Perpecahan ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga dalam arena politik, ideologi, dan bahkan dalam hal pemahaman agama. Seiring berjalannya waktu, ajaran Syiah menjadi penyebab utama konflik-konflik sektarian yang mempengaruhi hubungan antara kaum Sunni dan Syiah, yang dimulai sejak waktu kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan terus berlanjut hingga era modern.
Awal Mula Perpecahan: Setelah Wafatnya Rasulullah ﷺ
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ pada tahun 632 M, umat Islam menghadapi perbedaan pandangan mengenai siapa yang layak menjadi penerus kepemimpinan. Sebagian umat Islam, yang dikenal sebagai Ahlus Sunnah, menganggap bahwa pemilihan khalifah harus dilakukan secara musyawarah dan berdasarkan kemampuan kepemimpinan, sementara kelompok Syiah meyakini bahwa Imam Ali (cucu Nabi melalui Fatimah) adalah satu-satunya orang yang berhak memimpin umat Islam.
Kehendak Syiah untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang pertama, meskipun beliau adalah sahabat terdekat dan sepupu Nabi, menyebabkan ketegangan yang berujung pada perpecahan dalam tubuh umat Islam. Konflik ini mencapai puncaknya pada Perang Siffin (657 M) dan terus berlanjut melalui berbagai peristiwa tragis, termasuk pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang sebagian besar dipengaruhi oleh kaum yang mendukung Ali, yang kelak menjadi cikal bakal penguatan ajaran Syiah.
Konflik dan Perpecahan yang Berkepanjangan
Pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan dan pembentukan Dinasti Umayyah, ketegangan antara kaum Syiah dan Sunni semakin memuncak. Dinasti Umayyah tidak mengakui hak Ali dan keturunannya untuk memimpin, dan mereka terus menganggap Syiah sebagai kelompok yang menciptakan fitnah dan kekacauan dalam Islam. Sebaliknya, kaum Syiah merasa bahwa mereka memiliki hak istimewa untuk memimpin umat Islam, karena mereka percaya bahwa Imam-imam dari keluarga Ali adalah ahli waris yang sah dari kepemimpinan Nabi ﷺ.
Ajaran Syiah yang kemudian berkembang semakin memperdalam perpecahan ideologis dan politik dalam umat Islam. Syiah memperkenalkan konsep imamah (kepemimpinan oleh imam-imam yang dianggap suci), yang berbeda dengan ajaran Sunni yang lebih menekankan pada pemilihan khalifah yang bersifat duniawi.
Pengaruh Syiah terhadap Perpecahan yang Lebih Luas
Selain masalah kepemimpinan, ajaran-ajaran lain dalam Syiah Imamiyah juga berkontribusi pada perbedaan pandangan dalam ajaran agama, seperti konsep raj’ah (kembalinya imam-imam yang telah wafat) dan taqiyah (berpura-pura untuk menjaga keselamatan diri). Kepercayaan-kepercayaan ini menambah kerumitan dalam hubungan antara Syiah dan Sunni, karena dianggap oleh banyak ulama Sunni sebagai bid’ah dan sesat.
Puncaknya, Perang Irak dan konflik-konflik sektarian lainnya di Timur Tengah memperburuk perpecahan antara Sunni dan Syiah, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Intervensi politik Syiah, terutama oleh negara Iran, yang mendukung rezim-rezim Syiah di berbagai negara seperti Irak, Suriah, dan Lebanon, semakin memperuncing perpecahan dalam dunia Islam.
Syiah dan Peranannya dalam Dunia Modern
Di era modern, meskipun politik global dan ideologi sekuler telah menjadi faktor dominan dalam konflik antar negara, namun perbedaan ideologi Syiah dan Sunni tetap menjadi salah satu penyebab utama perpecahan. Negara-negara dengan mayoritas Syiah seperti Iran terus berusaha untuk memperluas pengaruhnya di dunia Islam, yang seringkali bertentangan dengan kepentingan negara-negara Sunni.
Selain itu, propaganda-propaganda Syiah yang mengkritik para sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, serta penghinaan terhadap Aisyah, semakin memperdalam perpecahan tersebut, dan menciptakan perasaan tidak saling percaya antar umat Islam. Tentu saja, hal ini tidak seharusnya terjadi karena sesungguhnya umat Islam harus bersatu dalam menghadapi tantangan zaman.
Kesimpulan: Jalan Menuju Persatuan Islam
Syiahindonesia.com – Perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam sejak dahulu kala, yang dimulai dengan ketidaksepakatan tentang siapa yang seharusnya menjadi penerus Nabi ﷺ, hingga ajaran-ajaran yang berkembang dalam mazhab Syiah, telah menimbulkan dampak jangka panjang dalam kehidupan umat Islam. Meskipun perbedaan ini tetap ada, penting bagi umat Islam untuk menyadari bahwa persatuan adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman.
Umat Islam harus mampu menanggalkan perbedaan sektarian dan fokus pada persamaan yang ada dalam agama ini, seperti keyakinan terhadap Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan-Nya, dan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Mungkin inilah jalan yang dapat membawa umat Islam menuju kebersamaan, saling menghormati, dan kesatuan dalam menghadapi tantangan yang ada di dunia ini.
(albert/syiahindonesia.com)************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: