Breaking News
Loading...

Mungkinkah Syiah dan Ahlus Sunnah Bersatu? (Bag. 2)
Permasalahan Taqiyyah
Penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At–Taqiyyah.[1] Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah) akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya satu rambut (yaitu Syiah).

Walaupun para pelaku peran “Taqiyyah” dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang telah memerankan peranan mereka.

Di antaranya hadis yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al-Baqir meriwayatkan suatu hadis yang di antara bunyinya: “At-Taqiyyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah.” [2]

Syaikh ahli hadis mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuwaih Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul al-I’tiqadaat:

“Bertaqiyyah wajib hukumnya, barang siapa meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan shalat.”

Ia juga berkata, “Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi), dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama Allah Ta’ala, dan dari agama al-Imamiyyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan para Imam.” [3]

Celaan Terhadap Al Quran
Sampai al-Quran al-Karim pun, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin—semoga Allah merahmati mereka—dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.

Bahkan salah seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An-Nuri At-Thabarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al-Murtadhowi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al-Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama kota Najef ini, pada tahun 1292 H. di saat ia berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali radhiyallahu ‘anhu menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (Maknanya: “Keterangan Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja”). Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah di sepanjang masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan dikurangi.

Buku karya At-Thabarsy ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289 H, dan kala itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al-Quran hanya diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar beratus-ratus di kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain yang ia beri judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Maknanya: Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja”). Ia menuliskan pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.

Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal yang dijadikan bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hlm. 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi’ah disebut dengan nama “Surat Al Wilayah”. Pada surat ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:

يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم …إلخ

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dan seterusnya.”[4]

Demikianlah surat Syi’ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat non Arab, hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah “Al-Quran” yang dimiliki kaum Syi’ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al-Quran milik kita—umat Islam Ahlusunnah wal Jama’ah—adalah Al-Quran dengan bahasa Arab yang nyata, tidak ada kesalahan, sarat dengan rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka buta.

Dan seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udy, beliau adalah kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syekh Muhammad Baduh—berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk manuskrip, yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At- Thabarsy dalam bukunya: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”

Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al-Kasymiri. Buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya “Tarikh Al-Mashohif” (Sejarah Mushaf-mushaf) jilid 2, hlm. 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hlm. 431-439.

Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al-Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al-Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hlm. 289, dari kitab Al-Kafi (Judul lengkap Kitab ini ialah al-Jami’ al-Kafi, karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran. Kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan “Shahih Al-Bukhari” menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut, dalam kitab Al-Kafi, termaktub sebagai berikut:

“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam, maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar-Ridha, wafat pada tahun 206 H, ia menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya, ’Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al-Quran yang tidak ada pada Al-Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab, ’Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”

Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali bin Musa Ar-Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al-Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam).

By Maman Rukmana, diadaptasi dari buku: “Mungkinkah Syi’ah & Sunnah Bersatu?” karya Syekh Muhibbuddin terbitan Pustaka Muslim.



[1] At-Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadis, di antaranya hadis yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang pada hadis ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca, Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary, India).

[2] Lihat, Al–Ushul Min al–Kafi, bab at–Taqiyyah, jilid 2, hlm. 219.

[3] Baca, Risalah al–I’tiqadaat, pasal at–Taqiyyah, terbitan Iran tahun 1374 H.

[4] Kelanjutan surat ini—sebagaimana dapat anda lihat pada bagian selanjutnya—sebagai berikut: “Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: ‘Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul? Apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi’.”

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: