Syiahindonesia.com - Syiah (شِيْعَة) secara bahasa berarti golongan atau pengikut. Ketika terjadi konflik antara Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, pendukung mereka disebut Syiah Ali dan Syiah Muawiyah.
Ali dan Muawiyah berdamai pada tahun 657 M. Orang-orang yang terlibat pembunuhan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, menolak perdamaian tersebut. Mereka keluar dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian disebut Khawarij, lalu merencanakan pembunuhan Ali dan Muawiyah.
Khawarij membunuh Ali bin Abi Thalib pada 661 M di Kufah. Namun Khawarij gagal membunuh Muawiyah di Damaskus. Muawiyah kemudian mendirikan Kekhalifahan Umayyah, sehingga istilah Syiah Muawiyah hilang karena sudah menjadi bagian dari Kekhalifahan Umayyah.
Sedangkan istilah Syiah Ali tetap dipertahankan oposisi Kekhalifahan Umayyah yang mengklaim sebagai pembela keturunan Ali bin Abi Thalib. Namun Syiah Ali saat itu masih berupa aliran politik, bukan aliran agama.
Syiah sebagai aliran politik
Syiah Ali (selanjutnya dikenal dengan sebutan Syiah) sebagai aliran politik diwakili oleh cabang tertua aliran Syiah, yaitu kelompok Syiah Zaidiyah.
Di masa awal, tidak banyak perbedaan antara mereka dengan Islam arus utama (Ahlus Sunnah). Mereka tidak menghina Abu Bakar dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Karena itu mereka menerima riwayat hadits dari semua sahabat Nabi, termasuk dari sahabat yang dianggap tidak mendukung Ali. Sehingga fikih Zaidiyah hampir sama dengan fikih mazhab-mazhab dalam Ahlus Sunnah.
Sebagai aliran politik, label Syiah Zaidiyah kerap disematkan ke oposisi yang berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Seperti Daulah Idrisiyah yang berkuasa di Maroko (788–974 M).
Daulah ini merupakan Ahlus Sunnah. Namun karena didirikan oleh keturunan Ali bin Abi Thalib, dan menjadi oposisi Kekhalifahan Abbasiyah, maka Daulah ini kerap disebut Syiah Zaidiyah. Padahal saat itu, abad ke-2 Hijriyah, belum ada perbedaan antara akidah Ahlus Sunnah dengan akidah Syiah Zaidiyah.
Syiah sebagai aliran agama
Syiah berubah menjadi aliran agama melalui beberapa tahap:
Pertama, menjadi wadah berkumpulnya oposisi Ahlus Sunnah.
Di masa Khulafaur Rasyidin, oposisi awal (dari internal umat Islam) terhadap Islam arus utama (Ahlus Sunnah) berasal dari kaum Zindiq. Zindiq awalnya merupakan sebutan bagi orang kafir (Majusi, Yahudi, dst) yang masuk Islam untuk merusak Islam.
Sehingga Zindiq sama dengan munafik dalam hal memperlihatkan keislamannya dan menyembunyikan kekufuran. Istilah Zindiq kemudian digunakan untuk setiap orang yang mengaku muslim namun perbuatannya merusak Islam.
Saat terjadi konflik antara Ali dengan Muawiyah, kaum Zindiq menyanjung Ali secara berlebihan dengan menyebut ada sifat ketuhanan pada Ali. Ali bin Abi Thalib pun kemudian menghukum mereka.
أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Beberapa orang Zindiq ditangkap dan dihadapkan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, lalu Ali membakar mereka. Hal ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata:
“Kalau aku, aku tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: ‘Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.’ Dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!’”
(HR. Bukhari)[1]
Ketika Kekhalifahan Umayyah berdiri, oposisi yang meyakini bahwa Khalifah tidak harus dari keturunan manusia atau suku tertentu, berhimpun dalam fikrah (ideologi) politik Khawarij. Sementara oposisi yang meyakini bahwa Khalifah harus dari keturunan Ali, berhimpun dalam fikrah politik Syiah.
Dalam kondisi tersebut, oposisi yang berasal dari kaum Zindiq turut berhimpun ke Syiah. Karena itu pemikiran mereka masuk ke dalam fikrah Syiah.
Kedua, eksklusivitas, yaitu membedakan atau memisahkan diri.
Sebagai oposisi, Syiah hendak membedakan diri dengan penguasa, bukan hanya dalam politik namun juga agama. Akibatnya, rujukan agama mereka berbeda dengan Islam arus utama (Ahlus Sunnah). Rujukan agama mereka menjadi sangat dipengaruhi kaum Zindiq yang berhimpun ke dalam Syiah.
Di antara tokoh Zindiq yang mempengaruhi fikrah Syiah adalah Abdullah bin Saba yang memiliki latar belakang Yahudi. Sumber Syiah, antara lain kitab Rijal al-Kashi, menyebutkan Abdullah bin Saba menyebarkan paham bahwa Ali memiliki sifat ketuhanan.[3]
Pemikiran Zindiq dari kaum Majusi juga ikut mempengaruhi fikrah Syiah. Hal ini karena pasca takluknya Kekaisaran Sasaniyah Persia, kaum Zindiq dari kalangan Majusi memilih bergabung dengan kelompok Syiah.
Pemikiran Zindiq dari kaum Majusi dapat dilihat pada kelompok Syiah Kaisaniyah yang muncul di akhir abad ke-1 Hijriyah.
Syiah Kaisaniyah meyakini mantan pemimpin mereka, Muhammad bin Hanafiyah (putra Ali), sebenarnya tidak mati. Dia dianggap ghaybah (okultasi), yaitu tersembunyi secara ghaib di Gunung Radwa, dan akan kembali ke dunia pada akhir zaman.
Keyakinan okultasi Syiah ini berasal dari Majusi, di mana putra Nabi Zoroaster yang dianggap sebagai juru selamat Majusi diyakini tersembunyi di sebuah danau di Persia, dan akan muncul di akhir zaman.[2]
Syiah Kaisaniyah punah di abad ke-2 Hijriyah, tapi pemikirannya tetap hidup pada kelompok-kelompok Syiah berikutnya. Pecahan Syiah Ismailiyyah meyakini Imam Ketujuh mereka sedang berokultasi (ghaybah). Demikian pula Syiah Imamiyyah yang meyakini Imam Kedua Belas mereka sedang ghaybah.
Ketiga, penyusunan sistem keagamaan yang baku.
Penyusunan sistem keagamaan yang baku dapat dilihat pada kelompok Syiah arus utama (Syiah Imamiyyah). Ahlus Sunnah memasukkan Syiah Imamiyyah sebagai kelompok Rafidhah (yang menolak) karena mereka menolak dan mengutuk kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Syiah Imamiyyah menyusun sistem keagamaan mereka melalui kitab-kitab hadits seperti misalnya Al Kafi dan Nahjul Balaghah (kumpulan ucapan Ali).
Karena sebagian besar sahabat Nabi dianggap telah berkhianat kepada Ali, maka mereka menolak periwayatan hadits dari para sahabat. Kitab-kitab hadits mereka diklaim berdasarkan riwayat Ahlul Bait Nabi.
Padahal kitab-kitab tersebut disusun pada abad ke-4 Hijriyah dan memiliki keterputusan sanad dengan Nabi. Karena itulah fikih mereka berbeda dengan fikih mazhab-mazhab dalam Ahlus Sunnah, seperti misalnya nikah mut’ah yang dihalalkan oleh Syiah Imamiyyah.
Penyusunan sistem keagamaan yang baku tersebut membedakan mereka dengan kelompok Ghulat (ekstrem) yang lebih kental unsur kebatinannya. Contoh Ghulat menurut Syiah Imamiyyah adalah Abdullah bin Saba dan Syiah Kaisaniyah.
Contoh Ghulat di zaman sekarang menurut Syiah Imamiyyah adalah Syiah Nushairiyah di Suriah yang menganggap Tuhan telah menitis (inkarnasi) ke Ali bin Abi Thalib.[4]
Penyusunan sistem keagamaan yang baku tersebut juga menjadi penarik dan mempengaruhi kelompok Syiah lainnya. Seperti misalnya Syiah Zaidiyah yang saat ini semakin dekat dan condong ke Syiah Imamiyyah.
Sehingga saat ini Syiah Imamiyyah merupakan cabang Syiah yang paling besar. Sekitar 85% Syiah di dunia merupakan pengikut Syiah Imamiyyah.[5] Karena itu ketika membahas Syiah secara umum maka yang dirujuk adalah kelompok Syiah Imamiyyah.
Wallahu a’lam
[1] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 6411 (no. 6922 versi Fathul Bari).
[2] Martin Ballard, End-Timers: Three Thousand Years of Waiting for Judgment Day (Praeger, 2011), hlm. 55.
[3] Ali Ahmad As-Salus, Ensiklopedi Sunnah dan Syiah, Jilid 1 (Pustaka Al Kautsar, 2001), hlm. 12.
[4] Martin Seth Kramer, Arab Awakening and Islamic Revival: The Politics of Ideas in the Middle East (Transaction Publishers, 2008), hlm. 191.
[5] Benjamin Elisha Sawe, “Shia Islam’s Holiest Sites”, https://www.worldatlas.com/articles/shia-islam-s-holiest-sites.html (diakses pada 26 Juli 2020, pukul 3.27).
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Ali dan Muawiyah berdamai pada tahun 657 M. Orang-orang yang terlibat pembunuhan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, menolak perdamaian tersebut. Mereka keluar dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian disebut Khawarij, lalu merencanakan pembunuhan Ali dan Muawiyah.
Khawarij membunuh Ali bin Abi Thalib pada 661 M di Kufah. Namun Khawarij gagal membunuh Muawiyah di Damaskus. Muawiyah kemudian mendirikan Kekhalifahan Umayyah, sehingga istilah Syiah Muawiyah hilang karena sudah menjadi bagian dari Kekhalifahan Umayyah.
Sedangkan istilah Syiah Ali tetap dipertahankan oposisi Kekhalifahan Umayyah yang mengklaim sebagai pembela keturunan Ali bin Abi Thalib. Namun Syiah Ali saat itu masih berupa aliran politik, bukan aliran agama.
Syiah sebagai aliran politik
Syiah Ali (selanjutnya dikenal dengan sebutan Syiah) sebagai aliran politik diwakili oleh cabang tertua aliran Syiah, yaitu kelompok Syiah Zaidiyah.
Di masa awal, tidak banyak perbedaan antara mereka dengan Islam arus utama (Ahlus Sunnah). Mereka tidak menghina Abu Bakar dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Karena itu mereka menerima riwayat hadits dari semua sahabat Nabi, termasuk dari sahabat yang dianggap tidak mendukung Ali. Sehingga fikih Zaidiyah hampir sama dengan fikih mazhab-mazhab dalam Ahlus Sunnah.
Sebagai aliran politik, label Syiah Zaidiyah kerap disematkan ke oposisi yang berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Seperti Daulah Idrisiyah yang berkuasa di Maroko (788–974 M).
Daulah ini merupakan Ahlus Sunnah. Namun karena didirikan oleh keturunan Ali bin Abi Thalib, dan menjadi oposisi Kekhalifahan Abbasiyah, maka Daulah ini kerap disebut Syiah Zaidiyah. Padahal saat itu, abad ke-2 Hijriyah, belum ada perbedaan antara akidah Ahlus Sunnah dengan akidah Syiah Zaidiyah.
Syiah sebagai aliran agama
Syiah berubah menjadi aliran agama melalui beberapa tahap:
Pertama, menjadi wadah berkumpulnya oposisi Ahlus Sunnah.
Di masa Khulafaur Rasyidin, oposisi awal (dari internal umat Islam) terhadap Islam arus utama (Ahlus Sunnah) berasal dari kaum Zindiq. Zindiq awalnya merupakan sebutan bagi orang kafir (Majusi, Yahudi, dst) yang masuk Islam untuk merusak Islam.
Sehingga Zindiq sama dengan munafik dalam hal memperlihatkan keislamannya dan menyembunyikan kekufuran. Istilah Zindiq kemudian digunakan untuk setiap orang yang mengaku muslim namun perbuatannya merusak Islam.
Saat terjadi konflik antara Ali dengan Muawiyah, kaum Zindiq menyanjung Ali secara berlebihan dengan menyebut ada sifat ketuhanan pada Ali. Ali bin Abi Thalib pun kemudian menghukum mereka.
أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Beberapa orang Zindiq ditangkap dan dihadapkan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, lalu Ali membakar mereka. Hal ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata:
“Kalau aku, aku tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: ‘Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.’ Dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!’”
(HR. Bukhari)[1]
Ketika Kekhalifahan Umayyah berdiri, oposisi yang meyakini bahwa Khalifah tidak harus dari keturunan manusia atau suku tertentu, berhimpun dalam fikrah (ideologi) politik Khawarij. Sementara oposisi yang meyakini bahwa Khalifah harus dari keturunan Ali, berhimpun dalam fikrah politik Syiah.
Dalam kondisi tersebut, oposisi yang berasal dari kaum Zindiq turut berhimpun ke Syiah. Karena itu pemikiran mereka masuk ke dalam fikrah Syiah.
Kedua, eksklusivitas, yaitu membedakan atau memisahkan diri.
Sebagai oposisi, Syiah hendak membedakan diri dengan penguasa, bukan hanya dalam politik namun juga agama. Akibatnya, rujukan agama mereka berbeda dengan Islam arus utama (Ahlus Sunnah). Rujukan agama mereka menjadi sangat dipengaruhi kaum Zindiq yang berhimpun ke dalam Syiah.
Di antara tokoh Zindiq yang mempengaruhi fikrah Syiah adalah Abdullah bin Saba yang memiliki latar belakang Yahudi. Sumber Syiah, antara lain kitab Rijal al-Kashi, menyebutkan Abdullah bin Saba menyebarkan paham bahwa Ali memiliki sifat ketuhanan.[3]
Pemikiran Zindiq dari kaum Majusi juga ikut mempengaruhi fikrah Syiah. Hal ini karena pasca takluknya Kekaisaran Sasaniyah Persia, kaum Zindiq dari kalangan Majusi memilih bergabung dengan kelompok Syiah.
Pemikiran Zindiq dari kaum Majusi dapat dilihat pada kelompok Syiah Kaisaniyah yang muncul di akhir abad ke-1 Hijriyah.
Syiah Kaisaniyah meyakini mantan pemimpin mereka, Muhammad bin Hanafiyah (putra Ali), sebenarnya tidak mati. Dia dianggap ghaybah (okultasi), yaitu tersembunyi secara ghaib di Gunung Radwa, dan akan kembali ke dunia pada akhir zaman.
Keyakinan okultasi Syiah ini berasal dari Majusi, di mana putra Nabi Zoroaster yang dianggap sebagai juru selamat Majusi diyakini tersembunyi di sebuah danau di Persia, dan akan muncul di akhir zaman.[2]
Syiah Kaisaniyah punah di abad ke-2 Hijriyah, tapi pemikirannya tetap hidup pada kelompok-kelompok Syiah berikutnya. Pecahan Syiah Ismailiyyah meyakini Imam Ketujuh mereka sedang berokultasi (ghaybah). Demikian pula Syiah Imamiyyah yang meyakini Imam Kedua Belas mereka sedang ghaybah.
Ketiga, penyusunan sistem keagamaan yang baku.
Penyusunan sistem keagamaan yang baku dapat dilihat pada kelompok Syiah arus utama (Syiah Imamiyyah). Ahlus Sunnah memasukkan Syiah Imamiyyah sebagai kelompok Rafidhah (yang menolak) karena mereka menolak dan mengutuk kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Syiah Imamiyyah menyusun sistem keagamaan mereka melalui kitab-kitab hadits seperti misalnya Al Kafi dan Nahjul Balaghah (kumpulan ucapan Ali).
Karena sebagian besar sahabat Nabi dianggap telah berkhianat kepada Ali, maka mereka menolak periwayatan hadits dari para sahabat. Kitab-kitab hadits mereka diklaim berdasarkan riwayat Ahlul Bait Nabi.
Padahal kitab-kitab tersebut disusun pada abad ke-4 Hijriyah dan memiliki keterputusan sanad dengan Nabi. Karena itulah fikih mereka berbeda dengan fikih mazhab-mazhab dalam Ahlus Sunnah, seperti misalnya nikah mut’ah yang dihalalkan oleh Syiah Imamiyyah.
Penyusunan sistem keagamaan yang baku tersebut membedakan mereka dengan kelompok Ghulat (ekstrem) yang lebih kental unsur kebatinannya. Contoh Ghulat menurut Syiah Imamiyyah adalah Abdullah bin Saba dan Syiah Kaisaniyah.
Contoh Ghulat di zaman sekarang menurut Syiah Imamiyyah adalah Syiah Nushairiyah di Suriah yang menganggap Tuhan telah menitis (inkarnasi) ke Ali bin Abi Thalib.[4]
Penyusunan sistem keagamaan yang baku tersebut juga menjadi penarik dan mempengaruhi kelompok Syiah lainnya. Seperti misalnya Syiah Zaidiyah yang saat ini semakin dekat dan condong ke Syiah Imamiyyah.
Sehingga saat ini Syiah Imamiyyah merupakan cabang Syiah yang paling besar. Sekitar 85% Syiah di dunia merupakan pengikut Syiah Imamiyyah.[5] Karena itu ketika membahas Syiah secara umum maka yang dirujuk adalah kelompok Syiah Imamiyyah.
Wallahu a’lam
[1] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 6411 (no. 6922 versi Fathul Bari).
[2] Martin Ballard, End-Timers: Three Thousand Years of Waiting for Judgment Day (Praeger, 2011), hlm. 55.
[3] Ali Ahmad As-Salus, Ensiklopedi Sunnah dan Syiah, Jilid 1 (Pustaka Al Kautsar, 2001), hlm. 12.
[4] Martin Seth Kramer, Arab Awakening and Islamic Revival: The Politics of Ideas in the Middle East (Transaction Publishers, 2008), hlm. 191.
[5] Benjamin Elisha Sawe, “Shia Islam’s Holiest Sites”, https://www.worldatlas.com/articles/shia-islam-s-holiest-sites.html (diakses pada 26 Juli 2020, pukul 3.27).
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: