Dua jurnalis Suriah menyebut bahwa pidato Presiden Ahmad Asy-Syaraa baru-baru ini merupakan pesan langsung kepada entitas penjajah “Israel”, yang menegaskan hilangnya kepercayaan penuh terhadapnya. Menurut mereka, tekanan militer tidak akan memaksa Damaskus untuk menyerah, terlebih dalam situasi saat ini yang disertai perundingan tidak langsung antara kedua pihak.
Dalam pernyataan kepada kantor berita Turki Anadolu, jurnalis Qutaibah Yassin dan Ali Eid menilai pidato Asy-Syaraa membawa nada tegas dan belum pernah terjadi sebelumnya terhadap “Israel”, terutama ketika ia menyebut entitas penjajah itu dengan istilah “al-kiyan al-Israili” dalam konteks kecaman atas agresi besar-besaran yang dilakukan militer “Israel” pada Rabu lalu terhadap empat provinsi Suriah, termasuk Damaskus.
Agresi tersebut menyasar markas besar staf umum dan kawasan sekitar Istana Kepresidenan. Serangan itu menyebabkan tiga orang gugur dan melukai 34 lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Suriah.
Di tengah upaya “Israel” untuk memaksakan formula negosiasi melalui kekuatan militer, pidato Asy-Syaraa—menurut Yassin—menegaskan bahwa Damaskus tak lagi melihat adanya manfaat dalam menjalin kesepahaman dengan “Tel Aviv”. “Asy-Syaraa menyampaikan dengan jelas kepada ‘Israel’: Aku tidak lagi mempercayai kalian, juga tidak pada jaminan Amerika,” kata Yassin.
Ia juga menekankan bahwa pidato tersebut membawa peringatan keras bahwa setiap perang ke depan akan “menyulut seluruh kawasan,” sambil mengingatkan bahwa Presiden Asy-Syaraa memiliki pengalaman lapangan lebih dari 20 tahun.
Pesan kepada Komunitas Druze
Pidato Asy-Syaraa juga mengandung pesan penting ke dalam negeri, terutama kepada komunitas Druze di wilayah As-Suwayda. Ia menegaskan bahwa “Suriah tidak akan menjadi arena perpecahan atau fitnah.”
Yassin menambahkan bahwa sang Presiden menyampaikan pidatonya dengan gaya nasionalis yang inklusif, tanpa nada memelas ataupun emosi berlebihan. “Ia berbicara dengan jelas dan langsung… tanpa membaca dari teks tertulis,” ujar Yassin.
Sementara itu, jurnalis Ali Eid mencatat bahwa pidato tersebut menunjukkan perbedaan mendasar dalam pendekatan negosiasi antara Damaskus dan “Israel”. “Asy-Syaraa menolak negosiasi dalam kondisi tekanan militer, dan mengisyaratkan bahwa penarikan sementara pasukan Suriah dari As-Suwayda bukan karena kelemahan, tetapi demi menghindari pertumpahan darah,” jelasnya.
Ia menilai bahwa “Israel” tengah berupaya melemahkan pemerintahan pusat Suriah dengan cara mengguncang stabilitas internal, khususnya di wilayah selatan.
Dimensi Regional dan Intervensi “Israel”
Lebih lanjut, Ali Eid menyoroti bahwa pidato tersebut juga mencerminkan dimensi regional. Asy-Syaraa secara khusus memuji peran Arab Saudi dan Turki dalam mendukung Suriah, terutama dalam isu-isu keamanan. Menurut Eid, hal ini menjadi sumber kegelisahan bagi “Israel”.
Ia memperingatkan bahwa Tel Aviv kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi pidato tersebut untuk memicu gejolak baru di selatan Suriah, khususnya di As-Suwayda, wilayah yang sedang menghadapi situasi keamanan yang rumit.
Dalam beberapa waktu terakhir, As-Suwayda mengalami bentrokan sengit antara kelompok bersenjata Druze dan kelompok Badui, yang menyebabkan lebih dari 30 orang tewas dan sekitar 100 lainnya terluka, menurut laporan kantor berita SANA. Pemerintah Suriah kemudian mengerahkan pasukan untuk meredakan ketegangan di wilayah tersebut.
Mengakhiri pernyataannya, Yassin berkata, “Pidato Asy-Syaraa telah membuka lembaran baru… Rakyat Suriah hari ini tengah menghadapi pertempuran eksistensial, dan dukungan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional semakin kuat.”
(Samirmusa/arrahmah.id)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: