Zulkarnain El-Maddury
ولهذا يرى بعض السلف أنه لا تقية بعد أن أعز
الله الإسلام ، قال معاذ بن جبل، ومجاهد: كانت التقية في جدة الإسلام قبل قوة
المسلمين ، أما اليوم فقد أعز الله المسلمين أن يتقوا منهم تقاة .
Oleh karena itu, sebagian ulama salaf
berpendapat bahwa tidak ada taqiyah setelah Allah memuliakan Islam. Muaz bin
Jabal dan Mujahid mengatakan, “Dahulu taqiyah waktu Islam masih baru sebelum
kaum muslimin kuat. Adapun sekarang Allah telah memuliakan kaum muslimin, tak
perlu lagi taqiyah.”
ولكن تقية الشيعة هي مع المسلمين ، ولاسيما أهل السنة ، حتى إنهم يرون عصر القرون المفضلة عهد تقية كما قرره شيخهم المفيد ، وكما تلحظ ذلك في نصوصهم التي ينسبونها للأئمة ؛ لأنهم يرون أهل السنة أشد كفرًا من اليهود والنصارى ؛ لأن مُنكِر إمامة الاثني عشر أشد من منكر النبوة والتقية – يعني عند أهل السنة - رخصة في حالة الاضطرار، ولذلك استثناها الله - سبحانه - من مبدأ النهي عن موالاة الكفار
Akan tetapi taqiyah orang Syiah justeru
terhadap orang-orang Islam, terutama dengan ahlus Sunnah. Sampai mereka
berpendapat masa waktu yang utama adalah masa taqiyah sebagaimana yang telah
ditetapkan Syekh mereka Al-Mufid. Sebagaimana anda perhatikan pada teks-teks
mereka yang mereka sandarkan kepada para Imam. Karena mereka menganggap bahwa
ahlus Sunnah lebih keras kekufurannya dibandingkan Yahudi dan Nasrani. Karena
yang mengingkari imam dua belas itu lebih keras kekufurannya dibandingkan orang
yang memungkiri kenabian. Taqiyah –masudunya menurut ahlus Sunnah – adalah
keringanan (rukhsah) dalam kondisi terpaksa. Oleh karena itu Allah kecualikan
–dari asal larangan dari berwala’ kepada orang kafir.
فقال - سبحانه -: ( لاَّ يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ ) .
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).” (QS. Ali Imran: 28)
فنهى الله - سبحانه - عن موالاة الكفار، وتوعد على ذلك أبلغ الوعيد فقال: ( وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ ) أي ومن يرتكب نهي الله في هذا ، فقد برئ من الله ، ثم قال - سبحانه -: ( إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً ) أي: إلا من خاف في بعض البلدان والأوقات من شرهم فله أن يتقيهم بظاهره لا بباطنه ونيته.
Maka Allah Subhanahu melarang memberikan
loyalitas kepada orang kafir dan mengancam hal itu dengan ancaman keras, dalam
firman-Nya: “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah.” Maksudnya siapa yang melanggar larangan Allah ini, maka Allah berlepas
diri darinya kemudian Allah lanjutkan, “kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” Maksudnya kecuali kalau dia takut di
suatu negara atau di suatu waktu dari kejahatan mereka. Maka dia diperbolehkan
menampakkan secara zahir apa yang berbeda batin dan niatnya.
وأجمع أهل العلم على أن التقية رخصة في حال الضرورة ، قال ابن المنذر: "أجمعوا على أن من أكره على الكفر حتى خشي على نفسه القتل ، فكفر وقلبه مطمئن بالإيمان : أنه لا يحكم عليه بالكفر".
Para ahli ilmu sepakat bahwa taqiyah itu
keringanan dalam kondisi terpaksa. Ibnu Munzir mengatakan, “Mereka bersepakat
(ijmak) bahwa orang yang dipaksa dalam kekufuran hingga dia takut terbunuh,
lalu dia menyatakan kekufuran sementara hatinya tenang dengan keimanan, maka
dia tidak dihukumi kafir.
ولكن من اختار العزيمة في هذا المقام فهو أفضل ، قال ابن بطال: "وأجمعوا على أن من أكره على الكفر واختار القتل : أنه أعظم أجرًا عند الله ".
Akan tetapi orang yang
memilih azimah (tetap berpegang teguh) pada posisi ini, maka itu lebih utama.” Ibnu
Bathol mengatakan, “Mereka (ahli ilmu) bersepakat (ijma’) bahwa orang yang
dipaksa kekufuran lalu dia memilih dibunuh, maka pahalnya lebih agung di sisi
Allah.”
ولكن التقية التي عند الشيعة خلاف ذلك ، فهي عندهم ليست رخصة ، بل هي ركن من أركان دينهم ، كالصلاة أو أعظم " انتهى من "أصول مذهب الشيعة الإمامية" (2/ 806-807) .
Akan tetapi taqiyah menurut orang Syiah
berbeda dengan ini. Menurut mereka, taqiyah bukan sekedar keringanan (rukhsoh)
tapi termasuk rukun (pilar) agama mereka. Seperti shalat atau bahkan lebih
agung lagi.” (Usul Mazhab Syiah Imamiyah,
2/806-807).
والخلاصة :
أن هناك فرقا كبيرا بين التقية في دين الله وبين التقية في دين الرافضة , فهي في الإسلام رخصة عند الضرورة ، وعند الرافضة تسعة أعشار الدين ولا دين لمن لا تقية له عندهم .
أن هناك فرقا كبيرا بين التقية في دين الله وبين التقية في دين الرافضة , فهي في الإسلام رخصة عند الضرورة ، وعند الرافضة تسعة أعشار الدين ولا دين لمن لا تقية له عندهم .
Kesimpulan:
Bahwa disana ada
perbedaan besar antara taqiyah dalam agama Allah dan taqiyah dalam agama
Rofidhah. Dalam Islam taqiyah adalah keringanan dalam kondisi terpaksa.
Sementara menurut Syiah adalah sepersembilan puluh agama. Bahwa tidak ada agama
bagi orang yang tidak bertaqiyah menurut mereka.
قال ابن بابويه : " اعتقادنا في التقية أنها واجبة ، من تركها كان بمنزلة من ترك الصلاة " .
انتهى من "الاعتقادات" ( ص114)
Ibnu Babawah
mengatakan, “Keyakinan kami
dalam bertaqiyah adalah wajib. Siapa yang meninggalkannya seperti posisi orang
yang meninggalkan shalat.” (Al-I’tiqad,
hal. 114).
.
وقال الصادق : " لو قلت إن تارك التقية كتارك الصلاة لكنت صادقًا " .
"جامع الأخبار" (ص110) ، "بحار الأنوار" (75/412،414) .
وقال الصادق : " لو قلت إن تارك التقية كتارك الصلاة لكنت صادقًا " .
"جامع الأخبار" (ص110) ، "بحار الأنوار" (75/412،414) .
As-Shadiq mengatakan, “Jika saya katakan, orang yang meninggalkan taqiyah seperti orang
yang meningggalkan shalat, maka dia itu jujur (benar).” (Jamiul Akhbar, hal. 110, Bikharul Anwar, 75/ 414, 412).
فشتان ما بين الأمرين !!
والله أعلم .
Sungguh sangat jauh
sekali beda di antara keduanya.
Wallahu’alam .
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: