Breaking News
Loading...

Berijtihad, Posisi Mujtahid dan Taqlid menurut Syiah

Oleh: Fadh Ahmad Arifan

Pendahuluan

Meski beda Akidah dan tidak dianggap bagian dari Umat Islam, kalangan Syiah tetap ngotot menganggap dirinya bagian dari umat. Mereka punya amaliah/ritual yang seluruhnya didasarkan pada formulasi fiqih versi Mereka. Baik di level sekolah menengah hingga perguruan tinggi, jarang membahas bagaimana formulasi nalar fiqih versi Syiah. Rata-rata fokus utamanya berkisar di pandangan politik, konsep filsafat dan aspek teologinya. Oleh karena itu, yang menjadi fokus utama dalam kajian ini adalah bagaimana konsep ijtihad, taqlid serta pendapat fiqih di kalangan Syiah Zaidiyah maupun Isna ‘Asyariyah (Imamiyah).

Formulasi Ijtihad

Terdapat 2 jenis ijtihad yang dijalankan ulama Syiah, Ijtihad berdasar ra’yu dan ijtihad berdasar Syariat (Muhammad Ibrahim jannati, hal 21). Bagi Syiah Isna ‘Asyariah, berijtihad itu wajib kifayah. Gerakan Ijtihad di kalangan Syiah dimaksudkan untuk melindungi doktrin Imamah. Sementara itu, Kedudukan Mujtahid yakni sebagai Na’ib al-Imam/wakil Imam al-Ghaib (Mohammad baharun, hal 34).

Apabila seseorang itu tidak memenuhi kriteria sebagai Mujtahid, maka yang bersangkutan dianjurkan taqlid. Bagi kalangan Syiah, bertaqlid harus dilakukan kepada orang yang masih hidup, tidak boleh kepada orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika sebelumnya memang ia telah bertaqlid kepadanya. Katanya supaya fiqih terus berkembang dinamis. Maka para fuqaha yang dijadikan tempat rujukan oleh orang awam disebut dengan Marja’ taqlid (tempat rujukan dalam bertaqlid).
Dalam berijtihad, ulama Syiah Isna ‘Asyariyah merujuk pada sumber Hukum. Sumber hukum versi mereka diantaranya, al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Akal (Mohammad Baharun, hal 34). Adapun Zaidiyah, sistematika sumber hukumnya adalah Ijma, Nash al-Quran dan Sunnah, Qiyas dan Ijtihad lainnya: Istihsan, Maslahah mursalah dan Istihsab (Asmawi, hal 248).

Al-Quran yang dipahami Syiah berbeda dengan versi Ahlu sunnah. Di kalangan Isna ‘Asyariyah, al-Quran itu berjumlah 17 ribu ayat. Mereka hanya mengakui al-Quran yang dikodifikasi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian mereka hanya menerima penafsiran/pemahaman al-Quran yang diberikan oleh Ali bin Abi thalib dan para Imam Maksum yang berasal dari keluarga ahl bait (Asmawi, hal 238).

Terkait sunnah, sunnah yang dimaksud ialah sunnah para Imam Ahl bait. Ia memiliki validitas yang sama dengan Sunnah Rasulullah saw berdasarkan kemaksuman mereka (Muhammad Ibrahim Jannati, hal 51). Sunnah di Isna ‘Asyariyah merujuk pada 4 kitab yaitu al-Kafi, Man La Yahdurul faqih, al-Tadib dan al-Istibshar. Diluar kitab-kitab ini, dianggap banyak memuat hadits-hadits dhaif (Asmawi, hal 218).

Ada hal-hal yang dianggap bukan tergolong lapangan ijtihad. Di dalam Syiah Isna ‘Asyariyah, materi-materi Imamah, Ismah (kemaksuman), Taqiyah, Marja’iyat at-taqlid (Institusi ulama), Wilayat al-faqih sebagai suatu keniscayaan yang masuk wilayah Qat’iyat. Bagi Ahlu Sunnah, semua kategori itu masuk ke dalam dimensi Zanniyat. (Mohammad Baharun, hal  47-46)

Produk fiqih

Dari formulasi ijtihad, kedudukan Mujtahid dan persoalan taqlid diatas, baik Zaidiyah maupun Isna ‘Asyariyah menghasilkan produk fiqih yang berbeda. Misalnya bila syiah Zaidiyah mengharamkan Nikah mut’ah, maka ulama Isna Asyariyah membolehkan. Di dalam Syiah Isna ‘Asyariyah bisa ditemukan pendapat/fatwa mereka tentang Waris, Menurut ulama mereka, seorang Muslim berhak Mewarisi kerabatnya yang non Muslim. Tapi non Muslim tidak berhak mewarisi kerabat muslimnya (Muhammad Ibrahim Jannati, hal 33). Yang seperti ini jelas berlawanan dengan sabda Rasulullah saw, “Orang muslim tak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tak mewarisi orang muslim” (HR. Abu Dawud).

Terakhir, sebelum menutup artikel ini, perlu mengenal pendapat fiqih di kalangan Syiah Zaidiyah. Zaidiyah dipandang sebagai kelompok yang pemahaman fiqihnya cukup dekat dengan Ahlu sunnah (sunni). Diantara pendapat fiqihnya:

  1. Haramnya memakan hasil sembelihan non Muslim
  2. Haramnya menikahi perempuan ahl Kitab
  3. Pembatasan pemberian hibah yakni 1/3 harta benda (Asmawi. Hal 248) 


Kesimpulan

Bila ditarik sebuah kesimpulan, Nampak jelas kalangan Syiah terutama Isna ‘Asyariyah memiliki formulasi nalar fiqih yang berbeda baik dengan Zaidiyah maupun kalangan Ahlu sunnah. Yang menjadi ciri khas dari Isna ‘Asyariyah adalah pandangan mereka tentang kebolehan nikah Mut’ah serta ketergantungan mereka kepada para Imam yang mereka anggap maksum. Di dalam Isna ‘Asyariyah sepertinya tidak dijumpai konsep ganjaran pahala ketika berijtihad. Di Ahlu sunnah sudah lazim dikenal ganjaran pahala berijtihad, mengacu pada sabda Rasulullah saw, “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu’allam bishowwab

Daftar Pustaka
  1. Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (UIN Jakarta Press, 2006)
  2. Mohammad Baharun, Ijtihad dalam Perspektif Ulama Syiah Isna Asyariyah, (Jurnal Ulul albab, Vol 8 No 1 tahun 2007)
  3. Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan 5 Mazhab, jilid 3 (Penerbit Cahaya, 2007)
  4. http://www.studisyiah.com/blog/2015/07/22/terbukanya-pintu-ijtihad/

Penulis adalah Pengajar Mapel Fiqih di MA Muhammadiyah 2 kota Malang


************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: