Breaking News
Loading...

 FENOMENA PERNIKAHAN MUT’AH DI REPUBLIK ISLAM IRAN (Antara Ada dan Tiada) (Tulisan Pertama Dari 4 Bagian)

Sukron Makmun
Pascasarjana Mazaheb University Tehran, Republik Islam Iran
E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Empat tahun sudah Penulis hidup di negeri para Mullah (Iran) dari tahun 2006 sampai tahun 2010 sekarang ini. Sebelum menetap di Teheran - Iran, Penulis sempat menetap di kota Qom, salah satu kota suci bagi orang Syiah Iran, sekaligus kota dimana revolusi Islam Iran dibidani oleh Imam Khomeini. Di kota itu, Penulis menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama empat tahun itu, baik selama di Qom maupun selama di Tehran, Penulis tidak pernah melihat tempat-tempat resmi dimana akad pernikahan mut’ah diselenggarakan, meskipun Penulis sering mendengar dari para mahasiswa senior yang sudah lama di Qom bahwa di dekat Haram Sayyidah Fatimah Ma’someh akan mudah dijumpai wanita-wanita yang mau di mut’ah. Adapun ciri-cirinya adalah mereka memakai cadur dengan terbalik.

Penulis sendiri sampai sekarang tidak bisa membedakan mana cadur yang terbalik dan mana yang tidak terbalik. Meskipun mereka mendengung-dengungkan nikah itu dan bahkan mereka meyakini keabsahannya, tapi menurut hemat Penulis, dari sekitar 165 mahasiswa Indonesia yang ada di Qom sekarang ini, hanya satu atau dua orang yang betul-betul melakukan nikah tersebut. Setelah sampai Teheran, lembaga-lembaga resmi untuk menyelenggarakan pernikahan mut’ah itu juga tidak kelihatan terang-terangan. Malahan Penulis lebih banyak melihat transaksi dan praktik prostitusi ketimbang mut’ah itu sendiri. Praktik dan transaksi prostitusi itu bisa ditemukan di sepanjang Mothahari dan Vale Ashr street dekat Vanak Square, dan Jordan street di jantung ibukota Iran - Teheran.

Nikah mut’ah secara resmi tercantum dalam hukum perdata (Civil Law) Republik Islam Iran. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang Rumah Tangga (droit civil la famille/huqûqe khânevâdeh). Di situ disebutkan bahwa ada dua jenis pernikahan yang dianggap syah menurut hukum positif Iran. Yang pertama adalah nikah permanen (dâim) dan yang kedua adalah nikah yang tidak permanen (munqati’). Nikah jenis yang kedua ini disebut juga sebagi nikah mut’ah atau nikah muaqqat; atau yang lebih popular dengan sebutan ‘sîgheh’ dikalangan masyarakat Iran, dan disebut kawin kontrak oleh masyarakat Indonesia.

Nikah ini secara de-facto jarang dilakukan oleh masyarakat Iran, dah bahkan secara bertahap, praktiknya semakin tidak menarik perhatian masyarakat setempat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Undang-Undang Hukum Perdata Iran secara resmi mengikuti fiqh Imamiyah. Nikah mut’ah adalah salah satu ciri khas yang dimiliki oleh madzhab Syiah (ahlû al- Tasyayyu’) tersebut. Dalam fiqh empat madzhab Islam (al-madzâhibu al-Islâmy al-Arba’ah) yang lain nikah ini tidak diperbolehkan. Ada kaidah fiqh Syiah yang terkenal yaitu, “khudz mâ khâlafa al-Âmmah” (memilih pendapat yang berbeda dengan kebanyakan yang lain).

Adapun tentang alasan diperbolehkannya nikah tersebut, fuqahâ’ Imâmiyah bersandar pada surat al-Nisa’ ayat 24, yang berbunyi :

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


Selain itu, mereka juga bersandar pada beberapa riwayat yang diklaim dari para Imam mereka, dan juga hasil ijtihad ulama’ (ulama’ Syiah).

Di negara-negara Barat nikah mut’ah (kawin kontrak) tidak begitu dikenal. Bahkan di negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Tunisia, Irak, Syiria dan Mesir, nikah ini tidak diakui keabsahannya oleh pemerintah dan ulama’. Meskipun tidak tersurat dalam undang-undang positif, bahwa syarat sahnya nikah adalah ‘permanen’, namun para hakim di departemen kehakiman dan parlemen negara-negara disebut mengisyaratkan bahwa nikah mut’ah tidak bisa disahkan dan tidak bisa diakui.


PEMBAHASAN

A. Perbedaan antara nikah dâim dan munqati^ (mut’ah)

Dari berbagai sudut pandang, nikah munqati^ sebenarnya mempunyai banyak kesamaan kecuali dalam hal nafkah dan warisan dengan nikah dâim, termasuk dalam syarat-syarat dan larangannya. Secara prinsipil dua-duanya juga mempunyai konsekwensi yang sama, contohnya, anak yang dihasilkan dari nikah munqati^ di mata hukum mempunyai hak yang sama dengan anak yang dihasilkan oleh pernikahan dâim (S.H. Safai dan A. Emami, Tt: 15)

Secara garis besar perbedaan antara nikah dâim dan nikah munqati^ adalah sebagai berikut:
1. Masanya harus ditentukan.
Yang merupakan syarat wajibnya nikah munqati^ adalah, masanya harus disebutkan dan ditentukan pada saat akad. Dicantumkan dalam pasal 1075 hukum perdata Iran sebagai berikut: “nikah sementara disebut nikah munqati^ yaitu nikah yang dilangsungkan dalam sebuah masa yang telah ditentukan waktunya.” Jika dalam akad munqatiA tidak disebutkan periode waktunya, maka nikahnya tidak bisa dikatakan sebagai nikah munqati^ . Jika demikian apakah nikah tersebut batal atau tidak? Fuqaha’ Imamiyah dalam hal ini berbeda-beda pendapat:

Sebagian berpendapat bahwa nikah tersebut jika tidak menyebutkan masanya secara otomatis menjadi nikah dâim; Dan sebagian fuqaha’ lagi, seperti Ayatullah Hilly dan Syahid al-Tsani dalam kitab Masâliku al-Afham berpendapat bahwa nikah tersebut batal dan tidak secara otomatis menjadi nikah dâim. Sebab—dalam pandangan mereka—, akad itu mengikuti niat dan tujuannya. Tentunya, orang yang melakukan nikah munqati^ tersebut tidak berniat untuk nikah daim.
Pendapat yang kedua ini lebih kuat (râjih). Buktinya, hampir tidak ada pendapat lain yang menyangkalnya. Selain itu, tidak ditemukan sebuah riwayat yang kuat yang mengatakan bahwa “jika masanya tidak ditentukan maka nikah munqati^ tadi secara otomatis menjadi nikah dâim.”

2. Menentukan jumlah mahar. Dalam nikah munqati^ jika jumlah atau jenis maharnya tidak ditentukan pada saat akad, maka nikahnya tersebut tidak sah (hukum perdata Iran, pasal 1095).

3. Suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada istri, kecuali ada syarat ‘pemberian nafkah’ dalam akad (hukum perdata Iran, pasal 1113) (Jahangir Mansor, 1389 H :193).

4. Masa i^ddah (masa tunggu untuk bisa menikah lagi) dalam nikah munqati^ adalah dua (2) kali masa suci dari haid. Berbeda dengan i^ddah nikah dâim yaitu, tiga (3) kali masa suci (hukum perdata Iran, pasal: 1151 dan 1152) (Jahangir Mansor, 1389 H :193). Masa i^ddah bagi perempuan yang sudah lanjut usia yang tidak haid lagi, dan i^ddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, dalam nikah dâim maupun nikah munqati^ adalah sama (hukum perdata Iran, pasal: 1153 dan 1154) (Jahangir Mansor, 1389 H :193).

5. Dalam nikah munqati^, suami dan istri sama-sama tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan (hukum perdata Iran, pasal: 940 dan pasal: 1077) (Jahangir Mansor, 1389 H :193). Adapun jika hak untuk mendapat warisan tersebut dijadikan syarat dalam akad nikah, maka fuqaha’ Imamiyah berbeda pendapat, dan hal ini tidak tercantum dan tersurat dalam undang-undang. Kalau mengacu pada pasal 940 dan 1077 maka secara prinsipil suami dan istri sama-sama tidak memiliki hak waris, tetapi jika mengacu pada pasal 1113 maka syarat tersebut bisa diterima.

Dari kedua pendapat tersebut yang râjih di kalangan pakar hukum dan fuqahâ adalah pendapat yang menyatakan bahwa suami dan istri sama-sama tidak memiliki hak untuk mendapat warisan, alasannya, pendapat tersebut juga tidak bertentangan dengan ketetapan hukum (qawâide âmereh) dan aturan umum (nuzhûme umûmy) yang berlaku di masyarakat termasuk di dalamnya adalah aturan tentang hak perolehan warisan (bab III, pasal: 232).

Kasus tersebut tidak bisa disamakan dengan ‘syarat pemberian nafkah’, karena syarat pemberian nafkah ini tidak akan bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Bahkan sebenarnya, syarat seperti ini merupakan hal yang lazim bagi seorang suami. Karena suami pada dasarnya adalah wajib untuk menafkahi istri. Syarat tersebut diibaratkan sebagai qarar dâde mâly (perjanjian yang sifatnya materi, berkaitan dengan harta).

Bersambung ke bagian ke 2





************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: