Lanjutan dari bagian pertama
=====
Corak Ajaran Syi‘ah di Pondok Pesantren Al Hadi Pekalongan
Pondok Pesantren al-Hadi Pekalongan adalah pondok pesantren yang berhaluan Syi‘ah Iṡna ‘Asyariyah di bawah naungan Yayasan Al Hadi. Syi‘ah Iṡna ‘Asyariyah adalah madzhab Syi‘ah yang terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Syi‘ah Iṡna ‘Asyariyah adalah Syi‘ah yang percaya pada dua belas Imam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu: Amirul Mukminin Imam Ali Bin abi Thalib as (w. 40 H/661 M), Imam Muhammad Hasan Bin Ali as (w. 49 H/669 M), Abu Abdillah al-Husain Bin Ali as (w. 61 H/680 M), Imam Ali Bin Husain Zainal Abidin as (w. 95 H/714 M), Imam Muhammad Bin Ali al-Baqir as (w. 115 H/733 M), Imam Jafar Bin Muhammad al-Shadiq as (w. 148 H/765 M), Imam Musa Bin Jafar al-Kadzim as (w. 183 H/799 M), Imam Ali Bin Musa al-Ridha as (w. 203 H/818 M), Imam Muhammad Bin Ali al-Jawad as (220 H/835 M), Imam Ali Bin al-Hadi as (w. 254 H/868 M), Imam Hasan Bin Ali al-Asykari as (w. 260 H/874 M) dan Imam Muhammad Bin Hasan al-Mahdi al-Muntazhar as. Imam yang terakhir diyakini sedang mengalami ghaib (menghilang) pada tahun 392 H/940 M, dan akan datang kelak untuk melawan segala kejahatan dan kebatilan di seluruh penjuru bumi ini.
Oleh karena putra-putra Nabi Muhammad meninggal saat masih bayi, maka para Imam ini lahir dari putri beliau, yaitu Fatimah, yang bersuamikan Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu dan anak perwalian Nabi Muhammad. Ali bin Abi Thalib kemudian menjadi Imam pertama atas dasar penunjukan langsung oleh Rosulullah ketika beliau dan para sahabatnya pulang dari haji wada‘ sedang beristirahat berada di Gahīr Khumm (danau/telaga khumm). Hari tersebut kemudian menjadi perayaan rutin Gahdīr Khumm bagi kaum Syi‘ah.
Al-Hasan dan al-Husain yang dibesarkan oleh Nabi dengan penuh kasih sayang dan kecintaaan, dianggap sebagai Imam kedua dan ketiga. Setelah al-Husain, menurut madzhab Syi‘ah Iṡna ‘Asyariyah, Imamah tetap dipegang oleh keturunanya sampai pada kedua belas Imam, yaitu Imam Muhammad Bin Hasan al-Mahdi al-Muntadzar as yang atas perintah Allah memasuki kegaiban dan akan datang pada suatu saat untuk melanjutkan bimbinganya kepada seluruh umat Islam hingga hari Kiamat kelak.
Taqiyyah dalam Pandangan Syiah Pekalongan
Menurut Khotib Usman, salah seorang anggota Syiah Pekalongan, mengatakan bahwa taqiyyah adalah upaya menyembunyikan suatu kebenaran untuk menyelamatkan nyawa diri, keluarga, dan kemaslahatan ummat. Ia menambahkan bahwa taqiyyah sesungguhnya bukan hanya dilakukan oleh kalangan Syiah saja, melainkan digunakan secara umum.
Dengan kata lain, apa yang dimaksud oleh Khotib Usman tersebut menunjukkan bahwa konsep taqiyyah tidak hanya dilakukan oleh komunitas Syiah saja melainkan aliran lainnya. Apabila seorang muslim berada dalam keadaan bahaya di tengah mayoritas maka ia boleh bertaqiyyah untuk menyelamatkan dirinya.
Secara global, komunitas Syiah di dunia adalah minoritas. Di Indonesia sendiri jumlah Syiah bisa dibilang sangat sedikit. Jumlah Syiah masih sedikit jika dibandingkan dengan mayoritas muslim Indonesia yang beraliran Sunni. Oleh karena itu, tidak jarang dari mereka yang kemudian ditolak dan ditentang karena berbedaan aliran. Syiah ditolak karena jika mereka menyebarkan ajaran syiahnya, maka akan timbul permusuhan dengan masyarakat sekitar. Kejadian di Sampang Maduran dan di Bandung adalah contoh bagaimana komunitas Syiah dipersekusi oleh kelompok Islam lainnya.
Di kota Pekalongan juga dalam sejarahnya mengalami penolakan ketika Pesantren Al Hadi hendak melebarkan sayapnya dengan mendirikan Pesantren putri di Kota Batang. Warga masyarakat menyatakan penolakan dan akhirnya pengadilan Pemerintah Kabupaten memutuskan pelarangan aktifitas pesantren syiah tersebut.
Pasca revolusi Iran 1979, komunitas Syiah di Pekalongan masih sembunyisembunyi. Mereka masih takut untuk berekspresi sesuai dengan nilai dan ajaran Syiah. Selama masa itu, mereka bertaqiyyah untuk menyembunyikan identitas keagamaannya. Hal ini disebabkan karena jumlah Syiah di Indonesia masih sedikit dan rawan konflik apabila mereka menunjukkan identitasnya. Oleh karena itu, taqiyyah merupakan cara untuk menyemalatkan diri mereka dari tindakan yang tidak diinginkan.
Menurut Khotib Usman ada beberapa situasi yang menyebabkan orang Syiah untuk bertaqiyyah:
1. Jiwa terancam
2. Keluarga terancam
3. Harta terancam
4. Keyakinan agama terancam
5. Persatuan agama dan negara terancam
Namun keadaan berbeda di masa selanjutnya. Komunitas Syiah lebih terbuka dan mau mengungkap identitasnya di ruang publik. Hal ini diungkapkan oleh Khotib Usman yang mengatakan kalau generasi di era reformasi saat ini, mereka lebih terbuka lagi. Terlebih lagi ia menambahkan bahwa untuk komunitas Syiah di Pekalongan saat ini mereka dilarang untuk bertaqiyyah.
Komunitas Syiah di Pekalongan dituntut untuk berdakwah dan mengakui dirinya sendiri sebagai seorang Syiah. Pelarangan untuk melakukan taqiyyah di Pekalongan disebabkan karena mereka menjalin hubungan baik dengan aliran Sunni di Pekalongan. Maka dari itu, taqiyyah tidak diperlukan lagi. Kerukunan antar aliran Islam di Pekalongan dibuktikan dengan adanya timbal balik dalam bidang ritual kegamaan. Ketika orang Syiah ada acara besar seperti perayaan ‘Asyura, Arbain, dan lain-lain mengundang orang-orang Sunni. Sementara itu di pihak lain komunitas Sunni juga mengundang di acara tahlilan, mauludan, dan peringatan hari besar lainnya. Di sisi lain, negara juga memperlakukan Syiah dengan baik. Negara tidak mempolitisasi salah satu faham kegamaan dalam Islam. Oleh karena itu, keberadaan kelompok Syiah di Indonesia dilindungi oleh negara. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kegiatan-kegiatan kegamaan Syiah yang melibatkan massa banyak didukung oleh pemerintahan setempat seperti perayaan Asyura dan Arbain.
Di Jawa Tengah sendiri, perayaan Asyura biasanya dilaksanakan di Semarang dan perayaan Arbain biasanya dilaksanakan di Jepara. Hubungan baik dengan kelompok Sunni (NU dan Muhammadiyah sebagai mayoritas) dan sikap negara atas aliran Syiah menjadikan konsep taqiyyah tidak diperlukan lagi. Namun beberapa tahun terakhir, pelaksanaan ritual syiah di Semarang mengalami penolakan dari beberapa ormas masyarakat.
Konflik Sunni-Syiah di Pekalongan
Syiah memiliki hubungan yang kurang baik dengan kelompok Islam lainnya seperti Ahlu Sunnah. Tercatat pada tahun 1990 pernah terjadi demo Umat Islam untuk menolak keberadaan Syiah di Pekalongan. Mereka menolak keberadaan pondok pesantren Al Hadi. Selain kasus itu, pada tahun 2000 juga pernah terjadi kasus serupa di salah satu cabang Pondok Al Hadi di Kab. Batang Jawa Tengah.
Penolakan dilakukan karena pondok Al Hadi dianggap telah menyebarkan Syiah di Batang. Akhirnya konflik ini berujung pada pemberhentian Pondok Al Hadi di Kab. Batang. Konflik yang tidak kalah besar juga terjadi di Sampang Madura Jawa Timur. Penolakan masyarakat dengan dakwah syiah yang disebabkan syiah berani secara terang-terangan menampakan kebencian terhadap para Sahabat RA menyebabkan masyarakat menolak keberadaan komunitas syiah. Akhirnya warga syiah terusir dan pada tahun 2021 kemarin, bias kembali lagi setelah mereka menyatakan taubat dari ajaran syiah.
Konflik yang terjadi di Pekalongan dan Jawa Timur adalah contoh kasus konflik Sunni-Syiah. Di daerah lain seperti Jawa Barat juga terjadi kasus serupa. Bahkan di banyak tempat, terjadi penolakan acara ritual syiah asyuro. Dari Medan sampai ujung timur terjadi penolakan.
Bersambung ke bagian ke 3
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: