Breaking News
Loading...

Gerakan Sesat Syi'ah dalam Perspektif Politik dan Hukum
PENDAHULUAN

            Faham Syi’ah di kalangan masyarakat Indonesia masih dipersepsikan keliru seolah-olah ia adalah sekte atau madzhab dalam Islam. Bahkan disebut sebagai Mazhab kelima setelah Syafi'e, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Karenanya pembicaraan berkaitan dengan Syi’ah dianggapnya  pembahasan yang berada di ruang fiqh  semata. Atau persepsi lain syi’ah adalah ajaran sufistik yang menekankan pada aspek ruhani dengan pada doa-doa kumail, dzikir  menangisi kematian cucu Nabi, atau ritual memperingati hari as-syuro, 10 Muharam. Akibatnya masyarakat dan umat menjadi tidak peduli atau menjadi sangat toleran terhadap kegiatan dan pengembangan ajaran ini. Menurut mereka biarkan saja pengikut ajaran syi’ah ini menjalankan keyakinannya toh tidak mengganggu umat Islam lain. Pemerintah pun seolah membiarkan bahkan membuka jalan bagi pengembangan syi’ah tersebut. Muktamar Ahlul Bait Indonesia (ABI) yang dapat dilakukan  di gedung Kementerian Agama baru-baru ini menjadi indikasinya. Ada buku tentang syi’ah yang menyerang MUI diberi pengantar oleh Menteri Agama pula.

Syiah Hizbullah
            Persepsi keliru inilah yang diinginkan oleh penganut faham syi’ah. Dengan demikian fahamnya dapat digerakkan dengan sangat leluasa melalui kegiatan majelis ta’lim, membuat lembaga pendidikan, pesantren ataupun yayasan-yasasan. Kader-kadernya sedikit sedikit memasuki lembaga pendidikan tinggi ternama, pemerintahan dan lembaga politik. Sejarawan pro syi’ah pun ikut menyuarakan bahwa syi’ah bukan tamu di Indonesia tapi termasuk “madzhab” awal yang datang ke negeri ini sambil menunjuk kerajaan Samudra Pasai yang berasal dari Persia, Universitas Syah Kuala pun dicitrakan itulah Syi’ah, padahal tidak ada hubungan Unsyiah dengan aliran Syi’ah. Syiah disini adalah disadur dari bahasa Arab yaitu Syeikh. Syiah Kuala adalah Syeikh Kuala salah satu ulama besar di Aceh. Menurut Ibnu Batutah Samudra Pasai itu bermadhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Belum lagi kerajaan Islam pertama di Nusantara ini bukanlah Samudra Pasai (1267 M) melainkan kerajaan Perlak (840M). Meskipun demikian perdebatan mengenai awal masuk Islam ke Indonesia ini tidaklah bisa mengubah fakta bahwa Indonesia kini adalah buminya Ahlus Sunnah Wal Jamaah, bukan Syi’ah Imamiah.

            Bahwa sesatnya Syi’ah sangat jelas dari keraguan terhadap orisinalitas Qur’an, periwayatan hadits yang membatasi pada jalur ahlul bait (definisi ahlul bait nya pun menurut Syi’ah), rukun iman dan rukun Islam yang tidak sama, syahadat menambah Ali waliyullah, iman pada imam yang ghaib dan akan muncul, nikah kontrak, faham raj’ah, maupun melaknat shahabat-shahabat Rosulullah SAW dan istri-istri Nabi. Karenanya MUI Pusat mengingatkan dengan sebuah buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.    



SYI’AH SEBAGAI GERAKAN POLITIK

            Syi’ah lahir dari rahim politik. Muncul dari konflik kekuasaan antara Khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan berkaitan dengan kasus pembunuhunan Khalifah Utsman Bin Affan. Pendukung Ali yang kemudian menjadi Syi’ah Ali  adalah kelompok politik yang kecewa dengan naiknya Muawiyah sebagai Khalifah setelah peristiwa perundingan Siffin. Ali ra sendiri terbunuh oleh kelompok politik khawarij. Kekecewaan politik ini yang kemudian oleh Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang menampakkan diri sebagai muslim, dibumbui dengan aspek-aspek teologis. Dia yang memulai mempopulerkan wajibnya keimanan pada Ali dan memusuhi sahabat-sahabat (Abubakar, Umar, Utsman). Syi’ah rafidhah mendasarkan ajarannya pada keimanan pada imam yang dikenal dengan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, yakni keimanan pada imam dua belas. Yaitu Ali Bin Abi Thalib, Al hasan bin Ali bin Abi Thalib, Al Husen bin Ali bin Abi Thalib, Ali bin Al Husen Zainal Abidin, Muhammad bin Ali al Bagir, Ja’far bin Muhammad As Shadiq, Musa bin Ja’far al Kadzim, Ali bin Musa ar Ridha, Muhammad bin Ali al Jawwad, Ali bin Muhammad al Hadi, Al Hasan bin Ali al Askari, dan Muhammad bin al Hasan al Mahdi al Muntazar.   Imam kedua belas adalah Imam Mahdi yang bergelar Al Qaim (penegak keadilan) yang ghaib dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Misi kedatangannya adalah misi politik. Misinya itu adalah menegakkan kekuasaan dan hukum syari’at Daud dan Sulaeman (Kulaini dalam Ushul min Al Kafi 1/397), menggeserkan sentral peribadahan dan peradaban ke Karbala dengan menghancurkan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi  (Bihar Al Anwar 52/387 dan Ghaibah karya At Thusi, 282), membawa Qur’an yang baru yaitu Mushaf Fathimah, menghapuskan  dan membunuh habis bangsa Arab (Bihar Al Anwar 52/318), membunuh semua nawashib (anti syi’ah) yang menentang akidah mereka (Majlisi, Bihar Al Anwar 52/373). Muhammad al Mahdi yang ada kemudian menghilang lalu ditunggu kedatangannya adalah figur yang sebenarnya diada-adakan, fakta historis Hasan al Askari (Imam kesebelas) tidak memiliki putera laki-laki satupun (Maqalat wa al firaq, karya Al Asyari Al Qumi hal 102, A’lam Al Wari, karya Fadhal Ath Thibrisi, hal 380).

            Dasar ideologi politik ajaran syi’ah ini dapat juga dilihat dari kedudukan wilayah yang merupakan rukun Islam kelima (Al Kulaini, Al Kafi 2/18), sementara Imamah sebagai rukun Iman ketiga setelah Tauhid dan Nubuwwah adalah jabatan Ilahi berdasarkan Nash (Ali Ghithoi, Ashlu asy Syi’ah wa Ushuluha, hal 134). Kedudukan Imam 12 lebih tinggi dari Malaikat dan Nabi (Nikmatullah Aljazairi, Al Anwar An Nukmaniyah 1/20-21), Imam adalah ma’shum bebas dosa, keliru, ataupun lupa (Al majlisi, Bihar al Anwar, 25/191). Konsep Imamah adalah doktrin politik dan teologis utama Syi’ah yang tidak bisa ditawar-tawar. Dengan doktrin Imamah seluruh gerakan syi’ah diarahkan, fanatisme dibangun, konflik dan perebutan kekuasaan dilakukan. Konsep khilafah yang menjadi bangunan politik kekuasaan Islam sepeninggal Rosulullah SAW diubah dan ditandingi dengan konsep bid’ah imamah ini.

            Sebagai gerakan politik yang mengarahkan pada perebutan kekuasaan, maka Revolusi Iran tahun tujuh puluhan menjadi tonggak awal bagi pengembangan dan peningkatan intensitas syiahisasi di negara-negara sunni. Tumbangnya rezim shah Iran, yang sama sama syiah (Syi’ah Ushuli  pimpinan Khomeni dan Syi’ah Akhbari yang dipimpin ulama pro-shah Iran), adalah momentum untuk membangun kekuatan politik global syi’ah. Ideologi perjuangan Imamah memiliki wujud nyata dalam bentuk lembaga politik “Wilayat al Faqih”. Sambil menunggu datangnya Imam Mahdi maka kekuasaan dipegang oleh “Waly al Faqih” atau Rahbar yakni Imam Komeini yang kini dijabat Ali Khamenei. Seluruh gerakan Syi’ah sebagian besar dimanapun tunduk pada komandonya. Produknya adalah kebijakan politik yang dilegitimasi oleh aspek teologis keimamahan dan doktrin-doktrin Syi’ah lainya. Semboyan “la syarqiyah wala gharbiyah illa Jumhuriyah Islamiyah” yang menarik anak-anak muda untuk mengapresiasi Revolusi Iran  digeserkan sedikit sedikit menjadi “laa syarqiyah wala gharbiyah illa Syi’ah Imamiyah”.   Iran membangun jaringan kelembagaan internasional di bidang kebudayaan, pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan politik. Da’wah syi’ah bergerak ke seluruh dunia, termasuk  ke negara-negara Islam yang mayoritas Sunni. Inilah yang disebut dengan ekspor revolusi oleh Khomeni.     

             Sebagai ideologi politik yang dikemas dengan aspek keagamaan, maka disamping direspons positif oleh kalangan muda, intelektual, habaib, ataupun santri yang bersemangat untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan perubahan sebagaimana di Iran, juga diantisipasi dengan penolakan atas kesesatan dan ancaman  bahayanya bagi keutuhan umat di suatu negara. Di beberapa negara konflik pun terjadi dengan sangat dahsyat seperti di Suriah dan Irak (yang memunculkan fenomena Negara Islam Irak Suriah/NIIS), konflik horizontal di Lebanon dan Bahrein, kudeta Syi’ah di Yaman. Libya pun Syi’ah Fathimiyah dominan. Mesir, Tunisia, Maroko, Al Jazair, Sudan mengalami konflik Sunni-Syi’i yang berujung pada pengusiran dan pelarangan. Malaysia dan Brunei menjadikan Syi’ah ajaran terlarang. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Syi’ah yang menjadi gerakan politik selalu mengincar kekuasaan politik dimanapun, resistensinya tinggi karena perjuangan politiknya dibarengi dengan menyerang keyakinan Sunni seperti Sahabat, Istri Nabi, Al Qur’an, Hadits, Syari’at serta akidah yang kontroversial.

            Di Indonesia memang sebagai gerakan politik Syi’ah belum masif, namun tersebarnya kader-kader Syi’ah di lembaga-lembaga politik mengindikasi bahwa ia akan bergerak ke arah habitatnya. Sinyal keberanian tampil sebagai kader Syi’i menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tinggi akan “kekuatan” yang telah terbangun. Menurut penulis ada 10 (sepuluh) faktor yang membuat kader atau aktivis Syi’ah lebih berani mendhohirkan perjuangannya di Indonesia, yaitu:

  • Pertama, telah berdiri banyak Yayasan,  ormas, lembaga pendidikan dan majelis taklim yang secara leluasa tanpa hambatan yang berarti dapat menjalankan aktivitas penyiaran faham Syi’ah di berbagai daerah di Indonesia.
  • Kedua,  banyak pelajar yang sedang dan telah kembali dari belajar di lembaga pendidikan Syi’ah di Iran sehingga pendakwah Syi’ah semakin signifikan.
  • Ketiga,  paradigma HAM universal yang melindungi minoritas, sehingga Syi’ah bersatu dengan kelompok dan agama minoritas di Indonesia, membangun strategi bersama dengan umat non muslim.
  • Keempat, pemerintah Indonesia yang permisif terhadap perkembangan Syi’ah terbukti ormas Syi’ah dapat bermuktamar di gedung Kemenag RI.
  • Kelima, dalam konteks politik kader Syi’ah mendapat suaka dari partai politik pemenang pemilu, sementara Presiden RI adalah dari Partai tersebut.
  • Keenam, peran besar Iran melalui Kedubes nya di jakarta memback-up penuh program syiahisasi di Indonesia termasuk pendanaan. Islamic Cultural Centre (ICC) lembaga strategis dibawah kendali Atase Kebudayaan Kedubes Iran di Jakarta.
  • Ketujuh, gerakan-gerakan anti Syi’ah yang muncul belum mampu memberi kesadaran kepada Pemerintah bahwa Syi’ah adalah faham sesat yang membahayakan persatuan bangsa.
  • Kedelapan, Syi’ah dan pemimpinnya belum dapat dijangkau sebagai pelaku penodaan agama yang diancam delik hukum. Peristiwa Tajul Muluk dianggap kasus hukum berskala kecil di daerah.
  • Kesembilan, tokoh-tokoh Islam moderat dan liberal serta nasionalis memberi support perlindungan atas hak hidup aliran Syi’ah yang masih dipandang sebagai madzhab dalam Islam.
  • Dan kesepuluh, kepentingan global yang dikendalikan barat (kapitalis dan zionis) akan membuka peluang bagi pengembangan Syi’ah di Indonesia, targetnya adalah konflik dengan umat Islam (Sunni) yang pada arena konflik inilah kekuatan global itu akan memainkan kendali.  

            Sebagai gerakan politik dukungan Iran bukan mustahil dalam waktu dekat Syi’ah di Indonesia akan melakukan pengelompokan politik yang lebih kental, misalnya membuat partai politik. Ormas Ahlul Bait Indonesia (ABI) dan jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) akan menjadi embrio dari penggumpalan politik tersebut. Dengan demikian legalitas politik untuk mengembangkan ajaran Syi’ah akan menjadi lebih kuat. Sayap-sayap ekonomi dan militer juga akan terpikirkan serius kemungkin ke depannya. Semuanya menuju pada kesiapan untuk berkonflik dengan Sunni. Tokoh Syi’ah Jalaluddin Rahmat pernah “mengancam” ketika peristiwa Sampang terjadi “mengorbankan darah dan mengalirkannya bersama darah imam Husen adalah mimpi yang diinginkan oleh orang Syi’ah”  lalu penegasannya “Apakah kita harus memindahkan konflik Sunnah-Syi’ah dari Irak ke Indonesia ?”. Gerakan politik adalah jalan yang sarat dengan konflik dan Syi’ah di Indonesia apabila telah memasuki tahap ini sulit untuk menghindarkan diri dari arena konflik dan peperangan abadi Sunni-Syi’i. 



SYI’AH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

            Hukum bertujuan agar pergaulan bersama menjadi tertib dan damai. Para pelanggarnya dihukum agar tak terulang perbuatan yang sama. Di samping masyarakat pun merasa aman dan nyaman karena tak akan terusik lagi oleh perbuatan buruknya tersebut. Syi’ah menurut ajaran Islam dapat dikategorikan sebagai ajaran buruk karena bersifat menyerang keyakinan lain. Serangan keras sampai pada melaknat adalah mengusik ketentraman dan membangun kemarahan. Bagaimana tidak umat Islam yang memuliakan Nabi, Shahabat, dan istri-istri Nabi dilecehkan sedemikian rupa oleh penganut Syi’ah. Belum lagi merendahkan derajat Kitab Suci Al Qur’an yang disebut tidak lengkap dan telah diubah-ubah oleh Shahabat (tahrif). Ini adalah penodaan Agama. Hukum negara tentu telah mengatur mengenai delik penodaan Agama tersebut baik dalam UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama maupun dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156a.

            UU No 1/PNPS/1965 bermaksud melindungi umat beragama dengan sanksi jelas bagi penoda agama sebagaimana dirumuskan dalam deliknya: 

Pasal 1 berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritrakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok ajaran agama itu”

Pasal 156 a KUHP berbunyi:  “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan  a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” 

Ketentuan ini meskipun masih lemah dari hakekat perlindungan terhadap kesucian agama karena lebih bersifat menjaga “ketertiban umum” daripada “penodaan agama” itu sendiri, namun sudah “lumayan” untuk mencegah dan menghukum. Berdasarkan fakta empirik pemberlakuan ketentuan ini harus didahului dengan konflik atau reaksi keras penentangan terhadap pelaku penodaan tersebut.

            Kasus “Tajul Muluk” Pengurus IJABI di Sampang Jawa Timur dapat menjadi bahan berharga. Pengadilan Negeri Sampang telah menghukum tokoh Syi’ah ini setelah terjadi konflik penyerangan dan pembakaran hingga menewaskan tersebut (Putusan No 69/Pid.B/2012/PN.Spg hukuman 2 tahun). Delik Pasal 156 a KUHP dikenakan kepadanya. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya (No. 481/Pid/2012/PT. Sby hukuman 4 tahun) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia (No. 1787 K/Pid/2012 hukuman 4 tahun). Inilah pertama kalinya seorang missionaris Syi’ah dihukum karena melakukan penghinaan atau penodaan. Dengan adanya putusan hukum di tingkat Mahkamah Agung, maka hal ini dapat menjadi Jurisprudensi yang bagus.

            Hal penting yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim PN Sampang antara lain yang bersangkutan telah menyampaikan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, menyampaikan atau mengajarkan bahwa Al Qur’an yang ada tidak asli, menyampaikan atau mengajarkan rukun Iman 5 (tauhidullah, nubuwwah, al Imamah, al adl, al ma’aad) dan rukun Islam 8 (shalat, puasa, zakat, khumus, haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan al wilayah).

            Saat ini sedang digodog oleh Pemerintah RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang kehadirannya dapat mengkhawatirkan atau memberi harapan. Hal ini disebabkan belum jelasnya ketentuan yang dikandungnya karena RUU tersebut belum disosialisasikan ke masyarakat. Kekhawatirannya adalah RUU ini mereduksi ketentuan yang sudah ada seperti UU No 1/PNPS/1965, Pasal 156 a KUHP, dan SKB tentang pendirian Rumah Ibadah, atau melindungi ajaran-ajaran sesat seperti Ahmadiyah, Bahai, dan Syi’ah. Harapannya adalah dapat memperkuat status hukum SKB menjadi UU yang bersanksi pidana, memperkokoh UU Penodaan Agama, serta lebih menjelaskan tentang detail rumusan penodaan Agama tersebut termasuk menghina atau melecehkan Kitab Suci, Nabi, Istri dan keluarga Nabi, serta para Shahabatnya.      

            Perjuangan umat Islam yang mengkhawatirkan perkembangan gerakan Syi’ah yang semakin masif dan ofensif harus mampu menjadikan UU PUB nanti adalah UU yang jauh lebih maju dari peraturan perundang-undangan yang ada, harus lebih efektif untuk menangkal perkembangan faham sesat Syi’ah dan faham atau aliran sesat lainnya. Mampu menempatkan pengembangan Syi’ah sebagai perbuatan kriminal. 



PENUTUP

            Tiga hal yang patut difahami tentang faham Syi’ah yang berkembang di Indonesia Syi’ah Imamyiah Itsna ‘Asyariyah yaitu :
Pertama, Syi’ah itu sesat karena ajarannya bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam berdasarkan Qur’an dan Sunnah, membuat keyakinan akidah yang mengada-ada, ritual ibadah yang tak berdasar, serta tidak memiliki akhlakul karimah dengan gemar memaki dan melaknat shahabat, istri Nabi dan mengkafirkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Kedua, Syi’ah itu menyesatkan, karena misinya adalah mensyi’ahkan umat Islam, mengajak dan memurtadkan pemahaman yang lurus dari ahlus sunnah, membuat jaringan organisasi  dan membangun komunitas Syi’ah yang eksklusif, merayu Pemerintah agar diterima eksistensinya sebagai madzhab dalam Islam, serta mengelabui dan menipu banyak orang tua yang tidak mengerti sehingga anak-anaknya rela  di didik di lembaga-lembaga  pendidikan sesat Syi’ah.
Ketiga, Syi’ah itu membahayakan, karena ia bergerak bukan hanya dibidang da’wah dan pendidikan, juga telah melebar ke ruang ekonomi dan politik. Dukungan pemerintah Syi’ah Iran yang nyata telah mengusik kedaulatan negara dan bangsa, masif berupaya melakukan ekspor ideologi ke negara Indonesia pimpinan Jokowi yang sangat tak peduli dan luar biasa lemah, merusak sendi-sendi persatuan dan membangun konflik yang  mengancam NKRI.

            Umat Islam Indonesia harus melakukan antisipasi dini  menghadapi gerakan sesat Syi’ah yang sudah merambah ke jalur politik kini. Ormas Islam dan lembaga-lembaga da’wah serta kelompok-kelompok perjuangan Islam harus bersatu, bahu membahu untuk menggalang kekuatan bersama. Mendesak pemerintah agar memiliki kepekaan dan kewaspadaan tinggi terhadap ancaman nyata Syi’ah yang digerakkan oleh Negara Iran. Membuka mata bahwa Iran bermain mata dengan kaum Zionis untuk mengobrak abrik bumi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Indonesia adalah sasaran strategis di Asia tenggara.

            Sebelum tangan-tangan berbulu hitam dan jahat itu mencengkeram umat bangsa dan negara, umat Islam mayoritas bersama Pemerintah harus mampu memotong tangan-tangan itu terlebih dahulu. Hukum para pentolan dan tokoh-tokoh Syi’ah di Indonesia atas dasar penodaan Agama. Mereka berniat makar mengganti ideologi negara dengan deologi Syi’ah. Komunis memang berbahaya, tapi Syi’ah adalah ideologi yang lebih berbahaya karena yang dicabik-cabik bukan hanya kerukunan dan persatuan bangsa akan tetapi akidah dan ibadah umat, menyesatkan dan membawa ke area kemurkaan Allah SWT. Tak ada jalan menuju Surga yang bisa dilalui oleh faham dan ajaran sesat Syi’ah. Naudzubillahi min dzalik. Allahu Akbar, Nashrun minallah.   
      

Dikutip dari           : ANNAS

Penulis                 : Muhammad Rizal Fadillah

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: