Syiahindonesia.com – Salah satu doktrin inti dalam ajaran Syiah adalah klaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, kepemimpinan umat Islam (imamah) seharusnya langsung diberikan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Mereka menyebut bahwa hal itu merupakan wasiat Nabi ﷺ, namun klaim ini sama sekali tidak memiliki dasar yang sahih dalam Al-Qur’an maupun hadits yang diakui oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Klaim Syiah tentang Kepemimpinan Ali
Syiah meyakini bahwa Rasulullah ﷺ telah menunjuk Ali sebagai penerus kepemimpinan umat dalam peristiwa Ghadir Khum. Mereka menafsirkan sabda Nabi ﷺ:
"Man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu"
Barang siapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya)
Syiah menganggap hadits ini sebagai penegasan bahwa Ali adalah khalifah sepeninggal Nabi ﷺ. Padahal, para ulama Ahlus Sunnah menafsirkan kata mawla di sini bukan sebagai "pemimpin politik" (khalifah), melainkan bermakna "teman dekat, penolong, atau orang yang dicintai." Hal ini dipertegas dengan konteks hadits, yaitu sebagai penghormatan kepada Ali setelah beberapa sahabat terjadi perbedaan dengannya.
Bantahan Ahlus Sunnah terhadap Klaim Syiah
Para ulama Sunni menjelaskan bahwa jika benar kepemimpinan Ali adalah wasiat mutlak dari Nabi ﷺ, tentu para sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan lainnya tidak akan mengabaikannya. Tidak mungkin seluruh sahabat bersepakat menyalahi perintah Rasulullah ﷺ.
Imam Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menegaskan bahwa ijma’ sahabat dalam membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah adalah bukti sahih bahwa Nabi ﷺ tidak meninggalkan wasiat khusus tentang pengganti beliau.
Selain itu, Ali sendiri tidak pernah memprotes kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Bahkan beliau setia membantu mereka, menikahkan putrinya (Ummu Kultsum) dengan Umar bin Khattab, dan menjadi penasehat penting bagi khalifah-khalifah sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa klaim Syiah bertentangan dengan fakta sejarah.
Syiah dan Pemutarbalikan Sejarah
Syiah melakukan banyak distorsi sejarah untuk mendukung klaim mereka. Mereka menuduh sahabat Nabi ﷺ berkhianat, bahkan mengkafirkan mayoritas sahabat karena dianggap merebut hak Ali. Padahal Allah ﷻ memuji para sahabat dalam Al-Qur’an:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100)
Jika Allah telah meridhai para sahabat, maka bagaimana mungkin Syiah menuduh mereka sebagai pengkhianat dan perampas hak Ali?
Kepemimpinan dalam Islam Menurut Sunni
Ahlus Sunnah meyakini bahwa kepemimpinan dalam Islam ditentukan melalui musyawarah (syura), bukan melalui wasiat darah keturunan. Inilah yang dilakukan para sahabat setelah wafatnya Nabi ﷺ, mereka memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah.
Ali bin Abi Thalib sendiri kemudian diangkat menjadi khalifah keempat, dan seluruh umat menerimanya dengan penuh penghormatan. Hal ini membuktikan bahwa Ahlus Sunnah tidak merendahkan kedudukan Ali, tetapi menempatkannya secara proporsional sesuai dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Klaim Syiah bahwa Ali adalah satu-satunya pemimpin sah setelah Nabi ﷺ adalah klaim palsu yang tidak memiliki dasar kuat dari Al-Qur’an maupun hadits sahih. Sejarah membuktikan bahwa para sahabat tidak berkhianat, melainkan menegakkan syura untuk memilih pemimpin terbaik bagi umat.
Dengan menyebarkan doktrin kepemimpinan eksklusif ini, Syiah telah menebar fitnah, merusak persatuan, dan menodai kehormatan sahabat Nabi ﷺ. Oleh karena itu, umat Islam perlu waspada agar tidak terjebak dalam pemahaman batil yang dibangun di atas klaim dusta dan manipulasi sejarah.
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: