![]() |
Fatwa Halalnya Praktek Prostitusi Syiah |
Oleh Zulkarnain El-Madury
Puncak yang terkenal indah dan membuai
pengunjungnya menjadi salah satu tujuan wisata Mut’ah paling mengesannya,
biasanya mengundang perhatian dan pesona banyak orang pemuja mut’ah, baik dalam
dan luat negeri. Wisata Puncak bukan saja membuai para wisatawan dengan
keindahan alam yang tertata rapin dan Indah, namun juga menjanjikan Surga
dunia, seperti prostitusi model Mut’ah.
Siap dengan para makelar Nikah Mut’ah, termasuk
para calang Syiah yang mensponsori bisnis haram tersebut.
Berdasarkan kitab
kitab Syiah ternyata ada dukungan moral yang diberikan oleh penulis kitab
tersebut, bolehnya Nikah dengan Wanita malam yang tidak mengenal lelah memburu
mangsa mangsanya, mengincar kantong tebalnya. Menjadi Pilihan mereka, sekalipun
harus menyerahkan sejumlah besar uang
transaksi Mut’ah.
Prostitusi di kemas mut’ah ini diserbu banyak
penggemarnya dari belahan negara negara di Timur Tengah, terutama negara negara
yang menjadi tempat pembibitan Syiah, yang melindungi dan menyemarakkan zina mut’ah. Lalu
bagamana menurut Syiah merobah arah niat dari penzina ke Mut’ah?. Ikuti berikut
ini cara menghalalkan bisnis pelacuran meskipun semalam
Syarat utamanya hanyalah
mahar dan durasi pernikahan saja.
عَنْ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ
مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى
Dari Abu ‘Abdillah
‘alaihis-salaam, ia berkata : “Tidak terjadi nikah mut’ah kecuali dengan
dua perkara, yaitu : (durasi) waktu tertentu dan mahar tertentu”
[Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 5/455].
Mahar di sini dapat
dianalogkan dengan upah, sebagaimana difatwakan oleh Ayatullah Ar-Ruuhaaniy
berikut :
Pertanyaan :
“Suatu saat, saya pernah
masuk ke Night Club. Ada seorang pelacur meminta kepada saya uang sekitar 100
dolar. Aku pun membayarnya. Lantas ia berkata kepadaku : ‘Engkau boleh nikahi
mut’ah seluruh badanku sebagai imbalan uang yang engkau berikan. Namun
durasinya hanya sehari saja’. Apakah yang seperti ini dapat dianggap sebagai
pernikahan mut’ah ?”.
Ar-Ruuhaaniy menjawab :
“Dengan menyebut
nama Allah,.... Apabila yang ia katakan adalah dengan tujuan pernikahan, dan
engkau pun berkata setelah itu : ‘aku terima bagi diriku yang demikian’, maka
yang seperti itu adalah pernikahan mut’ah”.
Menurut keterangan
diatas, profesi dengan niat melacur menjadi tidak jatuh dalam hukum Syiah,
manakalah diniatkan Mut’ah. Akan berapa banyak korban Mut’ah, jika caranya
sebagaimna menjadi jawaban Ar-Ruuhaaniy, tidak idda, yang penting niat, mahar,
sudah bisa menikmati Mut’ah. Tidak perlu wanita baik baik untuk bermut’ah,
siapa saja bisa dilahap, asal saja mau, pintu terbuka bagi pemuja syahwat macam
Syiah
Selain itu ada pendapat
seperti berkut ini ;
Boleh tanpa (izin) wali.
Abu 'Abdillah
'alaihis-salaam pernah berkata :
لا بأس بتزويج البكر إذا
رضيت من غير إذن أبيها
"Tidak mengapa
menikahi gadis apabila ia ridla meskipun tanpa izin ayahnya" [Risaalah
Al-Mut'ah oleh Al-Mufiid, hal. 10. Disebutkan juga dalam Tahdziibul-Ahkaam oleh
Ath-Thuusiy 7/254].
Dari Abu Sa'iid (perawi
Syi'ah), ia berkata :
سئل أبو عبد
الله عليه السلام عن التمتع من الابكار اللواتي بين الأبوين فقال: لا بأس ولا
أقول كما يقول هؤلاء الأقشاب
Abu 'Abdillah
'alaihis-salaam pernah ditanya tentang nikah mut'ah gadis masih ada di tengah
orang tua mereka. Ia menjawab : "Tidak mengapa, dan aku tidak mengatakan
sebagaimana yang dikatakan oleh para penjahat itu" [Tahdziibul-Ahkaam,
7/254].
Mut’ah bebas, tidak terikat dengan aturan aturan yang
bertele tele, sebagaimana dikatakan oleh tokoh tokoh Syiah indonesia yang
membela diri bahwa mut’ah penuh aturan, sulit pelaksanaannya. Padahal asal
bertemu dengan wanita, baik jelas atau tidak jelas kedudukannya, halal halal
saja, tidak ada hukum yang melarangnya, sekalipun dengan saudaranya sendiri
Ayatullah Ar-Ruuhaniy
pernah ditanya :
“Apakah dimakruhkan dalam
pernikahan mut’ah dengan seorang gadis apabila telah diizinkan oleh ayahnya ?.
Apa hukumnya nikah mut’ah dengan seorang gadis jika : (a) ayahnya tidak
menyetujuinya, atau (b) ayahnya tidak mengetahui adanya pernikahan mut’ah
tersebut, atau (c) ayahnya telah meninggal ?”.
Ia (Ar-Ruuhaniy) menjawab
:
“Dengan menyebut nama
Allah,... pernikahan mut’ah dengan seorang gadis diperbolehkan dalam segala
bentuknya apabila ia telah dewasa/baligh. Tidak ada bedanya (dalam hal
kebolehannya) baik ayahnya ada atau tidak ada, baik dengan atau tanpa izinnya”.
Ini bagian dari ajaran
sex bebas yang marak di Internet, rupanya terinspirasi kitab kitab Syiah yang
menggambarkan wanita sedemikian rendahnya, seolah wanita di mata syiah sudah
taqdir kalau harus menjadi permainan para Syiah hidung belang, pemburu mut’ah.
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: