SEMAKIN tinggi kedudukan hamba di sisi Allah, maka semakin besar pula ujian dan cobaan yang menimpanya. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridla maka baginya keridlaan Allah, namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah.” (HR: Tirmidzi)
Begitu pula yang dialami oleh Imam Syafi’i Rahimahullah. Di balik kebesaran dan ketenaran nama beliau, ternyata pernah mengalami ujian yang sangat berat. Hampir saja –kalau bukan karena kehendak Allah– beliau akan dieksekusi mati, akibat fitnah keji.
Kisah ini terjadi saat beliau di Yaman. Ketika itu, di sana sekte Syi’ah cukup kuat, bahkan dalam kondisi puncaknya. Bahkan di setiap distrik ada Syi’ahnya (Muchlis, 2013: 77). Dan berbicara tentang Syi’ah, pasti tak bisa dilepaskan dari dunia politik. Hal ini karena konsep “imamah” dalam tradisi mereka begitu kuat dipegang, sehingga tidak bisa dilepaskan dari ranah politik.
Saat berada di Yaman, Imam Syafi’i menghadapi suasana pelik dan dilematis. Di satu sisi beliau sengaja ditarik-tarik ke pusaran politik oleh orang Syi’ah. Di sisi lain, penguasa kala itu –yaitu Harun Ar-Rasyid—memusuhi sekte Syi’ah itu yang dianggap gerakan oposan dan pemberontak. Istilahnya, kondisinya saat itu : maju kena, mundur kena. Saat memuji Ahlu Bait, maka ia akan dituduh oposisi terhadap pemerintah. Jika memuji Abu Bakar, Umar dan sahabat di luar Ahli Bait, pasti oleh orang ‘Alawiyyin dituduh pro penguasa dan pembenci ‘Alawiyyin.
Sebenarnya, Imam Syafi’i tidak memihak ke Syi’ah atau pemerintah. Beliau hanya memihak pada kebenaran. Hanya saja, beliau prihatin terhadap perlakuan zalim penguasa terhadap kaum ‘Alawiyyin yang merupakan bagian dari Ahlu Bait (keturunan Nabi). Salah satu bentuk keprihatinan beliau ditorehkan dalam lantunan sya’ir:
يا آل بيت رسول الله حبكم فرض
من الله في القرءان أنزله
يكفيكم من عظيم الفضل أنكم من لم يصل
عليكم لا صلاة له
Wahai Ahli Bait Rasulullah! Mencintai kalian adalah kewajiban,
Dari Allah yang dijelaskan dalam al-Qur`an,
Cukuplah yang menunjukkan keagungan pernghormatan (di sisi Allah) untuk kalian; orang yang tak bershalawat atas kalian,
Maka tidak ada shalawat baginya ,(Baca: al-Mawahib al-Ladunniyyah, III/362).
Senandung sya’ir yang dilantunkan Imam Syafi’i benar-benar tulus dari hati dan sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan menghormati Ahli Bait. Sya’ir gubahannya ini sama sekali berisi dari tendensi politik, tekanan penguasa, pesanan kelompok tertentu yang saat itu sedang hangat-hangatnya di Yaman. Yang benar beliau katakan benar, dan yang salah beliau katakan salah.
Bayangkan! Ulama hanif sekaliber Syafi’i yang sedang berada di pusaran politik pembelahan antara pemerintah dan sekte Syi’ah, mau tidak mau pasti terseret ke dalamnya. Sebuah kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi orang yang benar-benar memegang teguh kebenaran.
Sya’irnya itu pun berbuntut panjang. Ada yang menuduh beliau sebagai penganut Syi’ah Rafidhi. Salah satunya oleh pendengkinya yang bernama Mutharrif bin Māzin; bahkan memprovokasi penguasa untuk meringkusnya. Ketika tuduhan itu kian meluas, pada suatu waktu waktu Imam Syafi’i secara tegas menjawabnya melalui gubahan sya’ir yang cukup menukik:
إِنْ كَانَ رَفَضَا حُبَّ آلِ مُحَمَّدٍ
فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلانِ أَنِّي رَافِضِي
Jika mencintai keluarga Nabi disebut Rafidhah;
Maka saksikanlah (wahai) jin dan manusia bahwa aku adalah seorang Rafidhah
Pernyataan ini bisa dibaca dalam buku “al-Intiqaa fii Fadhaa`ilits Tsalaatsah al-A`immah al-Fuqaha” (91) karya Ibnu Barr.
Dalam kitab “Diiwan al-Imaam asy-Syafi’i” juga disebutkan:
قالوا تَرَفَّضتَ قُلتُ كَلّا….. ما الرَفضُ ديني وَلا اِعتِقادي
لَكِن تَوَلَّيتُ غَيرَ شَكٍّ….. خَيرَ إِمامٍ وَخَيرَ هادي
إِن كانَ حُبُّ الوَليِّ رَفضاً ….فَإِنَّ رَفضي إِلى العِبادِ
Mereka berkata, “Kamu telah menjadi Rafidhah”, aku jawab, “Tidak!”
Rafidhah bukanlah agama serta keyakinanku
Akan tetapi aku angkat sebagai pemimpin tanpa ragu
Pemimpin (imam) dan pembimbing terbaik
Jika mencintai pemimpin dianggap Rafidhah
Maka Rafidhahku adalah kepada hamba (semakna dengan katakan kepada manusia bahwa aku adalah Rafidhah)
Inilah salah satu kehebatan Imam Syafi’i. Di tengah kondisi situasi politik yang sangat panas kala itu, beliau tidak sampai kehilangan nyali untuk mengatakan yang benar adalah benar; dan yang salah adalah salah.
Kondisi demikian dimanfaatkan oleh para pendengki beliau dengan menggunakan tangan kekuasaan Abbasiyah yang kala itu dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid. Beliau dituduh dan dilaporkan ke penguasa sebagai salah satu pemimpin, penasihat dan pendukung komunitas Syi’ah tersebut.
Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan aktivis alawiyin yang dituduh melakukan gerakan makar. Mirisnya, beliau bersama yang lainnya (saat itu berjumlah 9. Sepuluh dengan Imam Syafi’i) dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman (tepatnya Najran) hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid (Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273). Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad.
Sesampainya di Baghdad yang disidang terlebih dahulu adalah 9 kelompok ‘Alawiyyin. Menurut catatan sejarah, semuanya pada akhirnya dieksekusi dengan hukuman pancung. Saat giliran Imam Syafi’i, beliau datang dalam kondisi merangkak karena diborgol tangan dan kakinya.
Beliau dicecar berbagai pertanyaan oleh Harun Ar-Rasyid. Kisah ini akan dibahas dalam sesi artikel tersendiri. Intinya, mendengar jawaban-jawaban Imam Syafi’i yang disampaikan dengan lemah lembut dan memenuhi dahaga rasa dan rasio, akhirnya Harun Ar-Rasyid malah takjub sebagaimana orang yang sedang mendapatkan pelajaran dari gurunya.
Setelah itu, Imam Syafi’i dibebaskan. Lebih dari itu, Imam Syafi’i akan dihadiahi 2000 dinar. Namun, hadiah itu ditolak secara halus. “Dengan hadiah itu,” tuturnya, “ akan sia-sialah semua nasihat yang aku sampaikan tadi.” Demikianlah kecermelangan Imam Syafi’i dalam menghadapi badai fitnah yang menimpa beliau.
Pada zaman fitnah di mana ada ketegangan serius, pembelahan tajam antara penguasa dan rakyat bahkan dengan ulama, maka umat Islam perlu banyak belajar kepada Imam Syafi’i. Beliau di tengah pusaran politik dan polarisasi bahkan fitnah dan tuduhan keji seperti itu, ditarik ke sana ke mari, masih tetap bisa pada titik keseimbangan sebagai pengikut kebenaran dan tidak kehilangan keberanian untuk membela kebenaran dan menasihati penguasa.
Menariknya, pada saat beliau akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan pun, beliau tetap bisa mempertahankan kebenaran dengan bahasa yang membuat penguasa luluh hatinya dan menguak fakta yang sesungguhnya. Itu dilakukan bukan karena menjilat, ingin bebas atau mendapat kekuasaan. Buktinya, saat mau dihadiai 2000 dinar beliau menolak, bahkan saat ditawari oleh Harun Ar-Rasyid menjadi Qadhi Yaman, dengan sangat halus beliau menjawab: “Aku sungguh tidak mendambakan jabatan itu. Jika Paduka izinkan, aku ingin berkunjung ke Mesir.”*
(Sumber dari tulisan Mahmud Budi Setiawan dengan sedikit perubahan)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: