Breaking News
Loading...

Al-Mahdy: 'Masjid syiah’ di tengah komunitas Sunni

 
Menyusuri jalan Hankam Raya ke Jatisampurna dari lingkar Pondok Gede, dua kilometer setelah underpass tol lingkar luar TMII Cikunir, anda sampai di pertigaan Hankam Raya-Tarumanegara. Tampak di kiri jalan, bangunan masjid yang megah dan artistik. Masjid bergaya minimalis dengan dominasi warna Krem, Putih, dan Biru itulah yang selama ini dikenal masyarakat Bekasi dan sekitarnya dengan nama Al-Mahdy.

masjid Almahdi tampak dari belakang/dari jln hankam bekasi, parkitan yang cukup luas.
masjid almahdi  tampak dari depan, akan terlihat jika anda masuk jalan sebelah masjid


Ada 2 pintu masuk utama ke pelatarannya. Satu di bagian barat dari arah Hankam Raya, satu lagi di bagian utara dari arah Tarumanegara. Tampak depan, arsitektur masjid ini tak ubahnya bangunan masjid di negara-negara Timur Tengah, maksudnya Iran yang nota bene adalah pusat syiah dunia dengan menara menjulang tinggi di sudut kanan depan dan kubah besar warna biru di bagian tengah atap. Sementara di setiap sudut bangunan, terdapat kubah-kubah kecil sewarna kubah utama. Pendeknya, tempat ibadah berukuran 19X21 meter persegi di atas tanah seluas 3,5 hektar ini akan memukau siapa saja yang melihatnya.


Namun apakah keindahan fisik bangunannya juga didukung keindahan batin berupa aktivitas dan kegiatan positif para pemakmurnya?

Taman Pendidikan Al-Quran (TPA)
Beberapa tahun lalu, seorang wartawan berkesempatan melihat-lihat aktivitas masjid Al-Mahdy dari dekat. Menjelang sore, tepatnya pukul 14:45 WIB, tampak sejumlah anak kecil umur tiga tahunan berbusana khas (anak perempuan berkerudung, anak laki-laki berpeci) memasuki pelataran masjid dengan diantar ayah-ibu mereka.


Dari informasi yang didapat, ternyata sore itu adalah jadual anak-anak belajar Al-Quran di lantai satu masjid Al-Mahdy. Terdiri dari tiga lantai, selain Taman Pendidikan Al-Quran, lantai satu itu pun dipakai sebagai aula dan ruang serbaguna, sedangkan lantai dua dan tiga dimanfaatkan sebagai tempat Shalat.


Saat wartawan masuk, tampak anak-anak itu sedang dibimbing Ustad Ali Achmad. Sementara ibu-ibu yang mengantarkan mereka, berkumpul tak jauh dari sana, di sudut ruang dekat salah satu tiang penyangga masjid.


Dalam perbincangan dengan kami, Ustad Ali menyampaikan bahwa TPA diadakan tiga kali dalam sehari. Pagi dimulai dari pukul delapan hingga pukul sepuluh, sore mulai pukul tiga sampai pukul lima dan malam dari selepas Maghrib hingga Isya.


Terdapat 29 anak yang pada waktu itu sedang belajar di TPA Al-Mahdy, mulai dari yang berumur 3 hingga 12 tahun. Menurut Ustad Ali, mereka semua tidak dipungut biaya sepeser pun. Mengapa tidak dipungut biaya, padahal di tempat lain biasanya harus membayar, tidak gratis seperti di Al-Mahdy?
“Tujuan didirikannya masjid (Syiah) ini adalah semata-mata untuk melayani warga sekitar. Maka dari itu sama sekali tak ada pungutan biaya apapun terkait semua aktivitas pelayanan kami,” jawab Ustad Ali sekaligus menambahkan bahwa umat Islam dari golongan mana pun boleh menggunakan masjid Al-Mahdy untuk kegiatan ibadah atau kegiatan lain selama tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah, juga tanpa harus membayar ongkos sewa gedung dan semacamnya. Karena secara operasional masjid ini mendapat support dari yayasan yang nota bene untuk mendakwahkan ajaran syiah. Jika dipungut bayaran, sudah bisa dipastikan warga sekitar yang hendak belajar pasti menolak. Sebetulnya model belajar gratis ini justru menjadi tanda Tanya, mengapa bisa gratis. 


Pernyataan Ustad Ali dibenarkan ibu-ibu yang saat itu mengantar anak-anak mereka mengaji. Kepada wartawan mereka mengaku tak pernah ditarik biaya apapun sejak memasukkan putra-putrinya belajar di TPA Al-Mahdy. Hal itu pula yang menyebabkan Eva Silvia yang rumahnya berjarak lebih dari sepuluh kilometer dari masjid, dengan bersemangat memasukkan kedua anaknya belajar di TPA Al-Mahdy. 

Sementara Andriani beralasan, bahwa karena cara belajar yang menurutnya sangat bagus itulah, yang membuat anaknya berkemauan kuat untuk mengaji di Al-Mahdy. “Apalagi semua Ustad di sini kalau untuk urusan ngajari anak-anak ngaji, beliau-beliau itu tidak mau dibayar,” tambahnya.
 “Kalau di TPA lain bayar pak, tuh di masjid deket rumah saya bayar,” timpal Sulistiani yang duduk di sebelah Wartini. Menurutnya pendaftaran TPA di dekat rumahnya, perlu biaya 400 ribu untuk pendaftaran dan biaya bulanannya 30 ribu. “Kalau untuk orang yang kurang mampu, ya berat kalau harus bayar,” pungkasnya.


Para ibu pun bersyukur dan mengatakan bahwa selama ini masjid Al-Mahdy telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar masjid.
Lalu seperti apa sebenarnya pengajaran para ustad di Al-Mahdy kepada anak-anak mereka? “Selama ini kita lihat pelajaran para ustad di sini wajar-wajar saja kok. Kayaknya malah jarang ya yang seperti disini bener-bener menerapkan Islamnya,” jawab Eva Silvia. Ini adalah bagian dari investasi dukungan. Jika para ibu mau menyekolahkan anaknya di masjid ini, setidaknya dalam jangka panjang, akan ada anak-anak yang telah belajar bisa memberi dukungan dan pembelaan, bahwa memang di masjid Al Mahdi ini tidak seperti yang dituduhkan orang-orang bahwa masjid ini adalah masjid Syiah. 


Shalat Jumat
 Keesokan harinya, Jumat,  wartawan kembali mendatangi Al-Mahdy. Sekitar pukul 10:30, kami bersiap mengikuti Shalat Jumat di sana. Bertindak selaku imam dan khatib saat itu adalah Ustad Muhammad Fathurrohman, salah seorang Ketua Majelis Tanzim NU wilayah Setu, Lubang Buaya. Memang dari segi penceramah, menurut pengamatan dan analisa penulis, tidak semua dari kalangan para Ustad Syiah. Pihak DKM juga menjadwal beberapa ustad dari kalangan NU. Ini merupakan bagian dari strategi agar tidak terlihat jelas bahwa masjid ini adalah masjid khusus syiah. 


Diwawancarai wartawan selepas Shalat Jumat, di kantor masjid Al-Mahdy Ustad Muhammad memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ini bisa jadi adalah setingan, agar menimbulkan kesan bahwa masjid ini adalah masjid umum. Jadi penganut semua mazhab dalam Islam, baik syiah ataupun sunni boleh saja shalat, beraktivitas dakwah dan beribadah di masjid Al-Mahdy. 


“Masjid Al-Mahdy tidak mengkotak-kotakkan ya, mau itu dari Muhammadiyah, NU atau yang lain. Karena memang ketika kita berbicara tentang Islam ya itulah Islam,” ujarnya.
Ustad Muhammad menambahkan bahwa siapa saja bisa menggunakan masjid Al-Mahdy dengan catatan bukan untuk saling sikut-sikutan, bukan untuk saling menggalang benturan dan yang pasti tujuan utamanya harus untuk membela Islam dan untuk mendapatkan keridhaan Allah.


Heri, salah satu dari tiga marbot penjaga masjid Al-Mahdy yang juga hadir di ruangan itu, mengaku sebagai NU tulen karena dirinya berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Menurutnya mengikuti Nahdlatul Ulama merupakan kebiasaan utama kebanyakan warga Jawa Timur seperti dirinya.
“Di sini nggak pandang bulu, siapa saja silakan beribadah di tempat ini. Artinya tidak perlu ditanya-tanya kamu Islam apa, mau berjenggot atau tidak, ya ndak masalah,” ungkap Heri yang telah menjadi marbot sejak masjid Al-Mahdy dibangun pada tahun 2009.


Hampir 24 jam berada di masjid itu, Heri menyatakan bahwa fikih yang sehari-hari digunakan di masjid Al-Mahdy adalah fikih NU. Meski begitu, tetap saja tidak ada pemaksaan untuk mengikuti satu aliran tertentu di masjid itu.


Tak cuma warga dan jamaah masjid, Yusuf yang merupakan salah satu pengurus masjid Al-Mahdy pun turut berbincang-bincang dengan wartawan siang itu.
Kepada wartawan Yusuf menjelaskan sejumlah kegiatan yang dilakukan di masjid Al-Mahdy bukan hanya kegiatan bernuansa agama seperti TPA dan Tamzil Quran saja. Karena tempat parkir masjid itu pun setiap minggunya dipakai anak-anak untuk berlatih Karate. Katanya kegiatan itu dikelola salah seorang pemuda yang tinggal di sekitar masjid.


Senada yang lain, Yusuf pun mempertegas bahwa masjid Al-Mahdy adalah masjid persatuan dan semua kajian yang dilakukan di masjid itu bersifat umum dan berlandaskan pada Al-Quran.
Masjid Al-Mahdy juga menjadi tempat ibadah favorit bagi Jemaah Tabligh yang telah melakukan beberapa program kegiatan di masjid itu. Bahkan beberapa kali sudah dijadikan tempat itikaf sejumlah saudara Muslim dari negara lain seperti Pakistan, Afghanistan, India dan Yaman yang sempat beritikaf selama 3 hingga 5 hari tanpa gangguan pihak manapun.


Pendapat RT Setempat
Guna mendapatkan keterangan lebih beragam dari berbagai sumber tentang posisi masjid Al-Mahdy sebagai masjid persatuan, wartawan sengaja bertandang ke rumah Weni, Ketua RT 04, RW 02, Kelurahan Jati Ranggon, Jatisampurna, Pondok Gede, Bekasi.


Weni mengungkapkan manfaat masjid Al-Mahdy bagi warga sekitar. Terutama kaum ibu yang pada awalnya belum bisa membaca Al-Quran sama sekali, setelah belajar di masjid itu, kini mereka banyak yang sudah bisa membaca Al-Quran dengan baik. Weni mengaku bahwa dirinya termasuk salah satu dari mereka yang dulunya belum bisa membaca Al-Quran dan kini sudah bisa berkat keberadaan Al-Mahdy.


Dari Bu RT Weni kami peroleh informasi tambahan bahwa di masjid Al-Mahdy juga tak pernah ada ceramah yang isinya menjelek-jelekkan salah satu golongan dalam Islam. Weni mengakui tak pernah menemukan hal aneh yang ada di Al-Mahdy selama ini. Senada dengan sejumlah orang yang telah kami wawancarai sebelumnya, Weni pun mengatakan bahwa semua golongan bisa beribadah di masjid yang berada di wilayahnya itu.


“Pernah juga saya melihat orang bercelana ngatung shalat di masjid Al-Mahdy. Dan itu tidak ada masalah kok,” ungkapnya.
Beberapa ustad dari beberapa kalangan yang tinggal di sekitar masjid berceramah di Al-Mahdy dan menurut Weni selaku Ketua RT tak ada masalah karena tak mengganggu ketenteraman warga. Ceramah-ceramah agama di masjid Al-Mahdy selama ini selalu mengajarkan tentang kebaikan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dipahami warga sekitar.


Jika kami amati lebih lanjut, masjid Almahdi pada saat ini (Agustus 2021) sudah melebarkan sayap dakwahnya melalui dakwah digital. Khutbah jumat rutin dan kajian rutin pun di share ke umum melalui channel youtube Masjid Al Mahdy. Saat tulisan ini dibuat, sudah ada 300 video di tampilkan dalam channel tersebut. 


Berikut para ustad syiah yang mengiisi di masjid Almahdi : habib agus abu bakar alhabsy, seorang tokoh syiah yang tinggal tidak jauh dari masjid almahdi, Abdullah beik, salah seorang tokoh syiah lulusan Iran. Habib ahmad hidayat alaidit, mantan pengurus pusat ABI (salah satu ormas syiah terbesar di Indonesia), habib zein Muhammad al Hadi, salah  satu tokoh ustad syiah. Dan yang paling kontrofersi dan termasuk dominan mengisi di Almahdi adalah habib Husain alatas, yang juga aktif di radio rasil. Seorang habib yang tidak mengaku syiah tapi dalam beberapa ceramahnya berani menjelekan Sahabat Abu Hurairah, imam bukhari dan beberapa sahabat lainnya. 


Bagaimanapun pihak DKM atau yayasan menutupi ajaran dan dakwah syiah dengan sarana masjid Almahdi, maka ini akan menjadi duri dalam daging. Masyarakat muslim yang secara doktrin akidah sudah mengikuti para kyainya yang bermazhab ahlul sunnah, suatu ketika pasti akan ada problem dikemudian hari. 


Sekian (Ahmad Hasyim – pengamat dan pemerhati masalah syiah di Indonesia)








************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: