Breaking News
Loading...

Said Aqil Dan Pembusukan NU Dari Dalam
Oleh: Idrus Ramli

Kalau ada yang bertanya, apakah tujuan organisasi Nahdlatul Ulama didirikan? Jawabannya adalah jelas, bahwa para ulama pesantren mendirikan NU tujuannya adalah untuk menjaga, melestarikan dan memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah tetap berjalan dan tersosialisasi di Indonesia. Hal tersebut dipicu dengan mulainya ekspor ajaran-ajaran yang menyimpang dari Ahlussunnah, seperti Syiah dan Wahabi, ke bumi Nusantara. Sehingga mendorong para kiai pesantren untuk mendirikan organisasi NU. Kesimpulannya, NU didirikan untuk menjaga keislaman mayoritas bangsa Indonesia yang mengikuti Ahlussunnah Wal-Jamaah, dari pengaruh dan rongrongan aliran-aliran di luar faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti Syiah dan Wahabi.

Dalam sebuah diskusi, di jejaring sosial group WhatsApp ada sebuah tema yang menjadi bahan pembicaraan, yaitu berkaitan dengan sosok Said Aqil Siroj (SAS), Ketua Umum PBNU, apakah SAS benar-benar memperjuangkan visi dan misi NU, yaitu melestarikan, menjalankan dan mensosialisasikan ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah, atau selama kepemimpinannya ia tidak memperjuangkan visi dan misi NU?

Dalam sebuah buku yang berjudul TASAWUF SEBAGAI KRITIK SOSIAL; MENGEDEPANKAN ISLAM SEBAGAI INSPIRASI, BUKAN ASPIRASI yang diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU) pada tahuan 2012, SAS berkata:
“Secara historis, kelahiran Sunni dan Syiah merupakan sunnatullah yang harus disyukuri sebagai khazanah pemikiran umat Islam. … Di samping itu, diskursus teologi, baik itu Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, maupun Syiah, semuanya bersifat rasional. Semuanya tetap dalam bingkai Islam. Bahkan patut dikatakan semuanya adalah Ahlussunnah sepanjang mengakui eksistensi Allah Swt, para nabi dan rasul, Kitab-kitab Allah dan hari kiamat. Perbedaan di luar itu bersifat furu’iyah saja.” Halaman 84.

Kalau kita membaca sedikit cermat pernyataan di atas, akan mengantarkan kita pada beberapa kesimpulan.

Pertama, ajakan SAS untuk mensyukuri keberadaan Syiah di Indonesia, entah apakah syukuran tersebut dengan mengadakan tumpengan, selamatan dan lain sebagainya.

Kedua, dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling SAS menjelaskan bahwa Mu’tazilah dan Syiah itu Ahlussunnah juga. Perbedaan antara Ahlussunnah dan Syiah hanya sebatas furu’iyah saja, tidak berkaitan dengan masalah-masalah ushuliyah (akidah).

Ketiga, syarat suatu kelompok disebut Ahlussunnah adalah keimanannya kepada Allah, para nabi dan rasul, kitab-kitab Allah dan hari kiamat. Dengan persyaratan yang sangat general ini, berarti seluruh aliran sesat termasuk Ahlussunnah juga, selama beriman dengan hal-hal tersebut. Padahal hampir kebanyakan aliran-aliran sesat seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah juga beriman terhadap hal-hal tersebut.

Tentu pernyataan SAS tersebut bertentangan dengan realita dan pendapat seluruh ulama Sunni dan Syiah sendiri. Di satu sisi, Syiah tidak mau menyebut dirinya Ahlussunnah. Demikian pula sebaliknya, Ahlussunnah tidak menyebut dirinya Syiah. Dan di sisi lain, Ahlussunnah dan Syiah sangat tegas menyatakan bahwa perbedaan mereka lebih berkaitan dengan persoalan ushuliyah, bukan persoalan furu’iyah saja.

Adalah Hadlratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang menegaskan tentang kesesatan Syiah dalam banyak kitab yang beliau tulis. Berikut beberapa pernyataan Hadlratusy Syaikh tentang kesesatan Syiah dan bahwa mereka bukan Ahlussunnah.

Pernyataan Pertama

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ الْبِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِيْ أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ الْمُبْتَدِعِيْنَ فِيْ هَذَا الزَّمَانِ.
قَدْ كَانَ مُسْلِمُوا اْلأَقْطَارِ الْجَاوِيَّةِ فِي اْلأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الْخَالِيَةِ مُتَّفِقِي اْلآَرَاءِ وَالْمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي الْمَأْخَذِ وَالْمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي الْفِقْهِ عَلىَ الْمَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ اْلإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ، وَفِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلىَ مَذْهَبِ اْلإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ اْلأَشْعَرِيِّ، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلىَ مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الْغَزَالِيِّ وَاْلإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
ثُمَّ إِنَّهُ حَدَثَ فِيْ عَامِ اَلْفٍ وَثَلاَثِمِائَةٍ وَثَلاَثِيْنَ أَحْزَابٌ مُتَنَوِّعَةٌ وَآَرَاءُ مُتَدَافِعَةٌ وَأَقْوَالٌ مُتَضَارِبَةٌ، وَرِجَالٌ مُتَجَاذِبَةٌ، فَمِنْهُمْ سَلَفِيُّوْنَ قَائِمُوْنَ عَلىَ مَا عَلَيْهِ أَسْلاَفُهُمْ مِنَ التَّمَذْهُبِ بِالْمَذْهَبِ الْمُعَيَّنِ وَالتَّمَسُّكِ بِالْكُتُبِ الْمُعْتَبَرَةِ الْمُتَدَاوِلَةِ، وَمَحَبَّةِ أَهْلِ الْبَيْتِ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ، وَالتَّبَرُّكِ بِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَتَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ وَالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَاعْتِقَادِ الشَّفَاعَةِ وَنَفْعِ الدُّعَاءِ وَالتَّوَسُّلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ…
وَمِنْهُمْ رَافِضِيُّوْنَ يَسُبُّوْنَ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَيَكْرَهُوْنَ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَيُبَالِغُوْنَ هَوَى سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَأَهْلِ بَيْتِهِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ، قاَلَ السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ فِيْ شَرْحِ الْقَامُوْسِ: وَبَعْضُهُمْ يَرْتَقِيْ إِلىَ الْكُفْرِ وَالزَّنْدَقَةِ أَعَاذَنَا اللهُ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا. قَالَ الْقَاضِيْ عِيَاضُ فِي الشِّفَا: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (اللهَ اللهَ فِيْ أَصْحَابِيْ لاَ تَتَّخِذُوْهُمْ غَرْضًا بَعْدِىْ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أُحِبُّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِيْ أُبْغِضُهُمْ وَمَنْ آَذَاهُمْ فَقَدْ آَذَانِىْ وَمَنْ آَذَانِىْ فَقَدْ آَذَى اللهَ وَمَنْ آَذَى اللهَ يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ) وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْن لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً) وَقَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَإِنَّهُ يَجِيْءُ قَوْمٌ فِيْ آَخِرِ الزَّمَانِ يَسُبُّوْنَ أَصْحَابِيْ فَلاَ تُصَلُّوْا عَلَيْهِمْ وَلاَ تُصَلُّوْا مَعَهُمْ وَلاَ تُنَاكِحُوْهُمْ وَلاَ تُجَالِسُوْهُمْ وَإِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ) وَعَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَاضْرِبُوْهُ) وَقَدْ أَعْلَمَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ سَّبُهْم وَأَذَاهُمْ يُؤْذِيْهِ وَأَذَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَامٌ فَقَالَ (لاَ تُؤْذُوْنِيْ فِيْ أَصْحَابِيْ وَمَنْ آَذَاهُمْ فَقَدْ آَذَانِىْ) وَقَالَ (لاَ تُؤْذُوْنِيْ فِيْ عَائِشَةَ) وَقاَلَ فِيْ فَاطِمَةَ (بُضْعَةٌ مِنِّىْ يُؤْذِيْنِيْ مَا آَذَاهَا). اهـ (الشيخ محمد هاشم أشعري، رسالة أهل السنة والجماعة، ص 9-10)..

Pasal untuk menjelaskan penduduk Jawa berpegang kepada madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah, dan awal kemunculan bid’ah dan meluasnya di Jawa, serta macam-macam ahli bid’ah di zaman ini.
Umat islam yang mendiami wilayah Jawa sejak zaman dahulu telah bersepakat dan menyatu dalam pandangan keagamaannya. Di bidang fikih, mereka berpegang kepada mazhab Imam Syafi’i, di bidang ushuluddin berpegang kepada mazhab Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan di bidang tasawuf berpegang kepada mazhab Abu Hamid al-Ghazali dan Abu al-Hasan al-Syadzili, semoga Allah meridhoi mereka semua. Kemudian pada tahun 1330 H muncul kelompok, pandangan, ucapan dan tokoh-tokoh yang saling berseberangan dan beraneka ragam. Di antara mereka adalah kaum salaf yang memegang teguh tradisi para tokoh pendahulu mereka dengan bermazhab dengan satu mazhab dan kitab-kitab mu’tabar, kecintaan terhadap Ahlul Bait Nabi, para wali dan orang-orang salih, selain itu juga tabarruk dengan mereka baik ketika masih hidup atau setelah wafat, ziarah kubur, mentalqin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini syafaat, manfaat doa dan tawassul serta lain sebagainya.
Di antara mereka juga ada golongan rofidhoh yang suka mencaci Sayidina Abu Bakar dan ‘Umar RA., membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina ‘Ali dan anggota keluarganya, semoga Allah meridhoi mereka semua. Berkata Sayyid Muhammad dalam Syarah Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran ini. Berkata Al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitab As-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, dari Abdillah ibn Mughafal, Rasulullah SAW bersabda: Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran caci-maki sesudah aku tiada. Barangsiapa mencintai mereka, maka semata-mata karena mencintaiku. Dan barang siapa membenci mereka, maka berarti semata-mata karena membenciku. Dan barangsiapa menyakiti mereka berarti dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa telah menyakiti Allah dikhawatirkan Allah akan menghukumnya. (HR al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi Juz V/hal. 696 hadits No. 3762). Rasulullah SAW bersabda, Janganlah kamu mencela para sahabatku, Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah. (HR. Abu Nu’aim, Al-Thabrani dan Al-Hakim)

Rasulullah SAW bersabda, Janganlah kamu mencaci para sahabatku, sebab di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang mencela para sahabatku, maka jangan kamu menyolati atas mereka dan shalat bersama mereka, jangan kamu menikahkan mereka dan jangan duduk-duduk bersama mereka, jika sakit jangan kamu jenguk mereka. Nabi SAW telah kabarkan bahwa mencela dan menyakiti mereka adalah juga menyakiti Nabi, sedangkan menyakiti Nabi haram hukumnya. Rasul SAW bersabda: Jangan kamu sakiti aku dalam perkara sahabatku, dan siapa yang menyakiti mereka berarti menyakiti aku. Beliau bersabda, Jangan kamu menyakiti aku dengan cara menyakiti Fatimah. Sebab Fatimah adalah darah dagingku, apa saja yang menyakitinya berarti telah menyakiti aku. (Risalat Ahli Sunnah wal Jama’ah, h.9-10)

Pernyataan Kedua

وَلَيْسَ مَذْهَبٌ فِيْ هَذِهِ اْلأَزْمِنَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ، اَللّهُمَّ إِلاَّ مَذْهَبَ اْلإِمَامِيَّةِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَهُمْ أَهْلُ الْبِدْعَةِ لاَ يَجُوْزُ اْلاِعْتِمَادُ عَلىَ أَقَاوِيْلِهِمْ. اهـ (الشيخ محمد هاشم أشعري، رسالة في تأكد الأخذ بمذاهب الأئمة الأربعة، ص 29)..

Bukanlah yang disebut mazhab pada masa-masa sekarang ini dengan sifat yang demikian itu kecuali Mazahib Arba’ah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad). Selain dari pada itu, seperti mazhab Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah, mereka adalah ahul bid’ah yang tidak boleh berpegang kepada pandangan-pandangan mereka. (Risalah fi Ta’akkud Al-Akhdzi bi Al-Madzahib Al-Arba’ah, h.29)

Pernyataan Ketiga

أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ، فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الَمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَاشِدِيْنَ، وَهُمُ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ، قَالُوْا وَقَدِ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِيْ مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الْحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ، وَمَنْ كَانَ خَارِجًا عَنْ هَذِهِ اْلأَرْبَعَةِ فِيْ هَذَا الزَّمَانِ فَهُوَ مِنَ الْمُبْتَدِعَةِ. اهـ (الشيخ محمد هاشم أشعري، زيادة تعليقات، ص 24-25)..

Adapun Ahlusunnah mereka adalah para Ahli Tafsir, Hadits dan Fiqih. Sungguh merekalah yang mendapat petunjuk dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhammad SAW dan para khalifah yang rasyid setelah beliau. Mereka adalah ‘kelompok yang selamat’ (thaifah najiyah). Para ulama berkata, pada saat ini kelompok yang selamat itu terhimpun dalam mazhab yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Maka siapa saja yang keluar atau di luar empat mazhab itu adalah ahlul bid’ah di masa ini. (Ziyadat Ta’liqat, h. 24-25)

Pernyataan Keempat

وَاصْدَعْ بِمَاتُؤْمَرُ لِتَنْقَمِعَ الْبِدَعُ عَنْ اَهْلِ اْلمَدَرِوَالْحَجَرِ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “اِذَاظَهَرَتِ الْفِتَنُ اَوِالْبِدَعُ وسُبَّ اَصْحَابِيْ فَلْيُظْهِرِالْعَالِمُ عِلْمَهُ فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ

Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku di caci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat dan semua orang.” (Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama)

Paparan dari Hadlratusy Syaikh di atas memberikan kesimpulan bahwa Syiah adalah aliran sesat dan menyesatkan serta bukan termasuk bagian dari Ahlussunnah Waljamaah. Pernyataan tersebut bertentangan dengan pernyataan SAS sebelumnya yang menegaskan bahwa keberadaan Syiah harus disyukuri, bukan diberantas, dan bahwa Syiah bukan aliran sesat, serta bahkan termasuk Ahlussunnah tanpa ada perbedaan kecuali dalam masalah furu’iyah saja.

Dengan melihat adanya perbedaan yang saling bertolak belakang antara pernyataan Hadlratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, selaku pendiri NU yang menolak terhadap ajaran Syiah dan menganggapnya sebagai salah satu aliran sesat, dengan pernyataan SAS yang mengajak mensyukuri keberadaan Syiah, serta menganggap Syiah sebagai bagian dari Ahlussunnah yang ditulisnya dalam buku terbitan resmi LTN PBNU, vonis apakah kiranya yang layak disematkan kepada SAS? Apakah dengan sepak terjang dan sikap SAS di atas, SAS berarti telah melakukan perbaikan (ishlah) kepada NU, atau justru melakukan perusakan (ifsad)? Apakah dengan demikian, SAS telah benar-benar menjaga amanah sebagai pimpinan NU, atau justru telah berkhianat kepada para ulama pendiri NU dan warga nahdliyyin yang memberinya kepercayaan? Apakah SAS berarti telah memberikan pemantapan kepada warga nahdliyyin terkait dengan ajaran Ahlussunnah Wal-Jamaah yang diperjuangkan oleh NU, atau justru melakukan pendangkalan dan penyimpangan? Apakah dengan sikap tersebut SAS telah melakukan penguatan terhadap NU sebagai organisasi benteng Ahlussunnah, atau justru melakukan pembusukan dari dalam? Saya kira para pembaca dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan hati nurani yang bersih.

(Bersambung)

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: