Breaking News
Loading...

 Perkembangan Syiah Di Dukuh Candi Banjaran Bangsri Jepara sejak 1982

Syi’ah di Indonesia sebelumnya belum begitu populer, sampai akhirnya meletusnya Revolusi Islam di Iran. Gelombang pemikiran dari revolusi ini sampai ke Indonesia dan merambah ke Jawa Tengah khususnya di Desa Banjaran Bangsri Jepara.
Abdul Qadir Bafaqih


Abdul Qadir Bafaqih adalah orang yang pertama kali mendeklarasikan Syi‟ah di Dukuh Candi Banjaran setelah sebelumnya dia mendapatkan buku-buku kiriman dari Kuwait. Penyebaran Syi‟ah dilakukannya di Ponpes Al-Khairat yang telah lama dia dirikan. Perkembangan selanjutnya, di Dukuh Candi Banjaran ini menjadi komunitas Syi‟ah terbesar jika dibandingkan di tempat lain di Jepara. Keberadaan Syi‟ah di Dukuh Candi Banjaran juga berbeda dengan Syi‟ah di tempat lain yang sering terjadi konflik. Jika dibandingkan dengan jumlah secara kuantitas, masyarakat Syi‟ah dapat disebut sebagai minoritas, namun sampai saat ini mereka tetap menunjukkan eksistensi dan perkembangannya yakni dalam segi sosial keagamaan.
Syi‟ah telah masuk di Dukuh Banjaran dibawa oleh Abdul Qadir Bafaqih dan dideklarasikan pada tahun 1982. Pola perkembangan masyarakat Syi‟ah di Dukuh Candi Banjaran terdiri dari tiga media yakni melalui geneologi, pendidikan, dan sosial-keagamaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan masyarakat Syi‟ah di Dukuh Candi Banjaran adalah adanya sikap toleransi dan kesadaran masyarakat Dukuh Candi Banjaran, faktor kekerabatan, unsur satu guru, dan faktor lembaga sosial Syi‟ah. Berdasarkan perekambangan tersebut melahirkan perubahan sosial yang terjadi yakni pembangunan sarana ibadah dan perubahan sikap serta terbentuknya beberapa lembaga sosial keagamaan Syi‟ah.
Abdul Qadir Bafaqih berasal dari Tuban, Jawa Timur yang berketurunan Hadramaut, ayah dan ibunya keduanya merupakan keluarga Sayyid.6 Dia menetap di Bangsri karena menikah dengan penduduk setempat yang bernama Nur Imanah binti Umar bin Muhsin Al Athas. Kemudian dia mendirikan pondok pesantren Ribatul Khairat pada tahun 1949.
Abdul Qadir awalnya merupakan penganut Sunni. Ia memeluk ajaran Ahlul Bait setelah membaca buku-buku kiriman dari Kuwait pada 1974 dan mencapai puncaknya pada tahun 1979 saat meletusnya Revolusi Iran. Penyebaran paham Syi’ah ini dilakukan di Pondok Pesantren Ribatul Khairat yang berdiri tahun 1949. Pondok pesantren ini dalam perjalanannya memegang peranan penting yang tidak hanya menjadi lembaga pendidikan tetapi juga sebagai basis perkembangan Syi’ah di Jawa Tengah.
Peranan Abdul Qadir Bafaqih terhadap perkembangan pemikiran Islam khususnya di wilayah Jawa Tengah tidak dapat diaggap kecil, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan Syi’ah di Indonesia. Hal ini dikatakan oleh Ahmad Syafi’i dalam penelitiannya, bahwa berkembangnya Syi’ah di Indonesia pada abad ke-20 diantaranya tidak terlepaskan dari usaha yang dirintis oleh Abdul Qadir Bafaqih. Setelah Abdul Qadir menetap di Candi, ia mendirikan pesantren Al-Khairat pada tahun 1949. Pesantren Al-Khairat mengajarkan bahasa Arab serta kitab-kitab karangan Qadir, diantaranya Haqqul Mubin, Muhammadun wa Akhuhu,Al-Itqan, Aqaid dan Al As-Ilah.Kitab Haqqul Mubin, Muhammadun wa Akhuhu, isinya hampir sama yakni membahas Sunnah dan Syi’ah dengan menggunakan metode pertanyaan lalu dilanjutkan dengan jawaban dan dalilnya. Kitab ini ditulis dengan tulisan tangan, sementara Al-Itqan merupakan buku untuk pelajaran bahasa arab. Pembelajaran Abdul Qadir pada tahun 1982 masih bersifat tradisional, misalnya menggunakan metode sorogan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan pengajian di pesantren Sunni. Model seperti ini terus dilakukannya sampai ia meninggal dunia.Proses penyebaran paham Syi’ah dimulai di Pesantren Al-Khairat ini. Abdul Qadir yang sebelumnya mendeklarasikan Syiah pada tahun 1982 kemudian menyebarkannya kepada murid-muridnya di Pesantren Al-Khairat.
Ada dua respon dari murid-murid Qadir yakni menerima paham Syi’ah dan tidak menerima paham Syi’ah. Qadir pun tidak memaksakan kehendak murid-muridnya, mereka bebas menentukan madzhab apa yang dianutnya. Dari sinilah Syi’ah mulai tersebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah karena dibawa oleh murid-murid Qadir yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Salah satu contohnya adalah Yayasan Nuruts Tsaqolain di Semarang dan lambat laun jamaah Syi’ah di Semarang terus bertambah. Namun, setelah Qadir wafat,Ponpes Al-Khairat mengalami penurunan dan akhirnya mati. Hal ini disebabkan karena kerturunan Qadir lebih fokus pada dunia bisnis dan tidak meneruskan perjuangannya di Pesantren Al-Khairat.
Syi’ah di Desa Banjaran menjadi komunitas terbesar dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa Tengah. Pada tahun 2006, ada sekitar 500 kepala keluarga penganut Syi’ah di Jepara dan komunitas Bangsri adalah yang terbesar. Desa Banjaran terdiri dari 12 RW, Syi’ah paling banyak ada di Dukuh Candi yakni RW01 di RT 02,03, dan 04.Selain di Desa Banjaran, komunitas Syi’ah di Kecamatan Bangsri juga terdapat di Kampung Kauman. Kauman merupakan tempat Qadir menetap setelah ia berpindah aliran menjadi Syi’ah yang sebelumnya merupakan penganut Sunni dan berdomisili di Dukuh Candi Banjaran. Syi’ah yangbertempat di Kauman adalah anak keturunan Qadir dan juga merupakan guru-guru bagi masyarakat Syi’ah di Desa Banjaran. Dukuh Candi Banjaran sendiri memiliki 2 masjid yang dijadikan tempat ibadah oleh aliran Sunni dan Syi’ah. Masjid Muhammad Arif merupakan masjid Sunni sedangkan MasjidAl Husaini merupakan kepunyaan Syi’ah. Hal ini telihat ketika tiba waktu shalat Jumat, yakni terdapat 2 jamaah shalat Jumat di Dukuh Candi Banjaran. Selain menjadi tempat sholat, masjid tersebut juga dijadikan tempat kegiatan-kegiatan masyarakat Syi’ah, seperti peringatan Karbala, Tawasulan dan kegitan pengajian-pengajian lain
Pola perkembangan Syi’ah di Dukuh Candi salah satunya didasarkan pada pondasi pendidikan, yakni pemahaman ajaran yang diajarkan di lembaga non formal seperti TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), sedangkan dalam segi kehidupan sosial-keagamaannya yakni kegiatan sosial dan pengajian umum serta aksi sosial seperti bedah rumah, santunan, bantuan korban bencana alam dan kegiatan-kegiatan yang rutin dilakukan dengan ataupun tanpa warga Sunni, diantaranya mereka membentuk wadah Husainiyah pada tahun 1990, Fatimiyah pada tahun 1995, dan organisasi-organisasi lain. Salah satu wadahnya yakni Fatimiyah selalu mengadakan pengajian setiap dua minggu sekali, dalam pengajian tersebut tidak hanya dihadiri dari kalangan Ahlul Bait saja tetapi juga dari madzhab lainnya.
=======
Sumber : karya tulis dengan judul :
Perkembangan Masyarakat Syi’ah Di Dukuh Candi Banjaran Bangsri Jepara 1982-2016 M
Oleh Prima Ayu Kartika






************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: