Syiahindonesia.com - Hampir enam tahun sudah konflik berkobar di Suriah. Hari ini Suriah telah bersinonim menjadi deretan angka-angka kematian, kelaparan, serta kehilangan tempat tinggal. Hari ini tidak ada yang tergambar dalam benak kita selain potret-potret kekerasan serta berbagai macam bentuk pelanggaran hak asasi manusia ketika mendengar kata Suriah.
Angka hampir akurat yang berhasil dihimpun oleh Syrian Centre for Policy Research (SCPR) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa angka kematian akibat kekerasan di Suriah mencapai 470.000 jiwa atau sekitar 1,9 persen dari total populasi.
Selain itu, sekitar enam juta orang telah terlantar dan lebih dari empat juta orang telah melarikan diri dari negara itu sejak awal konflik. Lebih dari 11,6 juta orang tertimpa krisis air bersih, dan hampir 10 juta orang tidak memiliki bahan makanan yang cukup sehingga mereka terancam kelaparan. Dan yang paling mengiris hati tentunya ketika pengeboman melalui serangan udara telah menghancurkan seperempat sekolah-sekolah, yang memaksa sekitar 1,6 juta anak meninggalkan bangku sekolahnya.
Angka-angka tersebut sangat mungkin meningkat dua atau tiga kali lipat jumlahnya pada hari ini mengingat semakin ganasnya konflik yang berkobar di Suriah akhir-akhir ini.
Tak seperti konflik Palestina, yang berkepanjangan namun masih tetap sederhana untuk dimengerti (siapapun tahu dan paham yang terjadi di sana adalah upaya aneksasi Israel terhadap tanah Palestina), Suriah hari ini tak lagi bisa disederhanakan sebagai konflik vertikal yang menampilkan pemerintahan syiah yang sedang menindas masyarakat sunni.
Bashar Assad yang semakin tiran, ISIS yang semakin keras kepala (padahal sudah jelas mereka tidak merepresentasikan perlawanan rakyat Suriah), campur tangan tiga pemegang hak veto Rusia, China dan AS yang “kebetulan” kepentingannya sedang berlawanan, serta masuknya pihak-pihak yang belum jelas kepentingannya kecuali tentang berebut pengaruh dan menjaga hegemoninya di kawasan timur tengah semisal Saudi dan Iran telah membuat konflik di Suriah menjadi semakin kacau bahkan kusut dan tak bisa dimengerti lagi
Salah satu pihak yang bisa dianggap paling bertanggung jawab atas segala kekacauan dan kerumitan tersebut adalah PBB. Memang lembaga tersebut telah mengeluarkan tiga resolusi terkait Suriah. Pertama pada bulan Februari 2014, PBB mengeluarkan resolusi dewan keamanan no. 2139 yang menyerukan peningkatan akses bantuan kemanusiaan di Suriah, penghentian penahanan yang semena-mena, penculikan, dan penyiksaan. Lalu pada bulan Juli dan Desember 2014, DK PBB mengeluarkan dua resolusi lagi, yaitu resolusi 2165 dan 2191, yang memberikan otorisasi pada bantuan kemanusiaan ke Suriah dari negara tetangga tanpa harus meminta persetujuan pemerintah Suriah.
Namun terbukti setelah hampir enam tahun, resolusi tersebut nyaris tak memberi dampak yang signifikan bagi rakyat Suriah. Padahal kita tahu jika Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan resolusi yang mengikat seluruh anggota PBB. Mereka menjadi polisi dunia yang tugasnya tentu menjaga perdamaian dunia. Dan tentunya mereka mempunyai hak untuk menolak dan memblokir segala bentuk kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan mereka.
Dengan segala keistimewaannya tersebut, mereka justru mengeluarkan resolusi yang tak menyentuh subtansi konflik, yang sama sekali tak mengandung unsur pressure (tekanan) sedikitpun terhadap seorang Bashar Assad sebagai pihak yang pertama kali melakukan pembantaian.
DK PBB telah menyalahartikan salah satu poin tujuan didirikannya PBB itu sendiri, yaitu mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan prinsip kesamaan hak dan self-determination bagi rakyatnya. Self-determination atau “hak untuk menentukan nasibnya sendiri” yang seharusnya menjadi hak rakyat hari ini seolah sedang diabaikan PBB, lima puluh dua dari 165 anggota PBB adalah pemerintah otoriter, Suriah salah satunya. Itu artinya sepertiga anggota PBB adalah rezim otoriter, dan PBB selama ini tidak mempunyai usaha yang signifikan untuk meminta kepada anggotanya agar menjalankan self-determination bagi rakyatnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa persahabatan antar anggota PBB yang terjalin selama ini telah memberikan penghargaan serta apresiasi terhadap sesuatu yang salah, yaitu “hak menentukan nasib sendiri” bagi lima puluh dua rezim otoriter, bukan untuk rakyat negara-negara tersebut, dan dalam kasus Suriah hanya untuk Bashar Assad seorang, bukan untuk 20 juta rakyat Suriah.
Melihat kenyataan tersebut, Anda bisa menebak sendiri keputusan seperti apa yang akan dihasilkan dari sebuah sidang PBB. Seberapa besarkah fokus serta perhatian keputusan tersebut terhadap HAM serta kebebasan, ketika sepertiga anggota sidang adalah rezim otoriter yang tidak mengahargai HAM serta nilai-nilai kebebasan.
Terlebih jika kepentingan rezim otoriter tersebut sejalan dengan kepentingan para pemegang hak veto (dalam kasus Suriah adalah Rusia dan China). Selesai sudah, resolusi semanis apapun yang dihasilkan bisa dipastikan hanya akan berhenti di atas kertas.
Dan berhentinya sebuah resolusi di atas kertas bisa berarti sebuah angin segar bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari konflik Suriah, namun juga berarti kesuraman yang tak berujung bagi seorang pemuda Suriah yang kehilangan pekerjaannya. Bagi seorang ibu yang kehilangan rumahnya karena dibom, dan juga bagi anak-anak yang terpaksa berebut semak belukar demi mengganjal perutnya di tengah musim dingin yang hebat. (kiblat)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Angka hampir akurat yang berhasil dihimpun oleh Syrian Centre for Policy Research (SCPR) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa angka kematian akibat kekerasan di Suriah mencapai 470.000 jiwa atau sekitar 1,9 persen dari total populasi.
Selain itu, sekitar enam juta orang telah terlantar dan lebih dari empat juta orang telah melarikan diri dari negara itu sejak awal konflik. Lebih dari 11,6 juta orang tertimpa krisis air bersih, dan hampir 10 juta orang tidak memiliki bahan makanan yang cukup sehingga mereka terancam kelaparan. Dan yang paling mengiris hati tentunya ketika pengeboman melalui serangan udara telah menghancurkan seperempat sekolah-sekolah, yang memaksa sekitar 1,6 juta anak meninggalkan bangku sekolahnya.
Angka-angka tersebut sangat mungkin meningkat dua atau tiga kali lipat jumlahnya pada hari ini mengingat semakin ganasnya konflik yang berkobar di Suriah akhir-akhir ini.
Tak seperti konflik Palestina, yang berkepanjangan namun masih tetap sederhana untuk dimengerti (siapapun tahu dan paham yang terjadi di sana adalah upaya aneksasi Israel terhadap tanah Palestina), Suriah hari ini tak lagi bisa disederhanakan sebagai konflik vertikal yang menampilkan pemerintahan syiah yang sedang menindas masyarakat sunni.
Bashar Assad yang semakin tiran, ISIS yang semakin keras kepala (padahal sudah jelas mereka tidak merepresentasikan perlawanan rakyat Suriah), campur tangan tiga pemegang hak veto Rusia, China dan AS yang “kebetulan” kepentingannya sedang berlawanan, serta masuknya pihak-pihak yang belum jelas kepentingannya kecuali tentang berebut pengaruh dan menjaga hegemoninya di kawasan timur tengah semisal Saudi dan Iran telah membuat konflik di Suriah menjadi semakin kacau bahkan kusut dan tak bisa dimengerti lagi
Salah satu pihak yang bisa dianggap paling bertanggung jawab atas segala kekacauan dan kerumitan tersebut adalah PBB. Memang lembaga tersebut telah mengeluarkan tiga resolusi terkait Suriah. Pertama pada bulan Februari 2014, PBB mengeluarkan resolusi dewan keamanan no. 2139 yang menyerukan peningkatan akses bantuan kemanusiaan di Suriah, penghentian penahanan yang semena-mena, penculikan, dan penyiksaan. Lalu pada bulan Juli dan Desember 2014, DK PBB mengeluarkan dua resolusi lagi, yaitu resolusi 2165 dan 2191, yang memberikan otorisasi pada bantuan kemanusiaan ke Suriah dari negara tetangga tanpa harus meminta persetujuan pemerintah Suriah.
Namun terbukti setelah hampir enam tahun, resolusi tersebut nyaris tak memberi dampak yang signifikan bagi rakyat Suriah. Padahal kita tahu jika Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan resolusi yang mengikat seluruh anggota PBB. Mereka menjadi polisi dunia yang tugasnya tentu menjaga perdamaian dunia. Dan tentunya mereka mempunyai hak untuk menolak dan memblokir segala bentuk kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan mereka.
Dengan segala keistimewaannya tersebut, mereka justru mengeluarkan resolusi yang tak menyentuh subtansi konflik, yang sama sekali tak mengandung unsur pressure (tekanan) sedikitpun terhadap seorang Bashar Assad sebagai pihak yang pertama kali melakukan pembantaian.
DK PBB telah menyalahartikan salah satu poin tujuan didirikannya PBB itu sendiri, yaitu mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan prinsip kesamaan hak dan self-determination bagi rakyatnya. Self-determination atau “hak untuk menentukan nasibnya sendiri” yang seharusnya menjadi hak rakyat hari ini seolah sedang diabaikan PBB, lima puluh dua dari 165 anggota PBB adalah pemerintah otoriter, Suriah salah satunya. Itu artinya sepertiga anggota PBB adalah rezim otoriter, dan PBB selama ini tidak mempunyai usaha yang signifikan untuk meminta kepada anggotanya agar menjalankan self-determination bagi rakyatnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa persahabatan antar anggota PBB yang terjalin selama ini telah memberikan penghargaan serta apresiasi terhadap sesuatu yang salah, yaitu “hak menentukan nasib sendiri” bagi lima puluh dua rezim otoriter, bukan untuk rakyat negara-negara tersebut, dan dalam kasus Suriah hanya untuk Bashar Assad seorang, bukan untuk 20 juta rakyat Suriah.
Melihat kenyataan tersebut, Anda bisa menebak sendiri keputusan seperti apa yang akan dihasilkan dari sebuah sidang PBB. Seberapa besarkah fokus serta perhatian keputusan tersebut terhadap HAM serta kebebasan, ketika sepertiga anggota sidang adalah rezim otoriter yang tidak mengahargai HAM serta nilai-nilai kebebasan.
Terlebih jika kepentingan rezim otoriter tersebut sejalan dengan kepentingan para pemegang hak veto (dalam kasus Suriah adalah Rusia dan China). Selesai sudah, resolusi semanis apapun yang dihasilkan bisa dipastikan hanya akan berhenti di atas kertas.
Dan berhentinya sebuah resolusi di atas kertas bisa berarti sebuah angin segar bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari konflik Suriah, namun juga berarti kesuraman yang tak berujung bagi seorang pemuda Suriah yang kehilangan pekerjaannya. Bagi seorang ibu yang kehilangan rumahnya karena dibom, dan juga bagi anak-anak yang terpaksa berebut semak belukar demi mengganjal perutnya di tengah musim dingin yang hebat. (kiblat)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: