Breaking News
Loading...

Suriah terkepung : “Kami tidak memiliki anak-anak lagi, hanya ada orang dewasa kecil disini.”
Foto by: middleeastupdate
Syiahindonesia.com - Anak-anak meninggal karena bantuan menumpuk di gudang, dan gencatan senjata belum memungkinkan pasokan bantuan dikirim.

Anak yang sakit sekarat karena obat yang bisa menyelamatkan nyawa menunggu di pos pemeriksaan, anak-anak terpaksa hidup dengan memakan pakan ternak dan daun, dan keluarga membakar kasur mereka hanya untuk menghangatkan diri.

Sekolah dijalankan di bawah tanah untuk berlindung dari bom barel, peti peledak penuh dengan serpihan tajam dan tanpa pandang bulu jatuh dari langit dengan sasaran yang tidak akurat sehingga beberapa pengamat mengatakan rezim secara de facto malakukan kejahatan perang.

Yang terluka dibiarkan mati karena kekurangan pasokan medis, anestesi, obat penghilang rasa sakit dan obat-obatan kronis; anak-anak sekarat karena kekurangan gizi dan bahkan menderita rabies karena tidak adanya vaksin, sementara ranjau darat dan penembak jitu menunggu siapa pun yang mencoba melarikan diri.

Adegan tersebut bukan berasal dari kamp kematian pada perang dunia kedua atau perbudakan Soviet. Ini adalah kenyataan hidup bagi lebih dari satu juta warga Suriah yang tinggal di daerah yang terkepung di seluruh negara yang dilanda perang, menurut sebuah laporan dari Save the Children.

Tanya Steele, kepala eksekutif badan amal tersebut, mengatakan: “Anak-anak meninggal akibat kekurangan makanan dan obat-obatan di wilayah Suriah yang berjarak hanya beberapa kilometer dari gudang tempat bantuan menumpuk. Mereka membayar harga atas diamnya dunia ”

Setidaknya seperempat juta anak yang tinggal di daerah yang terkepung di Suriah, perkiraan dari Save the Children, dalam kondisi yang digambarkan seperti tinggal di sebuah penjara terbuka.

Laporan ini didasarkan pada serangkaian wawancara ekstensif dan diskusi dengan orang tua, anak-anak, dokter dan pekerja bantuan di zona yang dikepung.

Ini menggambarkan dengan jelas kebrutalan mengejutkan yang terjadi di Suriah, lima tahun revolusi-berubah menjadi perang brutal yang menyebabkan setengah warga negara mengungsi dan menewaskan lebih dari 400.000 orang.

Penderitaan rakyat di daerah-daerah yang terkepung di Suriah juga merupakan akibat dari kegagalan masyarakat internasional untuk mengakhiri krisis. Kurang dari 1% dari mereka mendapat bantuan pangan pada tahun 2015 dan kurang dari 3% menerima pelayanan kesehatan.

Rihab, seorang wanita yang tinggal di Ghouta timur dekat Damaskus, yang telah dikepung oleh rezim Bashar al-Assad, menyatakan: “Ketakutan telah mengambil alih. Anak-anak sekarang menunggu giliran mereka untuk dibunuh. Bahkan orang dewasa hidup hanya untuk menunggu giliran mereka untuk mati. ”

Sebuah gencatan senjata yang dinegosiasikan bulan lalu oleh negara-negara besar seharusnya mampu membawa bantuan ke daerah-daerah yang terkepung, tapi pekerja kemanusiaan dan aktivis mengatakan rezim Assad, yang melakukan sebagian besar pengepungan di negeri ini, telah berulang kali menunda akses bantuan dan berpotensi melanggar perjanjian gencatan senjata.

Pada kenyataannya gencatan senjata belum mampu mengirimkan bantuan, sesuai perkiraan Médecins Sans Frontières bahwa ada 1,9 juta orang yang tinggal di daerah terkepung dan sulit dijangkau.

Hampir semua yang disurvei oleh Save the Children melaporkan bahwa anak-anak telah meninggal di komunitas mereka karena kurangnya obat yang disebabkan oleh pengepungan. Banyak yang mengurangi porsi makan dan beberapa bahkan tidak memiliki cukup makanan untuk satu kali makan sehari, sementara 25% melaporkan bahwa anak-anak setempat telah meninggal karena kekurangan makanan.

Laporan ini juga mendokumentasikan tragedi kehidupan lainnya di wilayah yang dikepung: peningkatan kekerasan seksual, pekerja anak, aksi kriminalitas, kekerasan dan penutupan sekolah sebagai konsekuensi dari serangan udara dan kondisi serba kekurangan.

Ahmed, seorang anak laki-laki yang tinggal di pinggiran Damaskus yang terkepung di Douma, mengatakan kepada pewawancara: “Ketika saya mendengar suara ledakan atau pesawat maka saya menjadi sangat takut dan saya bergegas melarikan diri dan bersembunyi di bawah tempat tidur saya.”

Rihab mengatakan: “Di sini tidak ada anak-anak lagi. Hanya ada orang dewasa kecil. ”

The Guardian

(middleeastupdate)

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: