Syiahindonesia.com - Rabu malam waktu setempat (14/5/2025), rakyat Suriah diliputi euforia setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan mencabut sanksi terhadap negara itu dalam kunjungannya ke Riyadh.
Dalam lawatan empat harinya ke Timur Tengah, Trump bertemu sejumlah pemimpin kunci dan mendorong investasi asing. Pada Selasa (13/5), ia menyatakan harapan atas “pemerintahan baru” di Suriah yang diharapkan dapat menstabilkan negara dan menjaga perdamaian.
“Akan saya perintahkan penghentian sanksi terhadap Suriah demi memberi mereka kesempatan untuk bangkit,” ujar Trump.
Pernyataan ini langsung disambut suka cita, baik di dalam negeri maupun di kalangan diaspora. Ratusan warga memadati Alun-Alun Jam di Homs, melambaikan bendera Suriah, meneriakkan slogan-slogan nasionalis, dan menyalakan kembang api.
Banyak yang juga menyampaikan terima kasih kepada Qatar dan Arab Saudi atas dukungan mereka, menyebut bahwa ini adalah awal dari babak baru bagi stabilitas dan rekonstruksi negara.
Namun, suka cita itu ternoda oleh insiden tragis. Sedikitnya tiga orang tewas akibat tembakan saat perayaan. Seorang pemuda dan ibunya meninggal di kawasan al-Fayd, kota Jableh (selatan Latakia) karena peluru nyasar. Seorang perempuan lain juga tewas di desa Maliha al-Atash, timur Daraa. Beberapa lainnya terluka, termasuk seorang anak.
Aparat keamanan akhirnya turun tangan untuk mengendalikan situasi.
Penghapusan sanksi ini terjadi setelah Presiden Suriah yang baru, Ahmad asy Syaraa, berkali-kali menyerukan pencabutan sanksi agar negara dapat memulai pemulihan.
Pada Maret lalu, Inggris mencabut sanksi terhadap 24 entitas Suriah, termasuk bank sentral. Uni Eropa juga lebih dulu menyatakan akan menangguhkan sebagian sanksi di sektor perbankan.
“Good Luck, Suriah”
Sebelum pengumuman, Trump menyoroti bagaimana perang dan kekacauan bertahun-tahun telah menghambat pertumbuhan Suriah.
“Ada pemerintahan baru yang kami harap akan sukses… Saya ucapkan semoga berhasil, Suriah. Tunjukkan pada dunia sesuatu yang luar biasa,” katanya.
Trump juga menyebut bahwa Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio akan bertemu Menlu Suriah, Asaad al-Shibani, di Turki dalam beberapa hari ke depan.
Al-Shibani menyebut pencabutan sanksi ini sebagai “titik balik penting bagi rakyat Suriah menuju masa depan yang stabil, mandiri, dan rekonstruksi nyata setelah perang yang menghancurkan.”
Di balik euforia
Yazan Al-Saadi, editor internasional The New Arab yang berbasis di Beirut, mengatakan bahwa kabar ini disambut gembira karena Suriah telah mengalami masa-masa sulit sejak tergulingnya Assad pada 8 Desember lalu.
“Salah satu tantangan terbesar adalah sanksi ekonomi, khususnya dari AS dan negara-negara Barat, yang membatasi perdagangan dan transaksi keuangan,” ujar Al-Saadi.
“Dengan pencabutan sanksi ini, akan terbuka banyak peluang komersial, baik bagi warga di dalam negeri maupun diaspora. Aktivitas bisnis, perdagangan, dan transfer dana akan lebih leluasa.”
Meski demikian, ia juga mengingatkan bahwa masih banyak pertanyaan besar di balik euforia ini.
“Bagaimana dan kapan tepatnya sanksi akan dicabut? Menciptakan sanksi itu cepat, mencabutnya prosesnya berbelit dan penuh detail teknis,” jelasnya.
“Apa harga dari pencabutan ini? Apakah normalisasi dengan ‘Israel’? Apakah ini berarti Suriah akan semakin masuk ke dalam lingkaran pengaruh Barat dan Teluk? Bagaimana dampak kapitalisme neoliberal yang tak terkendali? Apakah kita akan menyaksikan Suriah dijarah seperti Rusia pasca-Uni Soviet?” tambahnya.
Dampak sanksi terhadap Suriah
Sanksi AS terhadap rezim Assad di Suriah berlangsung dari 1971 hingga 2024, dan sangat melumpuhkan ekonomi negara itu. Sanksi ini mencakup embargo senjata, larangan investasi, pembekuan aset pemerintah, dan larangan impor minyak.
Pada Juni 2023, Human Rights Watch melaporkan bahwa sanksi-sanksi ini menghambat bantuan pasca-gempa di Turki selatan dan Suriah utara, termasuk pengiriman obat-obatan dan alat medis.
Sanksi Uni Eropa juga memperburuk krisis energi dan listrik di Suriah. Pemerintah kesulitan menstabilkan nilai tukar dan mengimpor teknologi. Warga diaspora pun kesulitan mengirim uang untuk keluarga mereka.
Bisakah Trump cabut semua sanksi?
Meski Trump menyatakan akan mencabut “semua sanksi”, para pakar mempertanyakan apakah ia memang memiliki wewenang penuh.
Trump memang bisa membatalkan sanksi yang dikeluarkan melalui perintah eksekutif, sekitar delapan di antaranya. Namun sebagian besar sanksi merupakan hasil legislasi, dan hanya bisa dicabut lewat persetujuan Kongres.
Salah satu sanksi yang sulit dicabut adalah Caesar Syria Civilian Protection Act (2019), yang menjatuhkan sanksi sekunder terhadap siapa pun yang terlibat dalam pendanaan rekonstruksi Suriah, terutama mereka yang terkait dengan rezim Assad.
Selain itu, sejak 1979, Suriah juga masuk dalam daftar negara “pendukung terorisme”, yang membuat bantuan atau penjualan senjata AS ke negara itu dilarang. Menghapus status ini memerlukan sertifikasi presiden, peninjauan oleh Kongres, dan pelaporan resmi. (zarahamala/arrahmah.id)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: