Jakarta - Putra Mahkota Mohammed bin Salman berharap untuk segera menghancurkan pemberontak syiah Houthi melalui intervensi Arab Saudi dalam konflik di Yaman. Arab Saudi dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya telah mendukung pasukan Presiden Yaman Abed Rabbo Mansour Hadi dalam pertempuran melawan kelompok minoritas penganut Syiah, Houthi, yang mana mendapat dukungan dari saingan regional utama Arab Saudi, yakni Iran.
Tetapi menjadi jelas bahwa kelompok syiah Houthi telah mendapatkan kekuatan yang stabil sejak konflik dimulai tepat pada enam tahun lalu, pada 26 Maret 2015. Arab Saudi pun tidak bisa lagi memenangkan perang. PBB memperkirakan lebih dari 230 ribu orang telah tewas dan jutaan lainnya menderita kelaparan dan sakit. Selain itu sistem kesehatan di sana runtuh di bawah tekanan pandemi virus corona.
Arab Saudi telah mengajukan rencana untuk mengakhiri perang di Yaman. Menteri luar negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan al Saud, mengumumkan bahwa proposal tersebut akan mencakup gencatan senjata nasional di bawah pengawasan PBB. Tahun lalu, Saudi melakukan tawaran serupa.
Proposal damai Saudi
Rencana tersebut jelas merupakan jalan keluar bagi Arab Saudi. Pemberontak syiah Houthi telah merebut ibu kota, Sana'a, dan sebagian besar wilayah barat laut Yaman. Pada bulan Februari, mereka memulai serangan untuk merebut kota kaya minyak, Marib. Selama bertahun-tahun, Arab Saudi dan koalisi militer pimpinan Saudi telah melancarkan serangan udara di Sana'a dan telah menutup jalur hubungan udara dan laut dalam upaya memutus akses pasokan ke syiah Houthi.
Al Saud mengatakan pemerintah ingin menghentikan kekerasan yang terus terjadi dan akan membuka kembali bandara di Sana'a untuk meningkatkan distribusi makanan di Yaman. Pemerintah Arab Saudi mengumumkan bahwa mereka juga akan melonggarkan blokade pelabuhan Hodeidah untuk memungkinkan impor bahan bakar dan makanan. Empat kapal pengangkut bahan bakar baru saja merapat di Hodeidah. Mereka dilaporkan memiliki total 45.000 ton solar, 5.000 ton gas cair, dan lebih dari 22.000 ton makanan di dalamnya.
Syiah Houthi awalnya menolak inisiatif perdamaian Arab Saudi, dengan mengatakan tidak ada yang baru dari tawaran tersebut. Kepala negosiator mereka, Mohammed Abdulsalam, mengatakan bahwa dia siap untuk mengadakan pembicaraan lebih lanjut dengan pemerintah Saudi dan Amerika Serikat (AS) dan pemerintah mediator regional, Oman, untuk mencapai kesepakatan damai. Namun dia menambahkan bahwa bahan bakar, makanan, obat-obatan, dan bahan kebutuhan pokok merupakan hak kemanusiaan dan legal. "Kami tidak menerima syarat militer atau politik untuk menerima mereka," kata Abdulsalam.
Meski demikian, para pejabat dari AS, PBB, dan Oman yakin bahwa negosiasi memiliki peluang. Selama berminggu-minggu, Oman telah menjadi tuan rumah pembicaraan antara Houthi dan utusan khusus AS untuk Yaman, Timothy Lenderking. Namun, saat ini, tidak ada tanda-tanda gencatan senjata dan perang yang segera berakhir.
Pendekatan baru Biden
Pelantikan Presiden AS Joe Biden telah meningkatkan tekanan pada monarki Saudi. Pada bulan Februari,ia mengumumkan penghentian dukungan AS untuk intervensi militer di Yaman dan penarikan dukungan logistik dan intelijen penting dari koalisi militer yang dipimpin Saudi.
"Arab Saudi telah kalah dalam perang di Yaman - dan itu terutama karena pemerintahan Biden telah menjelaskan bahwa ia tidak lagi mendukung operasi Saudi di sana," kata Guido Steinberg, senior associate di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan yang mengkhususkan diri pada isu Timur Tengah. Dia mengatakan ini berarti bahwa Saudi harus menurunkan ketegangan di Yaman. Serangan syiah Houthi di Marib dapat menyebabkan pasukan pro-Saudi - khususnya pemerintah Yaman yang diakui secara internasional - kehilangan salah satu wilayah strategis penting terakhir mereka.
Kelompok syiah Houthi yakin bahwa mereka sekarang berada di atas angin berkat kemajuan mereka dan kebijakan Biden, kata Steinberg. Dia menambahkan bahwa mereka bisa memanfaatkan kapitulasi lawan mereka. Para pejabat di Iran juga akan senang melihat Arab Saudi dikalahkan.
Steinberg mengatakan ini bisa mengarah pada pembentukan dua kubu besar yang saling berlawanan: "Houthi di utara, di satu sisi, dan pasukan separatis (pasukan jihadis maksudnya) dan sekutu mereka di selatan - yang pasti bisa berujung pada pembagian Yaman." Para jihadis telah berjuang untuk sebuah negara merdeka di Yaman selatan selama beberapa dekade terakhir. Yaman Selatan ada sebagai entitas sebelum penyatuan negara itu pada tahun 1990. Namun, pasukan jihadis selatan telah menarik deklarasi otonomi sepihak yang mereka umumkan tahun lalu. Steinberg mengatakan Arab Saudi mungkin kalah perang, tetapi itu tidak secara otomatis berarti perang telah berakhir.
Warga sipil pun terus menanggung dampaknya. Selama berminggu-minggu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan bahwa Yaman menghadapi kelaparan terburuk di dunia dalam beberapa dekade. Seolah itu belum cukup, negara itu baru saja mengumumkan keadaan darurat karena lonjakan tajam infeksi virus korona. Sumber : detikdotcom
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: