Seorang pemuda datang kepadaku dengan nada heran dan berkata:
“Syaikh, saya melihat Anda menganggap kunjungan Presiden ke Rusia sebagai sebuah keberhasilan? Bukankah Rusia yang telah membunuh kita, menghancurkan rumah-rumah kita? Bukankah Presiden juga pernah mengatakan, ‘Kami berkomitmen terhadap perjanjian-perjanjian lama Suriah’, yang di antaranya — seperti yang dikatakan sebagian orang — mencakup pembayaran kompensasi kepada Rusia atas amunisi yang menewaskan para syuhada kita?”
Aku tersenyum dan menjawab dengan tenang:
“Saudaraku tercinta, sebelum aku menjawab, izinkan aku menegaskan sesuatu — bukan untuk berdebat tentang darah dan luka, tetapi demi keadilan dalam berbicara. Presiden kita sendiri — semoga Allah menjaganya — adalah salah satu dari mereka yang paling awal menjadi sasaran serangan udara Rusia. Dan aku sendiri, penulis kata-kata ini, pernah merasakan langsung dampak bom-bom mereka. Maka tidak perlu ada yang merasa lebih berhak dalam hal luka dan penderitaan.”
Kemudian aku melanjutkan:
“Namun dalam pembahasan ini, kita harus mampu membedakan antara posisi pribadi dan posisi negara.
Sebagai individu, mungkin kita tak akan pernah bisa memaafkan — dan itu manusiawi. Tapi sebagai negara, langkah yang diambil harus berpandangan luas: mencari segala hal yang dapat memperkuat kedudukan dan mengamankan masa depan rakyatnya.”
Aku kemudian menjelaskan kepadanya lebih rinci:
1. Keadilan dan Tanggung Jawab
Setiap rakyat Suriah memiliki luka dan dendam terhadap penjahat bernama Bashar al-Assad. Setiap ibu yang kehilangan anaknya masih menanti datangnya keadilan. Namun apakah mungkin kita menuntutnya selama ia berlindung di bawah naungan Rusia?
Dengan adanya hubungan diplomatik yang seimbang dan saluran komunikasi politik yang terbuka, kemungkinan menuntutnya di pengadilan internasional atau bahkan menuntut penyerahannya secara hukum menjadi lebih realistis. Aku yakin, saat itu akan tiba — insyaallah.
2. Jalur Diplomatik dan Kepentingan Nasional
Ada banyak isu besar yang menyangkut masa depan Suriah: pencabutan sanksi internasional, rekonstruksi, dan pemulihan ekonomi. Semua itu melalui jalur diplomatik di Dewan Keamanan PBB — tempat Rusia memiliki hak veto.
Setelah kunjungan ini, peluang Rusia menggunakan vetonya untuk merugikan Suriah menjadi jauh lebih kecil. Itu merupakan keuntungan diplomatik yang sangat signifikan.
3. Menutup Ruang Bagi Pihak Pemecah
Banyak pihak oposisi yang berusaha memecah-belah Suriah sebelumnya menjadikan Rusia sebagai tempat perlindungan politik. Namun setelah kunjungan ini, ruang aman mereka di Rusia semakin menyempit. Itu berarti satu sumber ancaman bagi negeri ini telah tertutup.
4. Mencegah Pemecahan Wilayah
Ancaman terbesar bagi Suriah saat ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga proyek pemisahan wilayah — khususnya di daerah Kurdi/SDF. Rusia adalah pemain penting dalam berkas ini. Dengan adanya komunikasi politik terbuka, kemungkinan terjadinya pembagian wilayah bisa dicegah sejak dini.
Lalu, terkait pernyataan Presiden yang menyatakan komitmen terhadap “perjanjian lama”, sebagian menafsirkan bahwa itu berarti membayar harga peluru yang menewaskan rakyatnya. Aku tegaskan:
“Itu tidak benar dan sama sekali tidak logis.”
Sebaliknya — kini pembahasan soal kompensasi dan proyek rekonstruksi dari Rusia untuk Suriah tengah berada di meja negosiasi, dan hal itu justru menjadi kartu tawar yang menguntungkan Suriah.
Kesimpulan
Ketika seorang pemimpin mampu menahan luka pribadinya, menundukkan emosinya, dan melangkah demi kepentingan rakyat serta kedaulatan negeri yang baru bangkit dari reruntuhan — maka itulah sebuah prestasi besar.
Semua ini, tiada lain, merupakan hasil bimbingan Allah dan keberhasilan diplomasi Suriah Baru yang kini dijalankan dengan bijak oleh Presiden Ahmad Asy-syaraa dan Menteri Luar Negerinya.
Semoga Allah meneguhkan langkah mereka dan membalas setiap upaya dengan pahala yang besar.
Sumber: Akun X Al Muhaisini
(*/arrahmah.id)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: