Breaking News
Loading...

Tolak Tawhidi, Benarkah ABI-IJABI Anti Takfiri?
Salah satu berita yang diposting oleh media Syiah Liputanislam.com yang secara tersirat menyebutkan bahwa ABI dan IJABI bukanlah takfiri
Syiahindonesia.com - Setiap tanggal 18 Dzulhijjah, kaum Syiah memperingati sebuah hari raya bernama Idul Ghadir, atau biasa juga disebut Ghadir Khum. Menurut pemahaman mereka, di sebuah ghadir (muara) bernama Khum itulah Nabi Muhammad SAW pernah mewasiatkan tongkat estafet kepemimpinan umat kepada shahabat Ali bin Abi Thalib RA.

Tentu saja, hinaan dan celaan kepada tiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib menjadi menu rutin dalam perayaan tersebut. Ketiganya—Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan radhiyallahu anhum—disebut sebagai perampas tampuk kepemimpinan umat dari Ali bin Abi Thalib RA.

Pada Dzulhijjah tahun 1436 H ini, di sosial media beredar kabar kedatangan seorang tokoh Syiah Australia bernama Muhammad Tawhidi, untuk memimpin perayaan Ghadir Khum di sebuah lokasi di Jawa Barat. Namun, dua ormas besar Syiah yaitu Ahlulbait Indonesia (ABI) dan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), menolak kehadirannya.

Alasannya, Tawhidi dinilai sebagai aliran takfiri yang akan memperkeruh hubungan kaum Syiah dengan umat Islam di Indonesia. Kedua organisasi tersebut, sebagaimana dirilis sebuah situs online, menolak penghinaan terhadap simbol-simbol yang dihormati kaum Muslimin.

“Ajaran Mazhab Ahlul Bait yang sejati menegaskan untuk tidak menyinggung isu-isu yang dapat menyulut perselisihan, yang dapat memecah belah ummat dan merusak persatuan. Ahlul Bait secara tegas memerintahkan untuk tidak berkata-kata yang tidak layak, mengumpat, mencaci dan menghujat, menyulut permusuhan dan memancing pertengkaran,” demikian kutipan seorang tokoh Syiah yang dinukil situs tersebut.

Membaca rilis ABI dan IJABI, yang terbayang dalam benak kita adalah sosok ajaran Syiah yang santun, lembut dan sangat menghormati simbol umat Islam—meski mereka sendiri tidak menolak menganggap sebagai sebuah simbol. Benarkah demikian? Mari kita kaji buah karya mereka.

Berikut data redaksi yang tercantum dalam beberapa buku syiah berbahasa Indonesia :

1. Kecuali Ali
Ditulis oleh Abbas Rais Kirmani dan diterjemahkan oleh Musa Sahab dari judul “Ali Oyene-e Izadnemo” diterbitkan oleh Al-Huda atau ICC Jakarta, cetakan pertama : Rajab 1430/Juli 2009.


Berikut dari sekian data menyimpang di dalamnya :

“Dalam khutbah syiqsyiqiyah, Imam Ali AS mengkritik salah satu dari tiga khalifah berikut. Kritik terhadap Abu Bakar: “Dia Abu Bakar sangatlah mengetahui bahwa saya adalah orang yang paling layak menjadi khalifah dan apakah benar datangnya baju ke-khilafahan hanya bagi tubuh saya? Di masa kekhilafahannya bagai seseorang yang merasakan duri di mata dan tertusuk tulang di tenggorokan, “Demi Allah, anak dari Abu Quhafah (Abu Bakar) telah mengenakan baju kekhilafahan, padahal dia mengetahui bahwa saya seperti poros dan penggilingannya (kekhilafahan adalah hak saya). Air bah telah menimpa ku, tapi burung tidak akan terbang tinggi, kecuali akan kembali kepadaku.”

….. Kemudian Imam Ali as mengatakan, “Aneh, pada masa kekhilafahannya, Abu Bakar memohon maaf atas pelanggaran kekhilafahannya, namun di sisi lain beliau mengukuhkannya, untuk orang lainnya jika wafat nanti. (mengisyaratkan atas kemunafikan).” (halaman 143-144)

2. Antologi Islam (edisi revisi)

Diterjemahkan dari judul aslinya “Encyclopedia of Shia,” diterbitkan oleh Al-Huda atau ICC Jakarta, Cet ke III, Rabiul Awal 1433/Februari 2012:

– Tentang Ibunda Aisyah RA: “Kelakuaan buruknya di depan Rasulullah SAW mencapai puncaknya ketika beliau sedang shalat, dia menjulurkan kakinya di tempat sujud. Ketika beliau sujud dan mencubit kedua kakinya, dia menarik kakinya, ketika beliau berdiri untuk melanjutkan shalatnya, dia julurkan lagi kedua kakinya.”

“…. Dengan sifat yang semacam itu, layakkah dia dimasukkan ke dalam Ahlubait yang telah disucikan sesuci-sucinya oleh Allah SWT? Membantah Nabi saja sudah cukup untuk menunjukkan ketidak murnian ketaatan dan kecacatan dalam hal keshalihan. Dia malah memarahi dan menjauhi, memata-matai, mencurigai, bahkan menuduh Rasulullah SAW sebagai berpura-pura menjadi Nabi.” (hal 67).

– “Laporan-laporan lemah yang mengklaim adanya cinta yang berlebihan dari Rasulullah SAW kepada Aisyah senyatanya adalah dibuat oleh musuh-musuh Ali.” (Halaman : 69).

– Tentang Abu Hurairah RA: “Abu Hurairah adalah seorang Yahudi menjadi muslim pada hari Khaibar yang terjadi satu tahun setelah perjanjian Hudaibiyah dan hanya tiga tahun hidup bersama Nabi.” (hal 655)

– “Setelah Abu Hurairah masuk Islam, ia tidak punya apa-apa, ia biasa meminta orang-orang untuk membaca ayat Al-Qur`an bukan karena ingin memperoleh kebaikan dari Al-Qur`an. Ia ingin orang tersebut merasakan secara keagamaan dekat dan meminta Abu Hurairah ikut makan malam atau makan siang dengannya. Ini merupakan fenomena terkenal sebagai menggabungkan perut dan agama (menggabungkan agama dengan uang, perut, kekuatan … atau hal-hal yang remeh).” (Halaman 658).

– “Kemungkinan orang ini melakukannya, demi keuntungan pribadi, pengaruh, dan motivasi politik/sosial sangatlah tinggi, dan kita harus mengkhawatirkan hal itu….” (halaman 662)

– “Tidak ada yang suci mengenai pribadi-pribadi sahabat ini, secara khusus Abu Hurairah, yang harus mencegah seseorang mencari kebenaran dengan menyelidiki dan mengevaluai ulang perbuatan-perbuatan mereka..” (halaman 664)

3. The Shia; Asal Usul dan Keyakinannya
Judul asli “The Shia, Their Origin and Beliefs” karya Hasyim Al-Musawi diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, diterbitkan oleh Penerbit Lentera, cetakan pertama tahun 1996.

“Pelarangan (oleh) Abu Bakar, Umar dan Utsman dan sebagaian besar penguasa Umayyah tentang pencatatan sabda-sabda Nabi, serta penghancuran banyak koleksi sabda Nabi yang oleh sebagian sahabat Nabi, berdampak negatif bagi mazhab Sunni. Akibat kebijakan ini, madzhab Sunni kehilangan banyak sabda otentik Nabi, sementara ratusan ribu sabda dan riwayat palsu, khususnya yang berbasis riwayat-riwayat dan legenda-legenda Yahudi, beredar merajalela.” (halaman 225)

4. 40 Masalah Syiah
Sebuah buku karya Emilia Renita AZ, istri Jalaludin Rahmat. Editor Jalaludin Rahmat. Dikeluarkan secara resmi oleh IJABI.



Pada halaman 234-235 : “Di bawah ini adalah sebagian kecil contoh bidah-bidah pada Ahlussunnah, berikut siapa pelakunya :

Abu Bakar :
– Menghapus hak muallafatu quluubuhum.
– Menghapus hak keluarga Nabi SAW dalam khumus.
– Nabi tidak mewariskan apa-apa.
– Membebaskan Khalid bin Walid yang menikahi perempuan tanpa iddah.
– Melarang penulisan hadits dan membakarnya.
Umar bin Khatthab :
– Menentang Rasulullah SAW untuk menulis wasiatnya
– Mensunnahkan shalat tarawih dalam jamaah.
– Menghapus hayya ‘ala khairi al-amal.
– Melarang nikah mut`ah.
– Tidak ada shalat kalau tidak ada air.
– Menetapkan talaq tiga dalam satu saat
– Melarang haji tamattu’
……..”

5. Al-Mustafa
Karya Jalaludin Rahmat, diterbitkan oleh Muthahhari Press. Pada hal 109-111 dimuat ungkapan Jalal bahwa Ibunda Aisyah telah berbohong tentang riwayat kepemimpinan shalat Abu Bakar yang menggantikan Rasulullah SAW.
Kemudian di halaman yang sama, Jalal melakukan manipulasi nama tempat dalam hadits “Sunh” bukanlah berpuluh meter dari Madinah.

Demikian, dan masih banyak data buku-buku berbahasa Indonesia baik dari pihak ABI dan IJABI yang memuat banyak tulisan-tulisan kontroversial. Buku-buku tersebut masih berlaku dan disebarluaskan.

Taqiyyah?

Jika memang ABI dan IJABI menyatakan penolakan terhadap tokoh semisal At-Tauhidi dan Yasir Habib karena dianggap kontroversial dan ekstrim terhadap ajaran dan simbol Sunni, sehingga bisa mencederai slogan persatuan atau pendekatan antara madzhab Syi’ah dan Sunnah, maka bagaimana dengan buku-buku berbahasa Indonesia yang memuat tulisan-tulisan miring yang menyakiti Ahlussunnah?

Apakah ABI dan IJABI juga merekomendasikan buku-buku tersebut ditarik dari peredaran, atau setidaknya ada revisi tetang isi miring tersebut?

Yang jelas, sampai sekarang kita dapatkan buku-buku tersebut justru semakin banyak diterbitkan. Sehingga semakin sulit membedakan antara Syiah ABI dan IJABI dengan At-Tauhidi dan Yasir Habib dan semisal mereka dalam hal keyakinan ekstrim dan menyimpang secara akal dan syar’i.

Wajar bila kemudian berkembang dugaan, penolakan yang dilakukan hanya sebatas kedok taqiyyah dalam upaya mengelabui umat Islam dan memuluskan program penyebaran Syiah di balik slogan agama persatuan dan cinta.

Sikap ini tak ubahnya sikap Ali At-Taskhiri yang menjadi wakil Syiah dalam upaya melakukan taqrib baina al-madzahib (pendekatan antar madzhab Sunni dan Syiah). Dalam forum tersebut dia menyampaikan bahwa Syiah menghormati Sunni dengan menfatwakan haram menciderai simbol-simbol Sunni, dan menyatakan bahwa fatwa tersebut bersumber langsung dari Rahbar dari tokoh utama Syiah Internasional di Iran, Ali Khamenei.

Namun fakta di lapangan sangat berseberangan. Tak berselang lama setelah forum itu diadakan, di hari-hari besar Syiah, umat Syiah di Iran, Iraq, Lebanon, Mesir, Bahrain, Kuwait dan Qatar dan di beberapa tempat lainnya melaknat Abu Bakar dan Umar RA, mencela Ibunda orang-orang beriman Aisyah dan Hafshah RA. Praktik ini terlihat jelas di jalan-jalan raya dan tempat terbuka, dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Peringatan hari Idul Ghadir ( Hari Pelantikan Imam Ali as ) oleh Rasulullah tgl 22 oktober 2013 di Yayasan As Shadiq Bondowoso

Sudah bukan rahasia lagi jika laknat dan kecaman terhadap simbol Islam merupakan doktrin dan ajaran pokok madzhab Syiah Imamiyah yang tidak bisa diganggu gugat. Bersatu dengan Ahlussunnah dan mengaku tidak boleh mencela, melaknat dan menciderai simbol-simbol Islam, berarti mencabut ajaran-ajaran dasar yang sudah lekat dan mengakar dalam keyakinan mereka sejak lama. Bahkan mungkin mereka bisa keluar dari madzhab Syiahnya.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi yang semula menfatwakan setuju dengan upaya taqrib tersebut—karena demi menjaga darah dan keamanan minoritas Ahlussunnah atau Ahlussunnah lemah yang hidup di bawah tekanan mayoritas Syiah dan minoritas Syiah yang berkuasa seperti Iran, Iraq, Lebanon, Suriah, Ahwaz dan sebagainya, dan mengurangi celaan terhadap simbol-simbol Islam—kemudian menarik diri dari fatwa tersebut karena melihat fakta yang berbeda di lapangan dan justru semakin tambah parah.

“Selalu tersenyum manis dan membuka kedua tangannya lebar-lebar agar kami jatuh dalam pelukannya setelah itu menikam dari belakang.”

Penulis: Muhajirin, Lc, peneliti aliran sesat, tinggal di Jakarta.

Sumber: kiblat.net

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: