi ini menerbitkan jurnal Risalatul Islam.


Menurut penelitian Dr. Syams –yang belum final- kemungkinan besar lembaga ini didanai dari Iran. Lembaga ini memiliki beberapa tujuan besar di antaranya: menyatukan dan mendekatkan suara umat yang tak menyentuh masalah akidah; menebarkan prinsip-prinsip Islam dengan berbagai bahasa; dan menjadi penengah atau upaya rekonsiliasi konflik antar negara yang di dalamnya ada Sunni dan Syiah.
Sebelum ada fatwa ini, doktor jebolan ISTAC ini mengungkapkan beberapa fakta yang cukup penting terkait hubungan politik Iran dan Mesir.


Di antaranya: pada tahun 1939 Muhammad Reza Pahlevi dinikahkan dengan adik Raja Mesir Farouq yaitu Fawziyah (Fawzia of Egypt). Nah, dalam rombongan ini Ada Muhammad Al-Qummi (yang kemungkinan besar melakukan lobi-lobi hingga terbentuknya Jama’ah Taqrib).
Pada 1954 Presiden Gamal Abdul Nasher (yang nikah dengan wanita Syiah bernama Tahiyyah Al-Kazim) menjadi presiden Mesir; pada 1961 Gamal mengubah undang-undang pemilihan Grand Syeikh Al-Azhar bahwa yang memilihnya adalah presiden, hal ini berimplikasi pada independensi Grand Syeikh Al-Azhar.


Dari latar belakang tersebut, sampai timbulnya dokumen yang dikatakan kebanyakan orang sebagai fatwa Syeikh Mahmud Syaltut, terlihat bahwa ada upaya-upaya diplomatik-politik yang sebelumnya diusahakan untuk mewujudkan hal ini.
Setelah memaparkan dengan singkat latar belakang sejarah, dosen tetap Universitas Darussalam Gontor ini mencoba menjawab satu persatu terkait fatwa yang seringkali dinisbahkan kepada Syeikh Syaltut mengenai Syiah.


Benarkah itu adalah fatwa Syeikh Mahmud Syaltut? Menurut penelitian Dr. Syams, itu adalah transkrip obrolan antara Syeikh Mahmud Syaltut dan wartawan (Mahmud Salimah Mandub), 17 Januari dan 5 Februari 1959, yang kemudian dimuat dalam majalah Al-Azhar pada rubrik “Aaraa wa Ahaadits” bukan pada rubrik “Fatwa”, padahal dalam majalah ini ada rubrik khusus mengenai fatwa.
Lebih dari itu, dalam majalah Al-Azhar yang terkait omongan Syeikh Syaltut mengenai Syiah tidak ada ungkapan fatwa; yang ada justru ‘tashrihaat’ (keterangan, penjelasan), ‘taushiyaat’ (tausiah atau nasihat), ‘hadits’ (omongan), ‘aaraa’ (pendapat), dan ‘qaraar’ (ketetapan).


Jadi, tidak ada kata-kata tegas bahwa itu fatwa. “Fatwa” yang beredar –tentang Syiah dari Syeikh Syaltut- justru tidak ada keterangan tanggal. Bahkan. Perkataan wartawan “qultu li-fadhilatihi” (aku berkata/bertanya kepada Syeikh) pada “fatwa” yang beredar itu diganti ‘qiila li-fadhilatihi’ (ditanyakan kepada Syeikh).


Dengan demikian, maka kemudian mengarah, kepada ontentisitas (keaslian) fatwa yang sering dinisbahkan kepada Syeikh Mahmud Syaltut. Benarkah itu ditulis oleh Syeikh? Atau justru direkayasa oleh Muhammad Al-Qummi? Fakta –dari peneliti- yang ada, itu merupakan transkrip jurnalis Mahmud Salimah; ditulis dalam Risalat Islam (jurnal Jama‘ah Taqrib) dan majalah Al-Azhar. Namun, anehnya dalam buku Syeikh Mahmud Syaltut “Fatāwā Muhimmah” tidak ada fatwa yang menyinggung soal ini.

Ia antara lain menyampaikan persoalan terkait “fatwa Syeikh Mahmud Syaltut pada 1959 yang mengatakan bahwa Syiah adalah madzhab di antara madzhab-madzhab yang ada dalam Islam”. Persoalannya adalah dimana naskah asli dokumen –yang disebut fatwa- ini?


Mengingat, di dalamnya tidak ada tanggal yang jelas. Bahkan, dalam buku-buku sekunder yang menjelaskan tanggal fatwa itu masing-masing terdapat perbedaan. Bila demikian, validkah dokumen tersebut? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sangat menarik diteliti lebih lanjut.


Pada waktu itu, fatwa yang dinisbahkan kepada Syeikh Mahmud Syaltut ini mendapat reaksi keras baik dari dalam Mesir maupun luar. Sebagai contoh; Syeikh Muhibbuddin Al-Khatib menulis tulisan berjudul “I’laam al-Anaam Bimukhaalafati Syeikh Al-Azhar Syaltut li al-Islaam”; demikian juga mufti sebelumnya Syeikh Muhammad Husnain Makhluf juga membantah dengan keras fatwa ini. Demikian pula ulama-ulama misalnya dari Saudi yang juga turut membantah.


Ada juga yang berhusnudzan –berbaik sangka kepada Syeikh Mahmud Syaltut, seperti Syeikh Muhammad Abdurrahman Bishar, bahwa yang dimaksud Syeikh Mahmud Syaltut dalam fatwa itu tidak seperti yang dimaksudkan oleh orang Syiah. Yang dimaksud Syeikh Mahmud Syaltut adalah yang sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah.


Syeikh Al-Qardhawi pun yang pernah dekat dengan Syeikh Mahmud Syaltut mempertanyakan dimana fatwa Syeikh Mahmud Syaltut dan dalam kitab apa?
Sedangkan Syeikh Al-Azhar (Muhammad Sayyed Ath-Thantawi) pernah menyatakan bahwa Al-Azhar tidak akan menerima Syiahisasi di negeri Mesir. Sebagai referensi juga, bisa dibaca dalam buku “Juhuud Ulamaa al-Azhaar” mengenai masalah Syiah.


Dengan demikian, dari penelitian Dr. Syamsuddin bahwa keaslian “fatwa Syeikh Mahmud Syaltut” itu masih penuh tanda-tanya dan persoalan. Kalaupun itu benar-benar fatwa Syeikh Mahmud Syaltut, maka husnudzan Dr. Syamsuddin itu tidak seperti yang dimaksudkan kalangan Syiah.
Doktor yang pernah mengambil S-3 di Jerman ini juga sedang menanti jawaban dari pihak Masyikhah Al-Azhar terkai otentisitas fatwa, namun sampai sekarang belum dijawab.


Setelah memaparkan kajian dan diikuti oleh beberapa penanya kemudian dijawab dengan cukup gamblang, pada pukul 12. 00 WIB, acara ditutup dengan doa yang dipimpin langsung oleh Dr. Syamsuddin.
Kajian ini paling tidak memberikan sumbangsih terkait hubungan antara Al-Azhar dan Syiah secara umun, dan secara khusus terkait fatwa Syeikh Mahmud Syaltut.

Penulis : Mahmud Budi Setiawan
Sumber : Hidayatullah com




************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: