Keyakinan ini dapat ditemukan secara terang-terangan dalam buku berjudul "Muhammad Baqir Sang Pemilah Ilmu", yang ditulis oleh Tim Teladan Abadi dan diterbitkan oleh penerbit Al-Huda. Buku ini telah beredar di Indonesia dan pada halaman 253 menyatakan bahwa:
“Di antara keyakinan Syiah adalah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah khalifah sah setelah meninggalnya Rasulullah saw.”
Pernyataan ini bukanlah hal baru dalam doktrin Syiah. Mereka menganggap bahwa kekhalifahan merupakan hak ilahi (divine right) yang telah ditetapkan langsung oleh Allah kepada Ali dan keturunannya. Pandangan ini dikenal dengan konsep "Imamah" dalam ajaran Syiah, di mana para imam dianggap ma'shum (terpelihara dari dosa) dan memiliki otoritas spiritual serta politik melebihi para nabi setelah Rasulullah ﷺ.
Padahal dalam sejarah Islam yang shahih dan telah disepakati oleh jumhur ulama Ahlus Sunnah, Rasulullah ﷺ tidak pernah menunjuk seorang khalifah secara eksplisit, namun para sahabat yang mulia seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali رضي الله عنهم sepakat bermusyawarah untuk memilih pemimpin berdasarkan syura dan kemaslahatan umat.
Syiah dan Penyelewengan Sejarah Khilafah
Klaim Syiah tentang Ali sebagai khalifah pertama sejatinya adalah bentuk pembelokan sejarah. Khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي الله عنه merupakan hasil musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah, yang dihadiri para sahabat Anshar dan Muhajirin. Ali sendiri berbaiat kepada Abu Bakar, sebagaimana tercatat dalam berbagai riwayat sahih, termasuk dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Pegang teguhlah ia dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.”
(HR. Abu Dawud, no. 4607)
Hadis ini dengan jelas menyebut para khalifah sepeninggal Nabi ﷺ sebagai rasyidun (yang mendapat petunjuk), dan bukan hanya Ali semata, sebagaimana diyakini Syiah.
Imamah: Akar Penyimpangan Aqidah Syiah
Dalam kitab-kitab Syiah, Imamah merupakan pokok aqidah yang lebih tinggi dari kenabian. Salah satu rujukan utama Syiah, Ushul al-Kafi, menyatakan:
من لم يعرف إمامه مات ميتة جاهلية
“Barang siapa yang tidak mengenal imamnya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”
(Al-Kulaini, al-Kafi, 1/375)
Dengan demikian, mereka meyakini bahwa mengenal dan mengikuti imam-imam Syiah adalah kunci keimanan, dan siapa pun yang tidak mengikuti imam Syiah – termasuk seluruh kaum Muslimin Ahlus Sunnah – dianggap mati dalam kesesatan.
Bahaya Penyebaran Buku-Buku Syiah di Indonesia
Buku Muhammad Baqir Sang Pemilah Ilmu adalah satu dari sekian banyak upaya penyebaran doktrin Syiah di tengah masyarakat Sunni Indonesia. Diterbitkan oleh Al-Huda, yang dikenal sebagai penerbit literatur Syiah, buku ini dengan sengaja menanamkan narasi “Ali adalah khalifah sah” untuk menafikan keabsahan khilafah para sahabat lainnya.
Penyebaran buku-buku semacam ini perlu menjadi kewaspadaan umat Islam dan pemerintah. Karena selain mengandung ajaran yang bertentangan dengan aqidah Islam yang lurus, mereka juga menyusup lewat pendekatan ilmiah dan budaya yang membingungkan masyarakat awam.
Kesimpulan: Menolak Syiah, Menjaga Kemurnian Islam
Paham Syiah bukanlah sekadar perbedaan fiqih atau cabang dalam Islam. Ia merupakan paham yang memiliki akar aqidah yang berbeda secara fundamental dengan Islam Ahlus Sunnah. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya khalifah yang sah, serta kepercayaan terhadap keimamahan yang ma’shum, jelas-jelas bertentangan dengan nas-nas sahih dari Al-Qur’an dan sunnah.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia waspada terhadap penyebaran ajaran sesat ini, baik melalui buku, media digital, maupun kegiatan dakwah terselubung. Penolakan terhadap Syiah bukanlah bentuk kebencian, tapi bagian dari upaya menjaga kemurnian Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
(albert/syiahindonesia.com)Kajian Utama,
0 komentar: