Syiahindonesia.com - Salah satu pokok perbedaan yang sangat mencolok antara Syiah dan Sunni adalah pandangan mereka terhadap sejarah Islam, terutama mengenai kepemimpinan dan kejadian-kejadian penting yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Banyak tuduhan yang mengemuka bahwa Syiah sering memanipulasi dan membohongi pengikutnya mengenai sejarah Islam, dengan tujuan untuk mendistorsi fakta-fakta sejarah dan mengalihkan pandangan umat Islam terhadap figur-figur tertentu dalam sejarah Islam.
Artikel ini akan mengungkapkan alasan mengapa Syiah membohongi pengikutnya tentang sejarah Islam, serta bagaimana mereka mengubah fakta sejarah untuk mendukung klaim ideologis mereka.
1. Distorsi Sejarah untuk Menguatkan Doktrin Imamah
Salah satu alasan utama mengapa Syiah sering memanipulasi sejarah Islam adalah untuk menguatkan doktrin mereka tentang imamah. Konsep Imamah adalah inti ajaran Syiah yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sahabat Nabi ﷺ lainnya, dan mereka adalah pemimpin yang sah setelah Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, Syiah berusaha membuktikan bahwa Ali adalah pengganti yang sah dengan cara mendistorsi sejarah dan menyembunyikan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan klaim mereka.
Syiah meyakini bahwa wasiat (penunjukan) kepada Ali dilakukan oleh Nabi ﷺ di berbagai kesempatan, terutama di peristiwa Ghadir Khum, di mana mereka mengklaim bahwa Nabi ﷺ secara eksplisit menunjuk Ali sebagai penggantinya. Padahal, menurut riwayat yang sahih dalam hadits-hadits yang diterima oleh Sunni, peristiwa Ghadir Khum hanyalah pengakuan Nabi ﷺ terhadap kedekatan Ali dan pentingnya persaudaraan di antara mereka, bukan penunjukan sebagai khalifah atau imam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن كُنتُ مَوْلاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاهُ
"Barang siapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini, yang sering dikutip oleh Syiah, memang mengandung makna bahwa Ali memiliki kedudukan khusus di hati Nabi ﷺ. Namun, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ini adalah penunjukan kepada Ali untuk menjadi pemimpin politik setelah wafatnya Nabi ﷺ.
2. Menutupi Fakta-fakta Kemenangan Abu Bakar, Umar, dan Utsman
Syiah sering kali memanipulasi sejarah untuk menghapuskan atau meremehkan peran sahabat Nabi ﷺ, terutama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka lebih memilih untuk menonjolkan Ali dan keturunannya sebagai pemimpin yang sah setelah Nabi ﷺ. Ini dilakukan dengan cara memutarbalikkan fakta mengenai kepemimpinan dan perjuangan para sahabat dalam menyebarkan Islam.
Misalnya, Syiah sering kali menyatakan bahwa Abu Bakar merebut kekhalifahan dari Ali dengan cara yang tidak sah, dan bahwa Umar adalah orang yang berperan dalam membunuh Fatimah, putri Nabi ﷺ, padahal ini adalah tuduhan yang sangat tidak berdasar dan tidak ada bukti sejarah yang sahih untuk mendukung klaim tersebut.
3. Penghilangan atau Pengabaian Hadits-hadits yang Menyudutkan Imamah
Syiah juga sering mengabaikan atau menghilangkan hadits-hadits yang tidak mendukung konsep imamah mereka. Beberapa hadits yang terdapat dalam kitab-kitab sahih Sunni, yang menyebutkan bahwa kepemimpinan umat Islam setelah Nabi ﷺ adalah melalui ijma' (kesepakatan) para sahabat, sering kali diabaikan atau diperkecil relevansinya oleh Syiah. Padahal, dalam banyak hadits yang diterima oleh Sunni, Nabi ﷺ tidak pernah menunjuk Ali secara eksplisit untuk menggantikan dirinya, dan kepemimpinan umat Islam setelah beliau merupakan hasil dari musyawarah di kalangan sahabat.
Salah satu hadits yang sering dilupakan oleh Syiah adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
إِنَّكُم مَّسْؤُولُونَ عَنْ أَمْرِكُمْ فَاتَّبِعُوا سَنَّتِي وَسُنَّةَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
"Sesungguhnya kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang urusan kalian, maka ikutilah sunnahku dan sunnah para khalifah yang telah mendapat petunjuk." (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan umat Islam setelah Nabi ﷺ adalah milik khalifah yang mendapat petunjuk, yang dianggap Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam pandangan Sunni, bukan hanya milik Ali atau keturunannya.
4. Manipulasi Teks Al-Qur'an
Syiah juga sering mencoba untuk memanipulasi teks Al-Qur'an untuk mendukung klaim mereka tentang keutamaan Ali dan imamah. Salah satu contohnya adalah tafsir mereka terhadap ayat-ayat tertentu yang mereka klaim mendukung Ali sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi ﷺ. Contohnya adalah ayat berikut:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
"Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dalam keadaan rukuk."
(QS. Al-Ma'idah: 55)
Syiah menafsirkan ayat ini sebagai penunjukan Ali bin Abi Thalib ketika beliau memberikan zakatnya dalam keadaan rukuk, tetapi dalam pandangan Sunni, ayat ini lebih mengarah pada orang-orang yang beriman secara umum, bukan menunjuk kepada satu individu saja. Tafsir seperti ini digunakan untuk memperkuat klaim imamah mereka dan mengabaikan konteks asli dari ayat tersebut.
5. Taqiyah: Strategi untuk Menjaga Keharmonisan dalam Penyebaran Ajaran
Syiah sering menggunakan taqiyah, yaitu berbohong atau menyembunyikan kebenaran demi menjaga keselamatan atau untuk menyebarkan ajaran mereka. Dalam banyak kasus, taqiyah digunakan untuk menutupi ajaran-ajaran yang menyimpang dari doktrin utama Islam, terutama ketika mereka berada dalam situasi yang dianggap berbahaya atau penuh tekanan.
Penggunaan taqiyah ini, meskipun mungkin dilihat sebagai strategi untuk bertahan hidup dalam masyarakat yang mayoritas Sunni, tetapi sering kali digunakan untuk menyesatkan umat Islam dengan menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan sejarah yang sebenarnya.
Kesimpulan
Alasan mengapa Syiah membohongi pengikutnya tentang sejarah Islam tidak lepas dari upaya mereka untuk memperjuangkan doktrin imamah dan wilayah yang mereka anut. Dengan cara mendistorsi sejarah, mengubah makna hadits-hadits, serta menafsirkan Al-Qur'an secara sempit, Syiah berusaha membenarkan klaim mereka bahwa Ali dan keturunannya adalah pemimpin yang sah setelah wafatnya Nabi ﷺ. Namun, dalam pandangan Sunni, sejarah Islam yang benar menunjukkan bahwa kekhalifahan pertama adalah milik Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan bahwa tidak ada klaim penunjukan langsung dari Nabi ﷺ kepada Ali untuk menjadi pemimpin politik setelah beliau.
Umat Islam harus selalu berhati-hati terhadap distorsi sejarah yang digunakan untuk menyesatkan dan menjaga keaslian ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya.
(albert/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: