Syiahindonesia.com – Salah satu perbedaan paling mencolok antara Ahlus Sunnah dan Syiah adalah dalam masalah pernikahan mut’ah. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, nikah mut’ah atau pernikahan sementara adalah haram dan telah dihapuskan hukumnya oleh Rasulullah ﷺ. Namun, Syiah masih meyakini kehalalannya hingga saat ini, bahkan menjadikannya bagian dari syariat mereka.
Polemik ini telah lama menjadi titik perdebatan, tetapi para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat dalam mengharamkan praktik nikah mut’ah, dengan dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, serta praktik para sahabat.
Apa Itu Nikah Mut’ah?
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang disepakati untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu hari, satu minggu, atau satu bulan, dengan mahar tertentu. Setelah masa yang disepakati habis, maka pernikahan dianggap batal otomatis tanpa talak, tanpa iddah (dalam banyak kasus), dan tanpa tanggung jawab suami terhadap istri.
Fatwa Ulama Sunni: Nikah Mut’ah adalah Zina yang Disamarkan
Para ulama besar Ahlus Sunnah, dari empat mazhab, dengan tegas menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah haram, bahkan sebagian menggolongkannya sebagai bentuk zina terselubung karena tidak memiliki ruh pernikahan dalam Islam yang sejati, yaitu membentuk keluarga dan menjaga kehormatan.
1. Imam Malik (Mazhab Maliki)
Beliau berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak sah, dan wanita yang melakukannya termasuk dalam praktik zina.
2. Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Mengharamkan nikah mut’ah dan menyatakan bahwa ijab qabul dengan batas waktu menjadikannya batil.
3. Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
Dengan tegas menganggap nikah mut’ah sebagai tidak sah, dan wanita yang menjalaninya dianggap berzina.
4. Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali)
Menetapkan bahwa nikah mut’ah adalah haram dan batal berdasarkan nash yang jelas dari Nabi ﷺ.
Dalil-dalil Keharaman Nikah Mut’ah
1. Hadits Nabi ﷺ:
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Maka siapa yang masih melakukannya, hendaklah ia meninggalkannya."
(HR. Muslim, no. 1406)
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa mut’ah dihapuskan dan diharamkan secara permanen.
2. Ijma’ Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, para sahabat sepakat bahwa mut’ah sudah diharamkan. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab berkata:
“Dua mut’ah yang pernah dibolehkan pada masa Rasulullah ﷺ, namun aku haramkan dan akan aku hukum siapa saja yang melakukannya: mut’ah haji dan mut’ah wanita (nikah mut’ah).”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya)
Mengapa Nikah Mut’ah Dianggap Merusak Moral?
Dalam praktiknya, mut’ah menjadikan wanita sebagai objek pemuasan nafsu tanpa tanggung jawab. Tidak ada niat membangun keluarga, tidak ada hak waris, bahkan kadang tidak ada status yang jelas bagi anak yang dilahirkan.
Hal ini membuka pintu kerusakan moral, perzinahan terselubung, dan eksploitasi perempuan, bahkan ada kasus-kasus di mana perempuan dipaksa untuk “dihalalkan sementara” demi nafsu para lelaki berlabel agama.
Kesimpulan
Nikah mut’ah dalam pandangan Ahlus Sunnah bukanlah bagian dari syariat Islam yang sah, melainkan bentuk penyimpangan terhadap ajaran Nabi ﷺ. Ulama dari semua mazhab Sunni telah mengharamkannya dengan dalil-dalil yang kuat dan konsisten, baik dari Qur’an, sunnah, maupun ijma’ para sahabat.
Sementara Syiah terus membela mut’ah sebagai “ibadah,” umat Islam harus berhati-hati dan tidak tertipu oleh dalih-dalih batil yang sejatinya merusak akhlak dan tatanan keluarga Muslim.
(albert/syiahindonesia.com)************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: