Syiahindonesia.com - Dalam ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, peringatan Asyura bukanlah ibadah yang wajib, melainkan disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu. Namun dalam praktik keagamaan Syiah, ritual peringatan Asyura seperti ratapan, perkabungan, dan bahkan penyiksaan diri justru dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari agama yang wajib dilestarikan. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Asal-Usul Ritual Asyura dalam Syiah
Syiah menjadikan peristiwa Karbala, yaitu gugurnya Husein bin Ali رضي الله عنه pada 10 Muharram, sebagai pusat seluruh ritus keagamaannya. Tragedi ini dijadikan landasan emosional dan ideologis yang terus dikultuskan. Berbagai amalan dibuat untuk “menghidupkan” tragedi Karbala, bahkan hingga ke titik ekstrem seperti:
Tathbir (melukai kepala dengan pedang)
Zanjeer Zani (memukul punggung dengan rantai berduri)
Majelis ta’ziyah dengan tangisan dan ratapan
Drama teatrikal berdarah tentang Karbala
Bahkan sebagian ulama Syiah mewajibkan hadirnya seorang mukmin di majelis duka Husein setiap tahun sebagai bagian dari bentuk loyalitas kepada Ahlulbait.
Dalih Teologis yang Digunakan Syiah
Untuk membenarkan kewajiban ritual Asyura, Syiah menggunakan riwayat-riwayat dari kitab mereka seperti "Bihar al-Anwar" karya al-Majlisi dan "Wasail al-Syiah" yang menyebut bahwa menangisi Husein dapat menghapus dosa, bahkan lebih besar dari pahala jihad:
"Siapa yang menangis untuk Husein, maka baginya surga."
"Air mata untuk Husein akan memadamkan api neraka."
Namun riwayat-riwayat tersebut tidak memiliki dasar dari hadis-hadis shahih yang diakui oleh Ahlus Sunnah. Bahkan bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
"Bukan dari golongan kami orang yang menampar pipi, merobek baju, dan berseru dengan seruan jahiliyah."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penyesatan Melalui Kewajiban Emosional
Dengan menjadikan ritual Asyura sebagai kewajiban, Syiah berhasil menanamkan doktrin emosional yang mengikat pengikutnya secara psikologis dan spiritual. Mereka merasa bahwa menangis dan menyakiti diri adalah bentuk kecintaan kepada Husein, padahal Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah memerintahkan hal semacam itu.
Ketika putra beliau, Ibrahim, wafat, beliau hanya menangis sambil berkata:
"Hati bersedih, mata menangis, namun kami tidak mengatakan kecuali yang diridhai oleh Allah."
Tidak ada ratapan, tidak ada pukulan terhadap diri sendiri.
Mengganti Sunnah dengan Bid’ah
Alih-alih berpuasa sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
"Puasa di hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya."
(HR. Muslim)
Syiah justru meninggalkan puasa dan menggantinya dengan ritual-ritual berdarah yang tidak dikenal dalam Islam. Ini menunjukkan adanya penggantian sunnah dengan bid’ah yang dibungkus atas nama cinta Ahlulbait.
Kesimpulan
Syiah menjadikan ritual Asyura sebagai kewajiban dengan dalih mencintai Husein bin Ali رضي الله عنه, namun dalam praktiknya mereka justru menyalahi ajaran Rasulullah ﷺ. Tidak ada kewajiban dalam Islam untuk meratap, menangis, apalagi menyiksa diri. Kewajiban sejati di hari Asyura adalah berpuasa dan bersyukur kepada Allah atas nikmat keselamatan dan kemenangan iman. Umat Islam hendaknya tidak tertipu dengan emosionalisme palsu yang dibungkus dalam ritual keagamaan yang menyimpang.
(albert/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: