Syiahindonesia.com - Nikah Mut'ah adalah salah satu praktik yang kontroversial dalam ajaran Syiah yang menyatakan bahwa seorang pria dapat menikahi seorang wanita untuk jangka waktu terbatas, yang dikenal dengan istilah “nikah sementara.” Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, banyak pihak yang menilai nikah mut'ah sebagai suatu bentuk zina yang dikemas dalam istilah agama, dan dengan demikian dapat merusak nilai-nilai moral serta hukum Islam itu sendiri. Apa sebenarnya hukum nikah mut'ah dalam pandangan Syiah, dan mengapa banyak kalangan Muslim, terutama Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menolaknya?
Definisi Nikah Mut’ah dalam Ajaran Syiah
Nikah Mut’ah, menurut pandangan Syiah, adalah pernikahan yang dilakukan dengan tujuan tertentu, di mana pasangan yang menikah hanya terikat dalam jangka waktu terbatas, yang bisa saja hanya beberapa hari atau bulan. Setelah periode tersebut berakhir, pernikahan dianggap selesai, dan keduanya tidak memiliki kewajiban lebih lanjut. Dalam nikah mut'ah, tidak diperlukan wali dari pihak perempuan, dan tidak ada warisan antara keduanya. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pernikahan permanen dalam ajaran Sunni dan dalam hukum Islam pada umumnya.
Beberapa ulama Syiah berpendapat bahwa nikah mut’ah pernah diizinkan pada masa Nabi Muhammad SAW, dan perintah tersebut kemudian dihapus setelah beberapa waktu. Namun, ada kelompok tertentu yang berpendapat bahwa nikah mut’ah masih sah dan dapat dipraktikkan oleh umat Syiah hingga saat ini. Sementara itu, pandangan mayoritas ulama Sunni dan berbagai mazhab dalam Islam menolak nikah mut’ah karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip pernikahan yang abadi dan suci.
Nikah Mut’ah dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah
Bagi umat Islam Sunni, nikah mut’ah adalah bentuk hubungan yang tidak sah dan berpotensi menyebabkan kerusakan sosial yang besar. Pandangan Sunni didasarkan pada sejumlah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang dengan tegas melarang praktik nikah mut’ah. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang mengatakan bahwa:
"Dahulu kami diperbolehkan untuk menikahi wanita dengan mut’ah pada masa perang, tetapi kemudian Nabi Muhammad SAW melarang kami melakukan hal itu." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun nikah mut’ah diperbolehkan pada masa tertentu, Nabi Muhammad SAW kemudian mengharamkannya. Oleh karena itu, umat Islam Sunni meyakini bahwa nikah mut’ah adalah bid'ah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang telah disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu, banyak ulama Sunni yang menilai bahwa nikah mut’ah berpotensi menyebabkan penyalahgunaan dan eksploitasi wanita, serta merusak nilai-nilai kesucian dalam hubungan pernikahan.
Nikah Mut’ah dan Pencemaran Nilai-Nilai Pernikahan
Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci yang tidak hanya sekadar urusan duniawi, tetapi juga merupakan amal ibadah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang." (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan hubungan yang penuh kasih sayang dan saling melengkapi antara suami dan istri. Nikah mut’ah, yang hanya dilakukan untuk waktu yang terbatas, bertentangan dengan prinsip ini, karena mengurangi makna dan tujuan sejati dari pernikahan yang didasarkan pada komitmen jangka panjang dan tanggung jawab.
Lebih jauh lagi, nikah mut’ah seringkali dipandang sebagai "legalisasi" dari zina, yang dalam pandangan Islam adalah perbuatan yang sangat dilarang. Zina, baik yang dilakukan oleh pria maupun wanita, dianggap sebagai dosa besar yang dapat merusak moral individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, umat Islam yang mengikuti ajaran yang sah dari Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW menolak praktik nikah mut’ah sebagai suatu bentuk penyimpangan dari norma-norma moral dan ajaran Islam yang benar.
Penyalahgunaan dan Eksploitasi Wanita dalam Nikah Mut’ah
Salah satu alasan mengapa banyak ulama Sunni menentang nikah mut’ah adalah potensi penyalahgunaan yang dapat terjadi, terutama terhadap wanita. Dalam pernikahan mut’ah, wanita sering kali dijadikan objek pemuasan nafsu belaka, tanpa adanya komitmen jangka panjang atau tanggung jawab terhadap hak-haknya sebagai seorang istri. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan terhadap wanita, karena hak-hak mereka tidak dijamin dengan cara yang sama seperti dalam pernikahan yang sah.
Dalam pandangan Islam, wanita adalah makhluk yang harus dihormati dan dilindungi hak-haknya. Pernikahan dalam Islam harus memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak, dengan adanya tanggung jawab yang jelas dari suami terhadap istri, baik secara materi maupun emosional. Nikah mut’ah, yang hanya bersifat sementara, tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi wanita dan malah berpotensi untuk mengeksploitasi mereka.
Kesimpulan
Nikah mut’ah dalam ajaran Syiah adalah praktik yang kontroversial dan banyak ditentang oleh mayoritas umat Islam, terutama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bagi umat Islam Sunni, nikah mut’ah adalah bentuk hubungan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sah, karena hanya memberikan kesenangan sesaat tanpa ada komitmen dan tanggung jawab jangka panjang. Selain itu, nikah mut’ah juga berpotensi menyebabkan penyalahgunaan terhadap wanita dan merusak nilai-nilai kesucian dalam pernikahan yang sejati.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk menjaga kesucian dan kehormatan pernikahan sebagai ikatan suci yang berdasarkan kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami bahwa nikah mut’ah bukanlah bagian dari ajaran Islam yang sebenarnya, dan harus ditolak sebagai praktik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moral Islam.
(albert/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: