Breaking News
Loading...

Bantahan Hadits Tsaqalain; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum Syiah (Bag 1)
Ilustrasi pengangkatan Imam Ali versi Syiah
Bantahan Hadits At Tsaqalain

Hadits ini disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Ghadirkhum sepulangnya beliau dari haji wada’, redaksi hadits ini sangat banyak, begitu pula dengan penyebutannya, ada yang menyebutnya sebagai “hadits tsaqalain” ada pula yang menyebutnya “hadits Al Itrah” dan ada pula yang menyebutnya “hadits Al Muwalah.”
Karena itu, kita akan menyebutkan masing-masing redaksi berdasarkan penyebutannya kemudian kita akan menganalisa disetiap redaksinya agar lebih jelas lafazh yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Redaksi pertama, hadits “At Tsaqalain.” 

Diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya dari Yazid bin Hayyan bahwa dia berkata;

انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ

“Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam: ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau berperang bersama beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Karena itu, sampaikanlah kepada kami - wahai Zaid – apa yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata: ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan: ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di suatu tempat mata air yang bernama Khum yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda: ‘Amma ba’du... Ketahuilah wahai sekalian manusia, bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku akan datang lalu dia diperkenankan. Aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau untuk mengamalkan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan: ‘Dan ahlibaitku. Aku peringatkan kalian akan Allah terhadap ahlibaitku, Aku peringatkan kalian akan Allah terhadap ahlibaitku, Aku peringatkan kalian akan Allah terhadap ahlibaitku.’ Hushain bertanya kepada Zaid: ‘Wahai Zaid, siapakah ahlibaitnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlibaitnya?’. Zaid menjawab: ‘Istri-istri beliau memang ahlibaitnya. Namun ahlibait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata: ‘Siapakah mereka itu?’. Zaid menjawab: ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat?’. Zaid menjawab: ‘Ya’.

Ini adalah redaksi pertama, dan redaksi yang paling shahih diantara redaksi-redaksi yang lain, yang mencakup lima hal, diantaranya;

Pertama, tempat ketika nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbahnya dalam hadits ini adalah Ghadirkhum, begitu juga dalam riwayat-riwayat lainnya.

Kedua, Al Qur’an disifati sebagai Al Huda (petunjuk) dan Nuur (cahaya) dan wasiat untuk mengikutinya.

Ketiga, peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada manusia akan ahlibaitnya
Keempat, pengukuhan dari sahabat yang meriwayatkan hadits ini bahwa isteri-isteri nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ahlibaitnya.

Kelima, penafsiran sahabat mengenai maksud ahlibait dari kalangan kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain isteri-isteri beliau.

Beberapa analisa dari perkara-perkara yang terkandung dalam redaksi hadits ini

Pertama, bahwa khutbah yang disampaikan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak di Arafah, tidak di Mina, tidak di Muzdalifah dan tidak pula di Masjdil haram sebagai tempat-tempat berkumpulnya seluruh kaum muslimin ketika haji wada’, namun beliau menyampaikan di Ghadirkhum, sebuah tempat yang jauh dari Makkah yang jaraknya lebih dari dua ratus kilo meter, atau setidaknya lima hari perjalanan dari Makkah dengan berjalan kaki.

Sementara orang-orang Syiah yang penah berhaji, tentunya mereka tahu tempat ini, sebab mereka selalu mengadakan peringatan ditempat tersebut di setiap tahunnya, yaitu bid’ah yang ditetapkan oleh penguasa daulah buwaihiyah terhadap mereka pada pertengahan abad keempat hijriyah, sementara tidak satupun ahlulbait yang melakukan peringatan seperti ini.

Sekiranya wasiat tersebut adalah wasiat tentang imamah, mengapa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan perkumpulan manusia yang jumlahnya sangat besar di masy’aril haram ketika di Makkah, dimana kaum Muslimin dari berbagai negeri sedang berkumpul ditempat tersebut? Kemudian setelah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat yang hanya dari penduduk Madinah, beliau mengabarkan hal itu kepada mereka? Padahal imamah diperuntukkan kepada seluruh umat, sedangkan umat ketika itu sedang berkumpul untuk melaksanakan manasik haji, dan setelah mereka melakukan manasik, mereka kembali ke negeri mereka masng-masing.

Maka penduduk Makkah tetap tinggal di Makkah, penduduk Yaman kembali ke Yaman, penduduk Thaif kembali ke Thaif, penduduk Najd kembali ke Najd... demikian seterusnya.

Demikian bukti yang paling jelas, bahwa maksud dari khutbah ini tidak ditujukan kepada seluruh umat, namun khutbah ini ditujukan kepada para sahabat secara khusus, sedangkan imamah tidak dikhususkan untuk para sahabat, dan insya Allah penjelasannya akan terangkan ketika membahas riwayat yang ketiga.

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensifati Al Qur’an sebagai huda (petunjuk) artinya bahwa Al Qur’an memberi petunjuk kepada manusia, dengan demikian semakin menguatkan bahwa Al Qur’an mencakup semua pokok-pokok agama yang dengannya agama ini tegak, dan ini sudah sangat jelas. Sekiranya Al Qur’an butuh kepada orang lain untuk menjelaskan kepada mereka, niscaya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan mewasiatkan secara langsung, dan beliau akan mengatakan; “Berhati-hatilah dari memahami Al Qur’an, sebab ia memiliki makna yang tidak dapat diketahui kecuali oleh ahlibaitku, maka ambillah penafsiran dari ahlibaitku.”

Ketika beliau tidak mengatakan hal itu, bahkan mengatakan yang sebaliknya, dan beliau memerintahkan untuk mengikuti Al Qur’an serta mensifatinya sebagai huda (petunjuk) artinya bahwa Al Qur’an memberi petunjuk kepada orang yang mengikutinya, maka kita tahu bahwa Al Qur’an sendiri khithabnya ditujukan kepada seluruh umat, tidak hanya khusus kepada ahlulbait yang diklaim oleh Syiah bahwa merekalah yang dapat memahami Al Qur’an.

Nash-nash dalam Al Qur’an telah menjelaskan dan menguatkan hal itu, aku tidak menyangka ada seorang yang berakal yang mendengar khithab ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia tidak mengetahui maknanya, Allah berfirman;

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’raaf; 3)

Dalam ayat diatas, Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti sesuatu yang telah diturunkanNya, dengan firmanNya; (Ikutilah), khithab dalam ayat ini ditujukan kepada seluruh umat, tidak untuk perorangan, bagaimana mungkin Allah memerintahkan mereka untuk mengikuti Al Qur’an jika mereka kesulitan memahaminya?
Allah berfirman;

“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai AlQuran (kepadanya)...” (QS Al An’am; 19)

Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengumumkan kepada kaumnya dan seluruh manusia bahwa Al Qur’an ini ditujukan kepada mereka sebagai pemberi peringatan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan imam maupun khalifah.
Allah berfirman;

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...” (QS Al Baqarah; 185)

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan tidaklah Al Qur’an menjadi petunjuk kecuali jika mereka mudah memahaminya. Karena itu, Al Qur’an tidak butuh lagi kepada ahlulbait maupun yang lain untuk menjelaskannya, dan setiap orang yang mempelajari dan mendalaminya, maka ia akan mengetahuinya.

Sumber: Ahadits Istadalat Biha Asyiah al Itsna 'Asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab

(nisyi/syiahindonesia.com)



************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: