Breaking News
Loading...

Syiah dan Pemalsuan Sejarah tentang Perang Karbala

 


Syiahindonesia.com -
Tragedi Karbala adalah peristiwa sejarah yang sangat menyedihkan dalam perjalanan umat Islam. Namun, di tangan Syiah, peristiwa ini dipelintir, dibumbui kebohongan, dan dimanfaatkan sebagai alat propaganda ideologis untuk menanamkan kebencian terhadap para sahabat Nabi ﷺ serta membangun doktrin imamah yang menyimpang. Fakta sejarah yang sahih dihapus, diganti dengan narasi emosional penuh rekayasa yang diwariskan turun-temurun melalui ritual dan doktrin.

Artikel ini mengungkap secara lengkap bagaimana Syiah melakukan pemalsuan sejarah tentang Perang Karbala, motif di baliknya, serta dampaknya terhadap akidah dan persatuan umat Islam.


1. Karbala dalam Sejarah Islam yang Sahih

Peristiwa Karbala terjadi pada tahun 61 H, ketika Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu terbunuh di wilayah Karbala (Irak) oleh pasukan yang dipimpin oleh ‘Ubaidullah bin Ziyad atas nama pemerintahan Bani Umayyah di bawah Yazid bin Mu‘awiyah.

Fakta penting yang harus ditegaskan:

  • Husain radhiyallahu ‘anhu pergi ke Kufah karena dibujuk oleh ribuan surat penduduk Kufah.

  • Ketika Husain tiba di Karbala, penduduk Kufah justru berkhianat dan meninggalkannya.

  • Para sahabat besar Nabi ﷺ tidak terlibat dalam pembunuhan Husain.

  • Banyak sahabat bahkan menasihati Husain agar tidak pergi ke Kufah, seperti Ibn Abbas dan Ibn Umar.

Peristiwa ini adalah tragedi politik dan pengkhianatan, bukan perang agama antara sahabat dan Ahlul Bait sebagaimana diklaim Syiah.


2. Karbala Dijadikan Alat Ideologisasi Kebencian

Dalam doktrin Syiah, Karbala tidak lagi diposisikan sebagai musibah sejarah, tetapi diubah menjadi simbol dendam abadi terhadap:

  • para sahabat Nabi ﷺ,

  • generasi awal Islam,

  • bahkan seluruh umat Sunni.

Syiah mengajarkan bahwa:

  • “Semua sejarah setelah wafat Nabi ﷺ adalah kezaliman terhadap Ahlul Bait.”

  • “Semua yang tidak berpihak kepada Husain adalah musuh Allah.”

  • “Darah Husain harus dibalas sampai akhir zaman.”

Padahal Nabi ﷺ bersabda:

« لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ »
“Janganlah kalian kembali menjadi orang kafir sepeninggalku, saling memenggal leher satu sama lain.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syiah justru menjadikan Karbala sebagai bahan bakar permusuhan antarsesama Muslim.


3. Pemalsuan Tokoh-Tokoh dalam Peristiwa Karbala

Salah satu bentuk pemalsuan terbesar adalah menjadikan para sahabat sebagai pelaku utama tragedi Karbala. Dalam propaganda Syiah:

  • Abu Bakar dan Umar seolah-olah menjadi biang kezaliman,

  • Utsman digambarkan sebagai perusak Islam,

  • bahkan Aisyah radhiyallahu ‘anha diseret dalam narasi kebencian.

Padahal secara kronologi sejarah:

  • Abu Bakar dan Umar telah wafat puluhan tahun sebelum Karbala,

  • Utsman wafat jauh sebelum peristiwa tersebut,

  • Aisyah tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan tragedi Karbala.

Ini menunjukkan bahwa narasi Syiah tentang Karbala bukan sejarah, melainkan mitologi kebencian.


4. Penduduk Kufah yang Mengkhianati Husain Justru Dijadikan “Pendukung”

Sejarah sahih mencatat bahwa:

  • ribuan surat dikirim dari Kufah kepada Husain,

  • mereka berjanji setia dan meminta Husain datang,

  • namun ketika pasukan Yazid datang, mereka justru tunduk dan meninggalkan Husain sendirian.

Ironisnya, dalam versi Syiah:

  • penduduk Kufah diposisikan sebagai pengikut setia Husain,

  • sementara kesalahan dialihkan kepada sahabat dan Sunni.

Padahal yang paling bertanggung jawab secara langsung dalam pengkhianatan ini adalah kaum Syiah Kufah sendiri pada masa itu.


5. Karbala Didramatisasi secara Ekstrem untuk Mengontrol Emosi Umat

Syiah tidak menyampaikan Karbala sebagai pelajaran sejarah, tetapi sebagai:

  • teater ratapan,

  • drama tangisan massal,

  • pertunjukan kekerasan terhadap diri sendiri,

  • syair-syair penuh dendam.

Setiap tahun pada tanggal 10 Muharram (Asyura), dilakukan:

  • pemukulan tubuh,

  • melukai kepala,

  • berpakaian penuh simbol kesedihan,

  • dan sumpah kebencian terhadap pihak-pihak yang mereka anggap musuh Husain.

Padahal Rasulullah ﷺ melarang tradisi meratap dan melukai diri:

« لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ »
“Bukan dari golongan kami orang yang menampar pipi, merobek pakaian, dan menyeru dengan seruan jahiliyah.”
(HR. Al-Bukhari)

Ritual Karbala versi Syiah jelas bertentangan dengan ajaran Islam.


6. Karbala Diperalat untuk Melegalkan Laknat terhadap Sahabat

Dalam majelis-majelis Asyura, sering disisipkan:

  • laknat terhadap Abu Bakar,

  • laknat terhadap Umar,

  • laknat terhadap Aisyah,

  • dan laknat terhadap generasi sahabat.

Padahal Allah berfirman:

﴿ وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ... رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ﴾
(QS. At-Taubah: 100)

Melaknat orang-orang yang telah diridhai Allah adalah bentuk penentangan langsung terhadap Al-Qur’an.


7. Karbala Dijadikan Dalil untuk Doktrin Imamah

Syiah menjadikan Karbala sebagai “bukti” bahwa:

  • kepemimpinan Islam harus selalu berada di tangan keturunan Ali,

  • selain jalur imam berarti batil,

  • kekuasaan selain imam dianggap kezaliman.

Padahal tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menjadikan Karbala sebagai dalil imamah, dan tidak ada satu hadis sahih pun yang menetapkan imamah dua belas imam sebagaimana keyakinan Syiah.

Allah berfirman:

﴿ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ ﴾
“Urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.”
(QS. Asy-Syura: 38)

Kepemimpinan dalam Islam ditentukan dengan musyawarah, bukan garis keturunan suci seperti dalam mitologi Syiah.


8. Karbala Diputarbalikkan untuk Menyerang Sunni Secara Global

Narasi Karbala versi Syiah tidak lagi berhenti sebagai kisah sejarah, tetapi diarahkan untuk:

  • membenarkan permusuhan terhadap kaum Sunni,

  • menjustifikasi kekerasan ideologis,

  • memupuk rasa dendam lintas generasi,

  • serta membangun identitas Syiah berbasis “korban suci”.

Sunni digambarkan sebagai “penerus pembunuh Husain”, padahal:

  • Sunni justru mencintai Husain sebagai cucu Rasulullah ﷺ,

  • mendoakan beliau,

  • dan menganggap wafatnya sebagai musibah besar bagi seluruh umat Islam.


9. Karbala Dijadikan Alat Politik Moderen

Hingga hari ini, narasi Karbala digunakan untuk:

  • mobilisasi massa,

  • menumbuhkan loyalitas politik berbasis sektarian,

  • membenarkan konflik bersenjata,

  • serta menyatukan pendukung Syiah di bawah simbol penderitaan historis.

Dengan cara ini, Karbala tidak lagi menjadi pelajaran akhlak, tetapi instrumen ideologi dan kekuasaan.


10. Bagaimana Ahlus Sunnah Memahami Tragedi Karbala

Ahlus Sunnah memandang Karbala sebagai:

  • musibah besar yang menyedihkan,

  • kezaliman terhadap cucu Nabi ﷺ,

  • kesalahan besar dalam sejarah politik umat,

  • tetapi tidak dijadikan sarana untuk melaknat sahabat atau merusak persatuan umat.

Ahlus Sunnah:

  • mencintai Husain radhiyallahu ‘anhu,

  • mendoakan beliau,

  • tidak membenarkan pembunuhan terhadapnya,

  • namun tetap adil dalam menilai sejarah dengan ilmu, bukan emosi.


Kesimpulan

Syiah telah melakukan pemalsuan sistematis terhadap sejarah Perang Karbala dengan cara:

  • menghapus pengkhianatan penduduk Kufah,

  • menuduh sahabat sebagai pelaku utama,

  • mendramatisasi tragedi untuk propaganda ideologi,

  • melegalkan laknat dan kebencian,

  • serta menjadikan Karbala sebagai alat pembenaran imamah dan politik sektarian.

Karbala sejatinya adalah tragedi yang harus disikapi dengan ilmu, keadilan, dan akhlak, bukan dengan dendam, laknat, dan kebohongan sejarah.

Umat Islam wajib waspada terhadap setiap narasi Karbala yang tidak bersandar pada Al-Qur’an, Sunnah sahih, dan riwayat sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(albert/syiahindonesia.com)



************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: