Breaking News
Loading...

Dinasti Fatimiyah: Sejarah Asal-Usul Kerajaan Syiah di Mesir
Syiahindonesi.com - Dinasti Fatimiyah bisa disebut satu-satunya kekhalifahan Syiah yang pernah ada dibumi. Dinasti Fatimiyah dirikan tahun 909 Masehi oleh Sa’id bin Husain di Ifriqiya yang kini bernama Tunisia dengan ibukotanya berlokasi di Mahdia.

Perjalanan panjang Fatimiyah menarik ditelusuri mengingat sang pendiri Fatimiyah, Ubaidillah Al-Mahdi, mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW lewat jalur Siti Fatimiyah (putri Nabi). Dari nama Fatimiyah inilah asal mula nama kekhalifahan Fatimiyah(Al-Fatimiyyun). Fatimiyah itulah namanya dan dinisbatkan demikian, karena para pendirinya yang mengaku keturunan atau satu garis nasab dengan putri nabi Muhammad SAW. Kadang pula dinasti tersebut sering disebut Dinasti Ubudillah sesuai  pada nama pendiri dinasti.

Keberadaan Fatimiyah menimbulkan kontroversi  di kalangan umat Islam. Ada yang menyebut  Dinasti Fatimiyah memiliki sumbangsih mengenalkan umat Islam pada ilmu pengetahuan, karena merekalah yang membangun Universitas Al-Azhar. Di sisi lain ada juga yang menyebutnya sebagai kerajaan yang ekstrem, intoleran dan menindas muslim Sunni. Sisi lain yang menarik, ia adalah kerajaan Syiah yang didirikan oleh Sa’id bin Husain penuh penindasan hingga penyimpangan dari ajaran Islam.

Akidah Syiah Ismailiyah

Dinasti Fatimiyah memiliki ideologi yang dijadikan landasan gerakan politiknya yaitu Syiah Ismailiyah. Syiah Ismailiyah adalah sekte syiah yang meyakini Ismail bin Ja’far adalah imam ketujuh setelah Ja’far ash-Shadiq. Keyakinan Ismailiyah berbeda dengan sekte Syiah lainnya meyakini para imam terjaga dari perbuatan dosa dan dianggap sempurna.

Para imam disebut memiliki kemampuan rububiyah atau dengan kata lain mereka para imam tersebut merupakan perwujudan Tuhan di permukaan bumi. Pandangan Ismailiyah bertentangan dengan ajaran Islam dan lebih mengejutkan lagi mereka mengultuskan para imam sebagaimana Nasrani mengultuskan Nabi Isa As.

Sejarah awal mula berdirinya Dinasti Fatimiyah

Dinasti Fatimiyyah bermula dari sebuah gerakan Syiah bernama Ismailiyah yang berbasis di Yaman. Dinasti Fatimiyyah didirikan sebagai tandingan Dinasti Abbasiyah. Awal berdiri memang Dinasti Fatimiyah tersebut tidak menunjukan gerakan secara jelas seperti gerakan lainnya yang terang-terangan menunjukan identitasnya ke publik. Mereka muncul dengan bentuk gerakan berdasar pada ideologi yang dimiliki Syiah Ismailiyah. Gerakan  ini kemudian dikembangkan lewat cara dakwah secara sembunyi-sembunyi dan akhirnya muncul tahun 909 M kemudian mulai berpengaruh di dunia Islam.

Gerakan yang berpusat di Yaman tersebut pelan tapi  pasti mulai melakukan aksinya terang-terangan dan  muncullah seorang tokoh berkharisma bernama Abdullah bin Maymun. Ia membentuk gerakan Syiah Ismailliyah sebagai gerakan politik keagamaan.

Gerakan ini muncul ke permukaan sebagai bentuk kekecewaan golongan Ismailiyah terhadap Abbasiyah atas kerjasamanya merebut kekuasaan dari Bani Ummayah. Setelah berhasil dan Bani Abbasiyah berkuasa keberadaan golongan Ismailiyah mulai dilupakan dan disingkirkan. Abdullah bin Maymun terus melakukan propoganda Syiah Ismailiyah ke seluruh penjuru negara muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi awal berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika.

Kiprah Abdullah bin Maymun dalam gerakan tersebut tidak berlangsung lama, karena tidak lama kemudian Abdullah bin Maymun meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, Abdullah bin Maymun sempat menunjuk Abu Abdullah al-Husain untuk memimpin gerakan Syiah Ismailiyah. Dari sinilah gerakan ini mulai menunjukan kekuatannya dengan menyebarkan propoganda  ke Afrika Utara salah satunya suku Khitamah. Penguasa Afrika Utara Muhammad bin Ibrahim hingga Ziyadatullah tidak bisa berhasil menekan gerakan ini.

Pada perkembangan selanjutnya pemimpin gerakan Syiah Ismailiyah diganti Said bin Husain setelah Abu Abdullah menulis surat kepada imam Said bin Husain. Sejak itu, Ia memproklamirkan diri sebagai putra Muhammad Al-Habib, cucu Imam Ismail. Ia juga mengusir Dinasti Aghlabi pimpinan Ziyadatullah di Tunisia 909 Masehi. Dari peristiwa ini pula menjadi awal terbentuknya Dinasti Fatimiyyah dengan khalifah pertama Said bin Husain bergelar Ubaidailah Al-Mahdi atau  Al-Mahdi Amir Al-Mu’minin.

Ubaidailah Al-Mahdi Penakluk Mesir

Sosok Said bin Husain atau terkenal dengan gelar Ubaidillah Al-Mahdi atau Al-Mahdi Amir Al-Mu’minin tidak lepas dari kontribusi berdirinya Dinasti Fatimiyah. Dari tangan Ubaidillah inilah menjadi awal berkembangnya Dinasti  Fatimiyah di Mesir. Setelah  Said bin Husein atau Ubaidullah Al-Mahdi Billah menjadi khalifah bergelar Al-Mahdi Amir Al-Mu’minin.Said bin Husein atau Ubaidullah Al-Mahdi Billah juga mengklaim dirinya sebagai imam dalan sekte Syiah Ismailliyah yang memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW dari jalur Fatimiyah bin Rosulullah SAW yang diambil dari nama Fatimiyah.

Pernyataan Said bin Husein atau Ubaidullah Al-Mahdi Billah mengejutkan semua pihak terutama para ulama. Klaim Ubaidullah tersebut ditentang oleh para ulama  yang menyebut Daulah itu lebih pantasnya dinamakan Daulah Ubudillah, bukan Daulah Fatimiyah. Ubaidillah tidak memperdulikan perkataan para ulama yang seolah mengejek tentang dinasti baru bernama Fatimiyah tersebut. Hal ini justru  menjadi semangat baru baginya untuk mengembangkan lebih lanjut dinasti Fatimiyyah yang baru didirikannya. Segala cara dilakukan Ubaidillah mempertahankan kerajaan barunya salah satunya mengakomodir orang-orang Barbar di Afrika Utara sebagai kekuatan militer.

Ubaidillah memang cerdik dengan kecerdasan yang dimiliki, Ia mampu mempengaruhi orang-orang Barbar yang sudah kecewa pada Dinasti Aghlabiyah di Afrika Utara. Orang-orang Barbar terdiri dari berbagai suku tersebut berhasil diajak bergabung menaklukan Daulah Aghlablyah. Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah didirikan oleh Ubudillah Al-Mahdi dimulai dengan memanfaatkan kota Raqqadah bekas istana Aghlabiyah.

Perlahan tapi pasti daerah kekuasaan Ubaidillah makin meluas. Mulai dari Tunisia hingga Malta dapat dikuasainya tahun 914 Masehi. Pada tahun 920 Masehi Ia mendirikan kota baru di pantai Tunisia yang diberi nama Al-Mahdi. Keberhasilan Daulah Fatimiyyah tersebut menjadi dilema tersendiri terutama Dinasti Abbasiyah di Bagdad.

Daulah Fatimiyah Menguasai Mesir

Pada tahun 969 Masehi dengan kekuatan militer yang dimiliki Daulah Fatimiyyah dipimpin oleh Ubaidillah bin Mahdi menaklukan Mesir saat itu dipimpin oleh Dinasti Iksidiyah. Dinasti Iksidiyah menguasai Mekkah, Madinah dan Jerusalem.

Dinasti Fatimiyyah berhasil menaklukan Dinasti Iksidiyah sehingga secara otomatis ketiga kota suci tersebut jatuh ke wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Setelah itu, mereka menaklukan Kairo dan menjadikannya sebagai ibukota kekhalifahan Fatimiyah. Kekuatan Dinasti Fatimiyah memang luar biasa hingga mereka menguasai sebagian besar dunia Islam. Kekuatan adidaya Dinasti ini terbentang dari Maroko sampai Italia bagian selatan di masa khalifah Al-Aziz di tahun 900-an.

Pada masa itu Al-Aziz menempatkan Dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam di kawasan Mediterania Timur. Pencapaian tersebut tidak mengherankan. Dinasti Fatimiyah memiliki kekuatan militer yang sangat besar kurang lebih 100.000 tentara.Khalifah Al-Aziz juga membangun istana yang mewah senilai 2 juta dinar demi menyaingi istana Abbasiyah di Bagdad. Istana dijadikan pusat kegiatan keilmuan, diskusi para ulama ,fuqaha, dan qurra.

Selain itu, dibangun pula lembaga pusat kajian ilmu pengetahuan yang diberi nama Darul Hikmah. Darul Hikmah sebagai pusat studi tingkat tinggi, di dalamnya banyak dilakukan penelitian, diskusi, penulisan, penerjemahan serta pendidikan. Di masa itu Al-Hakim khalifah pengganti Al-Aziz mendirikan lembaga Bait Al-Hikmah terinspirasi lembaga yang sama didirikan oleh Al-Makmun di Bagdad

Tidak hanya membangun lembaga pusat ilmu pengetahuan, tetapi infrastruktur pun mendapat perhatian. Terlihat jalan-jalan di kota Mesir dihiasi lampu hias yang indah bagai kota modern kemudian perdagangan, pertanian dan industri berkembang pesat. Pada masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat perdagangan luas di laut Tengah dan Samudra Hindia.Saat itulah menurut para orientalis Dinasti Fatimiyah mencapai masa keemasan.

Kejatuhan Dinasti Fatimiyyah

Zaman kejayaan Dinasti Fatimiyah mulai meredup setelah khalifah Al-Aziz meninggal dunia tahun 996 Masehi. Abu Ali Mansur Al-Hakim bi-Amr atau dikenal dengan nama Al-Hakim khalifah keenam Dinasti Fatimiyah  996-1021 M adalah putra khalifah al-Aziz. Ia dianggap sebagai salah satu raja terbesar, karena dimasa supremasi sekte Ismailiyah mendominasi di antara sekte-sekte lainnya.

Ia juga  dianggap terlalu memadai kecakapannya dalam memerintah. Di sisi lain di bidang urusan kenegaraan diserahkan pada orang kepercayaannya bernama Hassan bin Ammar Khatami. Sejak itu pemeluk kepercayaan Ismailiyah mulai berdatangan ke Mesir menyebabkan perimbangan demografis antara pendukung inti Fatimiyah dengan kelompok Berber Arab, Sudan dan Turki. Atau dengan kata lain rezim Fatimiyah bukan lagi minoritas.

Sikap Hasan bin Ammar kurang bijak menyikapi fenomena yang terjadi sehingga bibit perpecahan dan perang sipil tidak bisa dihindari. Al-Hakim yang dari awal tidak memiliki manejemen konflik sebaik pendahulu membuat keadaan makin tidak kondusif. Al-Hakim justru menyikapinya dengan tangan besi dampaknya sosial masyarakat sudah dibangun sebelumnya hancur berantakan.

Sikap Al-Hakim yang demikian membuat Kairo kehilangan jati diri sebagai kota toleran, bahkan kaum Muslimin dari kelompok non Ismaili mengalami diskriminasi. Hal ini tidak hanya terjadi di Kairo, intoleransi menyebar ke seluruh penjuru wilayah Dinasti Fatimiyah. Khalifah pengganti Al-Aziz ini dianggap tidak bisa mempertahankan apa yang telah dicapai khalifah sebelumnya. Keadaan semakin tidak kondusif setelah beberapa wilayah kekuasaan seperti Ziriyah mendeklarasikan kemerdekaan dari Fatimiyah dan berpindah ke Islam Sunni.

Pemerintahan Al-Faiz menjadi masa berakhirnya era Fatimiyah, karena semua pihak memiliki kekuatan merasa berhak atas kekuasaan Mesir, dan setiap saat mengincar kekuasaan kursi wazir. Kekacauan ini terjadi bisa jadi saat Al-Faiz diangkat sebagai khalifah usianya masih 11 tahun kemudian selama menjadi khalifah sejak 5 tahun nyaris tidak pernah memerintah. Posisinya diganti oleh sepupunya bernama Al-Adid.

Pada masa khalifah Al-Adid situasi Mesir tidak menentu. Peta perebutan posisi wazir makin berkembang luas. Kekuatan di Mesir terpecah belah mulai kekuatan militer sampai kekuatan di wilayah terkecil. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh seorang gubernur dari wilayah utara Mesir  bernama Shawar ibn Mujir  al-Sa’id masuk Kairo dengan membawa bala tentaranya. Shawar berhasil mengambil situasi serta menduduki wazir Dinasti Fatimiyah.

Shawar hanya bertahan selama 9 bulan pada posisinya, karena Ia dikhianati salah satu jendralnya bernama Dirgham. Shawar hampir saja terbunuh dalam suatu perjamuan yang digelar Dirgham, namun Shawar lolos dari pembantaian dan melarikan ke Suriah yang waktu itu dipimpin oleh penguasa Seljuk Nuruddin Zangi. Dari tangan penguasa Seljuk beserta bala tentaranya, Mesir dapat sepenuhnya dikuasai.

Setelah mengajak serta  jendral Asaduddin Syirkuh atau tidak lain Salahuddin al-Ayyubi dalam merebut kembali kedudukannya dari tangan Dirgham. Asaduddin Syirkh berhasil kembali menguasai Mesir kemudian Shawar juga kembali sebagai wazir di Mesir. Tidak hanya mengambil alih sepenuhnya, tetapi justru pasca  berhasil menguasainya Ia menyuruh Shawar angkat kaki dari Mesir. Ia merasa tidak tenang selama Syirkh dan bala tentaranya masih berada di wilayah tersebut.

Mendengar permintaan ini, Syirkh bersikeras tetap tinggal di Mesir dan meminta bagian wilayah kekuasaannya. Perdebatan sengit antara keduanya  terjadi dan akhirnya Shawar pergi ke Eropa. Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Asaduddin Syirkuh untuk meminta bantuan pasukan salib merebut Mesir dari Syikuh.Terjadi perebutan kekuasaan Mesir ketika itu berbagai jenis kekuatan dunia. Al-Adid khalifah terakhir Fatimiyah tidak memiliki kekuatan memutuskan sesuatu. Perebutan supremasi terus berlangsung dan Syirkuh lagi-lagi kembali menguasai keadaan. Al-Adid meminta izin Nuruddin agar Syirkuh diangkat sebagai wazir, namun tidak lama Syirkuh meninggal dunia.

Nuruddin menunjuk penggantinya ternyata sosok baru ini tidak disukai oleh keluarga Fatimiyah. Khalifah kemudian menunjuk Salahuddin Al-Ayubi sebagai wazir dan akhir Maret 1169 M dilantik sebagai wazir oleh khalifah Fatimiyah terakhir Al-Adid. Hati-hati Ia mulai satu-persatu melepas ikatan dari keluarga Fatimiyah. Ia mulai memboyong keluarga besarnya yang memiliki jabatan di Damaskus ke Mesir. Ia selanjutnya mengganti posisi strategis dengan orang-orang terdekatnya. Cara ini secara tidak langsung sudah menancapkan kekuatan di Mesir.

Berhasil membangun kekuatan di Mesir Ia mulai mendirikan 5000 pasukan terdiri dari orang-orang Kurdi yang memiliki ikatan kebangsaan dengan Salahuddin Al-Ayubi sendiri. Pada tahun 1171 M Al-Adid meninggal dunia kesempatan itu oleh Salahuddin mengambil alih  istana  Fatimiyah dan menguasai Mesir yang menunjukan Dinasti Fatimiyah telah berakhir. harakah.id

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: