Breaking News
Loading...

Idul Ghadir Dalam Pandangan Sejarah (Bag. 2)

oleh: Alwi Alatas

Keempat, jarak antara peristiwa Ghadir Khum dengan wafatnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam hanya sekitar tiga bulan, sebuah rentang waktu yang singkat, dan ada banyak yang menyaksikan serta mendengarkan kata-kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam itu.

Jika memang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bermaksud menunjuk Ali sebagai penggantinya pada peristiwa Ghadir, maka tidak masuk akal jika tiga bulan kemudian, saat Nabi wafat, semua Sahabat lupa dengan penunjukkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam itu. Dan tidak masuk akal juga jika semua sahabat berkhianat dan membatalkan kepemimpinan Ali, padahal Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam baru saja mengangkatnya tiga bulan sebelumnya.

Ketika membaca kitab-kitab sejarah bahwa pada awalnya memang sempat ada perbedaan pendapat tentang siapa yang akan menggantikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam selepas wafatnya. Ada sekumpulan Anshar yang hendak memilih pemimpin sendiri, ada sekumpulan muhajirin yang kemudian memilih Abu Bakar (ini yang terjadi di Tsaqifah Bani Saidah), dan ada pula sekumpulan sahabat yang condong kepada Ali bin Abi Thalib.

Dalam buku-buku sejarah kita dapati bahwa para sahabat yang berpihak kepada Ali bin Abi Thalib biasanya berhujjah pada keutamaan beliau dan kedekatan nasab beliau pada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (tentu saja tanpa menolak keutamaan Abu Bakar as-Siddiq), dan mereka tidak bersandar pada peristiwa Ghadir Khum.

Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak memahami kata-kata Nabi di Ghadir Khum sebagai pengangkatan pemimpin. Tetapi mereka memahaminya sebagai sesuatu yang lain.

Jika mereka semua memahaminya sebagai penetapan Ali bin Abi Thlaib sebagai pemimpin, adalah aneh jika peristiwa Ghadir terpingirkan saja dari wacana kepemimpinan pada proses suksesi selepas Nabi wafat. Dan juga tidak masuk akal jika mereka diam karena takut kepada Abu Bakar dan Umar bin Khathab. Sebab, mereka berdua tidak memiliki tentara untuk memaksakan diri sebagai pemimpin.

Kalau begitu apa makna mawla yang lebih tepat dalam hadits di atas. Menurut hemat penulis lebih tepat adalah dimaknai sebagai ‘sahabat’ atau ‘kekasih’.

Berikutnya, apa keperluan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam menyampaikan kata-kata tersebut di hadapan para sahabat dan di tahun terakhir masa hidupnya?

Tampaknya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam hendak mengingatkan kepada ummatnya untuk senantiasa menjaga hubungan dan tidak saling menyakiti anggota keluarganya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tentu mengetahui bahwa pada satu masa akan ada orang-orang yang tidak suka kepada Ali dan keluarganya, terutama karena fitnah dan konflik politik yang terjadi di dunia Islam, ataupun karena alasan lainnya.

Tampaknya kepada mereka yang memiliki sikap semacam ini, selain kepada kaum Muslimin secara umum, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam mengingatkan untuk tidak bersikap buruk terhadap Ali dan keluarganya. Karena siapa yang menganggap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam sebagai mawla-nya, maka Ali juga adalah mawla-nya.*

Pemerhati sejarah Islam, penulis buku “Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib III”

(Hidayatullah.com/syiahindonesia.com)

************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: