Syaihindonesia.com - Judul artikel ini mungkin menarik, terutama bagi yang senang dengan sejarah Indonesia, sejarah para sahabat, apalagi yang ada hubungannya dengan kota di selatan Jawa Barat ini. Akan lebih menarik lagi jika jawabannya positif bahwa Ali bin Abi Thalib memang sudah pernah sampai di Garut. Ini sesuatu yang pasti sangat “dahsyat”, bukan hanya bagi sejarah Garut, tapi juga bagi sejarah Islam secara keseluruhan. Bayangkan tokoh setenar “Ali bin Abi Thalib” yang namanya telah menghiasi lembaran sejarah Islam sejak pertama kali Nabi Saw. menerima wahyu di Gua Hira hingga saat ini terus berpengaruh, bila benar sudah pernah sampai di Garut tentu merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan yang amat luar biasa.
Urang Garut pasti juga akan sangat bangga hingga bisa menepuk dada di hadapan sejarah dunia bahwa Ali Sang Legenda itu pernah punya sejarah dengan Garut, walaupun mungkin tidak seintensif hubungannya dengan Kufah di Irak tempat bersemayamnya makam Ali bin Abi Thalib.
Tapi apakah benar Ali bin Abi Thalib pernah sampai ke Garut? Itu pertanyaan pokoknya. Semenjak belajar sejarah Islam sampai paling tidak tahun 2015-an terlintas pun tidak pertanyaan itu dalam pikiran saya, apalagi dalam buku-buku bacaan yang selama ini saya bolak-balik baca untuk digunakan sebagai pegangan. Tapi di era milenial yang ditandai dengan “berkuasanya rezim medsos”, hal-hal yang tidak pernah terlintas ini justru malah berseliweran hampir tidak kenal waktu.
Dari berbagai penjuru informasi ini datang seperti air bah membanjiri medsos yang—sialnya—saya tidak menghindar darinya. Berulang kali, mungkin hitungannya sudah puluhan, orang-orang menanyakan tentang kebenaran berita itu. Mungkin gara-gara saya pernah sekolah sejarah, jadi saya dianggap “dukun” sejarah yang tahu apa saja. Oleh karena itulah, akhirnya saya dipaksa untuk ikut memikirkan soal kebenarannya.
Kenapa pertanyaan itu muncul? Seperti umumnya isu di medsos, pertanyaan ini muncul dari broadcast (BC) yang entah dari mana asal muasalnya. Sama seperti BC pada umumnya selalu anonim. Hanya saja, isi BC ini sanad-nya disandarkan kepada Ust. Haikal Hasan, tokoh Aksi 212 yang cukup sohor pada Pemilu 2019 sebagai salah satu tim sukse Prabowo-Sandi yang paling militan. Mungkin gara-gara di BC itu sanadnya sampai ke Ust. Haikal Hasan, maka jadilah orang awam yang membaca beranggapan bahwa tidak mungkin Haikal Hasan berdusta; atau selevel Haikal Hasan pasti mengetahui sejarah dengan sangat baik, termasuk soal kedatangan Ali bin Abi Thalib ke Garut itu.
BC itu sebetulnya berisi banyak hal. Soal Ali bin Abi Thalib ke Garut hanya salah satu bagian dari banyak informasi yang disampaikan. Mungkin butuh beberapa artikel untuk mengupasnya satu per satu. Kalau dirunut secara kelompok BC itu berisi informasi-informasi antara lain:
1). Para sahabat Nabi Saw. banyak yang sudah sampai ke Indonesia seperti Ali bin Abi Thalib ke Garut (625 M) dan Jepara (626 M), Ubay bin Kaab ke Sumatera Barat (626 M), Abdullah bin Masud ke Aceh (626), Abdurrahman bin Muad bin Jabal ke Barus (625), Akayash bin Muhsin Al-Usdi ke Palembang (623), Salman Al-Farisi ke Perlak (626);
2). Ratu Sima dan anaknya Jayisima dari Kerajaan Kalingga (Jepara) di-Islamkan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan tahun 646-650 M dan sering berkirim surat yang sekarang suratnya disimpan di Museum Granada Spanyol (?);
3). Khalifah Umar bin Abdul Azis pernah mengunjungi Palembang tahun 718 dan mengislamkan Raja Sirindra Varma lalu keduanya seringb berkorespondensi yang suratnya tersimpan di Museum Oxford Inggris (?).
Setidaknya saya harus membahas tiga topik yang masing-masing membutuhkan beberapa paragraf penjelaasan dari sudut pandang ilmu sejarah. Sebetulnya BC gosip semacam di atas terlalu mewah untuk ditanggapi secara ilmiah. Akan tetapi karena BC di atas menyertakan buku-buku dan catatan kaki yang seolah-olah “ilmiah”, maka saya berusaha untuk mendekatinya secara ilmiah, walaupun dituturkan secara santai saja. Artikel pertama ini kita fokuskan dulu pada masalah Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat lain yang diklaim sudah sampai ke Indonesia dan mengislamkan kawasan-kawasan yang disebut di atas. Apakah informasi di atas dapat dipercayai atau tidak? Berikut ini penjelasannya.
Pertama, dari sudut substansi dan isi cerita, pada umumnya cerita-cerita palsu atau fiksi berkarakter too good to be true (terlalu hebat jika benar terjadi). Cerita ini juga sejak pertama kali saya baca sudah mengundang kecurigaan. Betapa tidak mencurigakan? Seandainya benar sahabat-sahabat mulia semisal Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ubay bin Kaab, dan tokoh lain yang merupakan Kibâr Al-Shahâbah, maka bangsa kita ini telah mendapatkan keberkahan dan kebanggaan yang amat besar dalam sejarah Islam.
Seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, kejadian ini akan mengubah narasi sejarah Islam, bukan hanya di kawasan Melayu, tetapi di seluruh dunia Islam. Kawasan Asia Tenggara harus ditulis dalam sejarah awal Islam sama pentingnya dengan Palestina, Damaskus, Yaman, Irak, atau Mesir. Sebab, bila benar, kawasan ini termasuk yang paling awal menerima kedatangan Islam dan menyebarkannya seperti kawasan-kawasan di atas.
Kedua, cerita yang berkarakter too good to be true ini segera akan ketahuan ketika ditarik ke wilayah yang wajar. Wilayah yang wajar ini adalah wilayah nalar dan akal pikiran yang sehat. Seandainya ini wilayah gaib yang tidak bisa dijangkau nalar seperti persoalan surga dan neraka, mungkin wilayah wajarnya adalah keimanan dan sumber yang otentik berasal dari Sang Mahatahu Allah Swt. Akan tetapi, karena ini adalah kisah sejarah, maka wilayah nalarnya secara sederhana distandarisasi dengan metode-metode ilmiah yang menjadi rambu untuk membatasi apakah manusia mungkin mendapatkan pengetahuan tentang peristiwa ini atau tidak. Dalam hal peristiwa sejarah, ada metode-metode sejarah yang harus diujikan pada cerita ini.
Ketiga, batu uji ilmiah yang pertama dan mendasar untuk kisah ini adalah “sumber cerita”. Dalam sejarah, suatu kisah tanpa sumber jelas hanya khayalan. Perkara khayalan setiap orang bisa mengarang sebebas-bebasnya. Itulah sebabnya karya fiksi seperti novel tidak mempersyaratkan sumber ceritanya, karena tidak dituntut membuktikan apakah kisah yang diangkat dalam novel ini benar-benar terjadi di dunia nyata atau tidak. Berlainan dengan sejarah. Sejarah adalah kisah tentang hal-hal yang “seharusnya” sungguh-sungguh terjadi di masa lalu.
Oleh sebab itu, setiap kisah sejarah yang paling pokok adalah membuktikan dari mana kisah itu berasal. Sekarang, silakan cek sendiri oleh para pembaca dari mana sumber cerita itu? Penulis BC itu hanya menyebutkan bahwa sumbernya semua bermuara ke bukunya Habib Bahruddin Amatkhan berjudul Qishshatud-Dakwah fî Arahbiliyyah (Nusantara) yang berangka tahun 1929. Artinya buku ini adalah buku baru, terbit tahun 1929.
Keempat, mari kita telusuri penulis dan buku ini. Penulis buku ini adalah seorang “habib” keturunan Yaman yang menurut salah seorang keturunannya yang juga seorang “habib” Shahibul Faroji Azmatkhan, Bahruddin ini baru meninggal tahun 1992 (dapat ditelusuri secara online di https://id.wikipedia.org/wiki/Shohibul_Faroji tentang nasab cucunya ini). Artinya tokoh ini adalah tokoh yang hidup di zaman kita sekarang ini. Jadi, buku yang ditulisnya sudah pasti bukan sumber utama (primer) kisah tentang para sahabat yang datang ke tanah Jawa dan Sumatra ini.
Harusnya bila penulisnya bertanggung jawab secara ilmiah atas klaimnya, ia akan mencantumkan dari mana kisah ini ia dapatkan. Sayang hingga saat ini saya sudah berusaha untuk mendapatkan buku tulisan Bahrudin Azmatkhan di atas, namun belum mendapatkannya, baik hard copy maupun soft copy. Bila saya sudah mendapatkan dan membacanya paling tidak saya bisa menilai kualitas buku tersebut; lebih jauh lagi saya bisa mendapatkan informasi darimana Bahruddin Azmatkhan mendapatkan kisah tersebut.
Kelima, tentu bukan berarti bila saya tidak mendapatkan buku Badruddin Azmatkhan di atas, maka otomatis semua kisah dari buku itu tertotak. Jelas itu logika bodoh. Hanya saja, ada metode lain yang dikenal di dalam penelitian sejarah untuk mengecek keabsahan suatu berita. Nama tehniknya adalah koroborasi atau melakukan perbandingan satu sumber dengan sumber lainnya. Semakin banyak sumber yang mendukung kisah itu, maka kemungkinan kisah itu benar semakin kuat. Dari mana kita dapat menemukan sumber-sumber primer mengenai kisah para sahabat ini? Mereka yang berlajar ilmu hadis tidak terlalu sulit untuk melacak sumber-sumber kisah tentang perjalanan hidup para sahabat ini, terutama sumber-sumber primernya. Sebab, para sahabat termasuk kategori perawi hadis yang paling pokok.
Sumber-sumber mengenai kisah para sahabat semula adalah kisah dari mulut ke mulut orang-orang yang bersentuhan langsung dengan mereka. Disampaikan lagi ke generasi berikutnya hingga masa pembukuan riwayat-riwayat (ashrut-tadwîn). Kini kisah-kisah para sahabat ini cukup dengan mudah diakses dalam kitab-kitab biografi para sahabat dengan metode dan model penulisan yang sangat beragam.
Keenam, mari kita ambil satu tokoh untuk proses koroborasi ini, yaitu Ali bin Abi Thalib. Buku biografi tentang Ali bin Abi Thalib termasuk salah satu yang paling mudah ditemukan, karena yang menulisnya sangat banyak. Jumlahnya mungkin bisa sampai ribuan orang yang menulis tentang beliau ini. Di sanalah kita dapat mencari data pembanding ke mana saja Ali bin Abi Thalib pernah bepergian. Beliau ini termasuk sahabat yang aktif dan banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat.
Sayang sekali, beberapa kali saya berusaha untuk membaca berbagai kitab biografi Ali bin Abi Thalib, belum satu pun yang menginformasikan bahwa beliau sudah pernah sampai ke Tanah Jawa atau Sumatera. Apakah para penulis biografi itu sepakat untuk menghilangkan persentuhan sahabat mulia ini dengan Tanah Jawa dari zaman ke zaman; dan baru pada abad ke-20 saja ada yang menuliskannya? Itu pun penulisnya entah mendapatkan informasi dari mana. Rasanya terlalu naif untuk mengiyakan.
Ketujuh, suatu perjalanan, baik masa lalu maupun masa sekarang, adalah salah satu momen yang penting diabadikan dalam hidup seseorang. Apalagi kalau perjalanan tersebut terbilang istimewa. Contohnya perjalanan ibadah haji dari Indonesia yang mungkin hanya dilakukan sekali seumur hidup. Saya yakin pada abad ke-7 M, perjalanan dari Madinah atau Kufah bisa sampai ke Tanah Jawa adalah sesuatu yang sangat istimewa dan penting.
Apakah mungkin Ali bin Abu Thalib atau murid-murid dan sahabat-sahabatnya melupakan perjalanan penting ini? Apalagi hasilnya Tanah Jawa menjadi Islam karenanya. Perjalanan Muadz bin Jabal ke Yaman yang dekat dari Madinah saja begitu melegenda, apalagi perjalanan ke Pulau Jawa. Oleh sebab itu, kemungkinan besar perjanalan Ali bin Abi Thalib sampai ke Tanah Jawa ini, saya hampir yakin tidak pernah terjadi. Begitu juga perjalanan sahabat lain yang dikisahkan dalam BC di atas. Wallahu Alamu bi Al-Shawwâb.
Penulis: Dr. Tiar Anwar Bachtiar (Pemerhati Sejarah Islam Nusantara)
Kiblat.net
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Urang Garut pasti juga akan sangat bangga hingga bisa menepuk dada di hadapan sejarah dunia bahwa Ali Sang Legenda itu pernah punya sejarah dengan Garut, walaupun mungkin tidak seintensif hubungannya dengan Kufah di Irak tempat bersemayamnya makam Ali bin Abi Thalib.
Tapi apakah benar Ali bin Abi Thalib pernah sampai ke Garut? Itu pertanyaan pokoknya. Semenjak belajar sejarah Islam sampai paling tidak tahun 2015-an terlintas pun tidak pertanyaan itu dalam pikiran saya, apalagi dalam buku-buku bacaan yang selama ini saya bolak-balik baca untuk digunakan sebagai pegangan. Tapi di era milenial yang ditandai dengan “berkuasanya rezim medsos”, hal-hal yang tidak pernah terlintas ini justru malah berseliweran hampir tidak kenal waktu.
Dari berbagai penjuru informasi ini datang seperti air bah membanjiri medsos yang—sialnya—saya tidak menghindar darinya. Berulang kali, mungkin hitungannya sudah puluhan, orang-orang menanyakan tentang kebenaran berita itu. Mungkin gara-gara saya pernah sekolah sejarah, jadi saya dianggap “dukun” sejarah yang tahu apa saja. Oleh karena itulah, akhirnya saya dipaksa untuk ikut memikirkan soal kebenarannya.
Kenapa pertanyaan itu muncul? Seperti umumnya isu di medsos, pertanyaan ini muncul dari broadcast (BC) yang entah dari mana asal muasalnya. Sama seperti BC pada umumnya selalu anonim. Hanya saja, isi BC ini sanad-nya disandarkan kepada Ust. Haikal Hasan, tokoh Aksi 212 yang cukup sohor pada Pemilu 2019 sebagai salah satu tim sukse Prabowo-Sandi yang paling militan. Mungkin gara-gara di BC itu sanadnya sampai ke Ust. Haikal Hasan, maka jadilah orang awam yang membaca beranggapan bahwa tidak mungkin Haikal Hasan berdusta; atau selevel Haikal Hasan pasti mengetahui sejarah dengan sangat baik, termasuk soal kedatangan Ali bin Abi Thalib ke Garut itu.
BC itu sebetulnya berisi banyak hal. Soal Ali bin Abi Thalib ke Garut hanya salah satu bagian dari banyak informasi yang disampaikan. Mungkin butuh beberapa artikel untuk mengupasnya satu per satu. Kalau dirunut secara kelompok BC itu berisi informasi-informasi antara lain:
1). Para sahabat Nabi Saw. banyak yang sudah sampai ke Indonesia seperti Ali bin Abi Thalib ke Garut (625 M) dan Jepara (626 M), Ubay bin Kaab ke Sumatera Barat (626 M), Abdullah bin Masud ke Aceh (626), Abdurrahman bin Muad bin Jabal ke Barus (625), Akayash bin Muhsin Al-Usdi ke Palembang (623), Salman Al-Farisi ke Perlak (626);
2). Ratu Sima dan anaknya Jayisima dari Kerajaan Kalingga (Jepara) di-Islamkan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan tahun 646-650 M dan sering berkirim surat yang sekarang suratnya disimpan di Museum Granada Spanyol (?);
3). Khalifah Umar bin Abdul Azis pernah mengunjungi Palembang tahun 718 dan mengislamkan Raja Sirindra Varma lalu keduanya seringb berkorespondensi yang suratnya tersimpan di Museum Oxford Inggris (?).
Setidaknya saya harus membahas tiga topik yang masing-masing membutuhkan beberapa paragraf penjelaasan dari sudut pandang ilmu sejarah. Sebetulnya BC gosip semacam di atas terlalu mewah untuk ditanggapi secara ilmiah. Akan tetapi karena BC di atas menyertakan buku-buku dan catatan kaki yang seolah-olah “ilmiah”, maka saya berusaha untuk mendekatinya secara ilmiah, walaupun dituturkan secara santai saja. Artikel pertama ini kita fokuskan dulu pada masalah Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat lain yang diklaim sudah sampai ke Indonesia dan mengislamkan kawasan-kawasan yang disebut di atas. Apakah informasi di atas dapat dipercayai atau tidak? Berikut ini penjelasannya.
Pertama, dari sudut substansi dan isi cerita, pada umumnya cerita-cerita palsu atau fiksi berkarakter too good to be true (terlalu hebat jika benar terjadi). Cerita ini juga sejak pertama kali saya baca sudah mengundang kecurigaan. Betapa tidak mencurigakan? Seandainya benar sahabat-sahabat mulia semisal Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ubay bin Kaab, dan tokoh lain yang merupakan Kibâr Al-Shahâbah, maka bangsa kita ini telah mendapatkan keberkahan dan kebanggaan yang amat besar dalam sejarah Islam.
Seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, kejadian ini akan mengubah narasi sejarah Islam, bukan hanya di kawasan Melayu, tetapi di seluruh dunia Islam. Kawasan Asia Tenggara harus ditulis dalam sejarah awal Islam sama pentingnya dengan Palestina, Damaskus, Yaman, Irak, atau Mesir. Sebab, bila benar, kawasan ini termasuk yang paling awal menerima kedatangan Islam dan menyebarkannya seperti kawasan-kawasan di atas.
Kedua, cerita yang berkarakter too good to be true ini segera akan ketahuan ketika ditarik ke wilayah yang wajar. Wilayah yang wajar ini adalah wilayah nalar dan akal pikiran yang sehat. Seandainya ini wilayah gaib yang tidak bisa dijangkau nalar seperti persoalan surga dan neraka, mungkin wilayah wajarnya adalah keimanan dan sumber yang otentik berasal dari Sang Mahatahu Allah Swt. Akan tetapi, karena ini adalah kisah sejarah, maka wilayah nalarnya secara sederhana distandarisasi dengan metode-metode ilmiah yang menjadi rambu untuk membatasi apakah manusia mungkin mendapatkan pengetahuan tentang peristiwa ini atau tidak. Dalam hal peristiwa sejarah, ada metode-metode sejarah yang harus diujikan pada cerita ini.
Ketiga, batu uji ilmiah yang pertama dan mendasar untuk kisah ini adalah “sumber cerita”. Dalam sejarah, suatu kisah tanpa sumber jelas hanya khayalan. Perkara khayalan setiap orang bisa mengarang sebebas-bebasnya. Itulah sebabnya karya fiksi seperti novel tidak mempersyaratkan sumber ceritanya, karena tidak dituntut membuktikan apakah kisah yang diangkat dalam novel ini benar-benar terjadi di dunia nyata atau tidak. Berlainan dengan sejarah. Sejarah adalah kisah tentang hal-hal yang “seharusnya” sungguh-sungguh terjadi di masa lalu.
Oleh sebab itu, setiap kisah sejarah yang paling pokok adalah membuktikan dari mana kisah itu berasal. Sekarang, silakan cek sendiri oleh para pembaca dari mana sumber cerita itu? Penulis BC itu hanya menyebutkan bahwa sumbernya semua bermuara ke bukunya Habib Bahruddin Amatkhan berjudul Qishshatud-Dakwah fî Arahbiliyyah (Nusantara) yang berangka tahun 1929. Artinya buku ini adalah buku baru, terbit tahun 1929.
Keempat, mari kita telusuri penulis dan buku ini. Penulis buku ini adalah seorang “habib” keturunan Yaman yang menurut salah seorang keturunannya yang juga seorang “habib” Shahibul Faroji Azmatkhan, Bahruddin ini baru meninggal tahun 1992 (dapat ditelusuri secara online di https://id.wikipedia.org/wiki/Shohibul_Faroji tentang nasab cucunya ini). Artinya tokoh ini adalah tokoh yang hidup di zaman kita sekarang ini. Jadi, buku yang ditulisnya sudah pasti bukan sumber utama (primer) kisah tentang para sahabat yang datang ke tanah Jawa dan Sumatra ini.
Harusnya bila penulisnya bertanggung jawab secara ilmiah atas klaimnya, ia akan mencantumkan dari mana kisah ini ia dapatkan. Sayang hingga saat ini saya sudah berusaha untuk mendapatkan buku tulisan Bahrudin Azmatkhan di atas, namun belum mendapatkannya, baik hard copy maupun soft copy. Bila saya sudah mendapatkan dan membacanya paling tidak saya bisa menilai kualitas buku tersebut; lebih jauh lagi saya bisa mendapatkan informasi darimana Bahruddin Azmatkhan mendapatkan kisah tersebut.
Kelima, tentu bukan berarti bila saya tidak mendapatkan buku Badruddin Azmatkhan di atas, maka otomatis semua kisah dari buku itu tertotak. Jelas itu logika bodoh. Hanya saja, ada metode lain yang dikenal di dalam penelitian sejarah untuk mengecek keabsahan suatu berita. Nama tehniknya adalah koroborasi atau melakukan perbandingan satu sumber dengan sumber lainnya. Semakin banyak sumber yang mendukung kisah itu, maka kemungkinan kisah itu benar semakin kuat. Dari mana kita dapat menemukan sumber-sumber primer mengenai kisah para sahabat ini? Mereka yang berlajar ilmu hadis tidak terlalu sulit untuk melacak sumber-sumber kisah tentang perjalanan hidup para sahabat ini, terutama sumber-sumber primernya. Sebab, para sahabat termasuk kategori perawi hadis yang paling pokok.
Sumber-sumber mengenai kisah para sahabat semula adalah kisah dari mulut ke mulut orang-orang yang bersentuhan langsung dengan mereka. Disampaikan lagi ke generasi berikutnya hingga masa pembukuan riwayat-riwayat (ashrut-tadwîn). Kini kisah-kisah para sahabat ini cukup dengan mudah diakses dalam kitab-kitab biografi para sahabat dengan metode dan model penulisan yang sangat beragam.
Keenam, mari kita ambil satu tokoh untuk proses koroborasi ini, yaitu Ali bin Abi Thalib. Buku biografi tentang Ali bin Abi Thalib termasuk salah satu yang paling mudah ditemukan, karena yang menulisnya sangat banyak. Jumlahnya mungkin bisa sampai ribuan orang yang menulis tentang beliau ini. Di sanalah kita dapat mencari data pembanding ke mana saja Ali bin Abi Thalib pernah bepergian. Beliau ini termasuk sahabat yang aktif dan banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat.
Sayang sekali, beberapa kali saya berusaha untuk membaca berbagai kitab biografi Ali bin Abi Thalib, belum satu pun yang menginformasikan bahwa beliau sudah pernah sampai ke Tanah Jawa atau Sumatera. Apakah para penulis biografi itu sepakat untuk menghilangkan persentuhan sahabat mulia ini dengan Tanah Jawa dari zaman ke zaman; dan baru pada abad ke-20 saja ada yang menuliskannya? Itu pun penulisnya entah mendapatkan informasi dari mana. Rasanya terlalu naif untuk mengiyakan.
Ketujuh, suatu perjalanan, baik masa lalu maupun masa sekarang, adalah salah satu momen yang penting diabadikan dalam hidup seseorang. Apalagi kalau perjalanan tersebut terbilang istimewa. Contohnya perjalanan ibadah haji dari Indonesia yang mungkin hanya dilakukan sekali seumur hidup. Saya yakin pada abad ke-7 M, perjalanan dari Madinah atau Kufah bisa sampai ke Tanah Jawa adalah sesuatu yang sangat istimewa dan penting.
Apakah mungkin Ali bin Abu Thalib atau murid-murid dan sahabat-sahabatnya melupakan perjalanan penting ini? Apalagi hasilnya Tanah Jawa menjadi Islam karenanya. Perjalanan Muadz bin Jabal ke Yaman yang dekat dari Madinah saja begitu melegenda, apalagi perjalanan ke Pulau Jawa. Oleh sebab itu, kemungkinan besar perjanalan Ali bin Abi Thalib sampai ke Tanah Jawa ini, saya hampir yakin tidak pernah terjadi. Begitu juga perjalanan sahabat lain yang dikisahkan dalam BC di atas. Wallahu Alamu bi Al-Shawwâb.
Penulis: Dr. Tiar Anwar Bachtiar (Pemerhati Sejarah Islam Nusantara)
Kiblat.net
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: