Breaking News
Loading...

Syiah dan Penyimpangannya dalam Menafsirkan Hadis Ghadir Khum


Syiahindonesia.com
– Salah satu hadis yang paling sering dijadikan senjata oleh kaum Syiah untuk membenarkan klaim kepemimpinan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah wafatnya Rasulullah ﷺ adalah hadis Ghadir Khum. Mereka menafsirkan hadis ini sebagai penetapan imamah (kepemimpinan spiritual dan politik) untuk Ali, padahal makna sebenarnya sama sekali tidak menunjukkan hal itu.

Untuk memahami penyimpangan tafsir Syiah terhadap hadis ini, kita perlu meninjau konteks sejarah, makna kata “mawla”, dan penjelasan ulama Ahlus Sunnah sejak generasi awal.


1. Teks Hadis Ghadir Khum

Hadis ini diriwayatkan secara sahih dalam beberapa kitab hadis. Nabi Muhammad ﷺ bersabda setelah kembali dari Haji Wada‘ di tempat bernama Ghadir Khum:

مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ
“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, dan lainnya)

Hadis ini sahih secara sanad, namun pemahaman Syiah terhadapnya menyimpang jauh dari konteks aslinya.


2. Konteks Sejarah Ghadir Khum

Peristiwa Ghadir Khum terjadi pada akhir hayat Rasulullah ﷺ, setelah beliau menyelesaikan Haji Wada‘ dan dalam perjalanan kembali ke Madinah. Di tempat bernama Ghadir Khum, Nabi ﷺ berdiri di hadapan banyak sahabat dan menyampaikan pujian kepada Ali bin Abi Thalib karena:

  • Ada sebagian sahabat yang mengeluhkan sikap Ali saat memimpin pasukan di Yaman,

  • Maka Rasulullah ﷺ meluruskan kesalahpahaman itu dengan menjelaskan keutamaan Ali dan menegaskan bahwa beliau adalah sahabat yang mulia dan harus dihormati.

Dengan demikian, tujuan hadis ini adalah menegaskan cinta dan loyalitas kepada Ali, bukan menetapkannya sebagai pemimpin tertinggi umat setelah Nabi ﷺ.


3. Penyimpangan Tafsir Syiah terhadap Kata “Mawla”

Syiah menafsirkan kata “mawla” sebagai “pemimpin” atau “imam yang wajib ditaati”.
Namun para ulama bahasa dan hadis menjelaskan bahwa kata “mawla” memiliki banyak makna, seperti:

  • teman dekat,

  • penolong,

  • orang yang dicintai,

  • pelindung,

  • atau sekadar orang yang memiliki hubungan baik.

Dalam konteks hadis Ghadir Khum, makna yang tepat adalah “orang yang dicintai dan dihormati”, sebagaimana dikonfirmasi oleh banyak sahabat yang hadir saat itu.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim:

“Hadis ini menunjukkan anjuran mencintai Ali dan menegaskan keutamaannya, bukan penetapan imamah sebagaimana diklaim Rafidhah.”


4. Bantahan dari Para Ulama Sunni

a. Imam Ahmad bin Hanbal

Ketika ditanya tentang hadis Ghadir Khum, beliau menjawab:

“Maksudnya adalah menegaskan kecintaan dan loyalitas terhadap Ali, bukan kepemimpinan setelah Rasulullah ﷺ.”

b. Ibn Taimiyyah

Dalam Minhaj as-Sunnah, beliau menulis:

“Tidak ada seorang pun dari sahabat yang memahami hadis Ghadir Khum sebagai pengangkatan khalifah. Seandainya itu benar, tentu Ali akan menuntutnya pada masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Tapi beliau tidak melakukannya.”

c. Ibn Katsir

Dalam Al-Bidayah wan Nihayah, beliau menjelaskan:

“Rasulullah ﷺ hanya bermaksud memuliakan Ali dan mengingatkan umat agar tidak membencinya, karena sebelumnya ada sebagian orang yang mengeluh tentangnya.”


5. Kontradiksi Logika Syiah

Jika hadis Ghadir Khum dianggap sebagai bukti pengangkatan Ali sebagai khalifah, mengapa:

  1. Tidak ada satu pun sahabat besar yang membaiat Ali pada saat itu?

  2. Ali sendiri tidak menuntut klaim itu ketika Abu Bakar dibaiat?

  3. Tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyebut bahwa imamah adalah warisan setelah Nabi ﷺ?

Ini menunjukkan bahwa tafsir Syiah hanyalah upaya memelintir teks hadis untuk memperkuat doktrin imamah yang mereka ciptakan belakangan.


6. Akibat dari Penyimpangan Ini

Penyimpangan tafsir hadis Ghadir Khum menjadi fondasi ideologi Syiah, yang menganggap kepemimpinan agama hanya sah melalui jalur keturunan Ali.
Akibatnya:

  • Mereka menolak khilafah Abu Bakar, Umar, dan Utsman,

  • Menuduh sahabat murtad,

  • Dan membangun sistem imam maksum, yang tidak dikenal dalam Islam.

Padahal Islam yang murni menegaskan bahwa kepemimpinan adalah urusan musyawarah (syura) sebagaimana disebut dalam QS. Asy-Syura: 38.


7. Kesimpulan

Hadis Ghadir Khum adalah hadis sahih yang menunjukkan kecintaan Nabi ﷺ terhadap Ali, namun tidak bisa dijadikan dasar imamah atau klaim kekhalifahan.
Syiah telah menyimpangkan maknanya demi membenarkan doktrin buatan mereka sendiri.

Kebenaran tetap pada penjelasan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya yang setia — bahwa Islam tidak mengenal imamah keturunan, tetapi kepemimpinan berdasarkan iman, ilmu, dan amanah.


(albert/syiahindonesia.com)



************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: