Breaking News
Loading...

Perayaan 'Idul Ghadir Tidak Pernah Ada Dalam Islam!
Fakta di balik peristiwa ghadir khum

والحديث أصله في صحيح مسلم من حديث زيد بن أرقم – رضي الله عنه – أنه قال :” قام رسول الله صلى الله عليه واله وسلم يوما فينا خطيبا بماء يدعى خما بين مكة والمدينة فحمد الله وأثنى عليه و وعظ وذكر ثم قال : أيها الناس فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربى فأجيب وأنا تارك فيكم ثقلين : أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله واستمسكوا به )فحث على كتاب الله ورغب فيه ثم قال(وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ” .
وجاء في بعض طرق الحديث أن النبي – صلى الله عليه وسلم أمر بالصلاة فأخذ بيد علي – رضي الله عنه – فقال :” ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم ؟ قالوا : بلى . قال ألست أولى بكل مؤمن من نفسه قالوا : بلى قال : فهذا ولي من أنا مولاه ، اللهم وال من والاه ، اللهم عاد من عاداه ” .
وفي رواية ” من كنت مولاه فعلي مولاه “

Dari Zaid bin Arqam radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu hari berdiri khutbah disuatu air mata yang disebut Khum antara Makah dan Madinah, beliau bertahmid kepada Allah dan memujiNya, dan memberi wejangan dan nasihat, kemudian berkata: “Amma badu, ketahuilah wahai manusia ! sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, hampir saja datang utusan dari Rabbku lalu aku memenuhi pangilanNya, dan aku tinggalkan kepada kalian dua perkara: yang pertama adalah kitab Allah yang didalamnya petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah, dan berpegang teguhlah dengannya.” Lalu beliau menganjurkan kami untuk berpegang dengan Kitab Allah. Kemudian beliau berkata: “dan keluargaku, aku mengingatkan kalian terhadap keluargaku, aku mengingatkan kalian terhadap keluargaku, aku mengingatkan kalian terhadap keluargaku…”

Dari jalur periwayatan lain disebutkan bahwasanya Nabi saw bersabda: “bukankah kalian mengetahui bahwa aku lebih diutamakan oleh kaum mukminin dari pada diri mereka sendiri ?” mereka berkata: benar. Beliau berkata: “bukankah kalian tahu bahwa aku lebih utama bagi setiap mukmin dari dirinya sendiri ?” Mereka berkata: benar. Lalu beliau memegang tangan Ali dan berkata: “barangsiapa yang aku walinya maka Ali adalah walinya, Ya Allah berwalilah kepada orang yang berwali kepadanya, dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

Hadits Ghadir Khum diatas sangat populer di kalangan Syiah sebagai dalil keabsahan Ali Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sampai sampai seorang ulama kontemporer, Abdul Hasan Umainy dari Syiah mengarang sebuah kitab berjudul Al Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab dalam enam jilid.
Kaum syiah menjadikan hari dimana Rasulullah berucap seperti riwayat tersebut diatas sebagai sebagai Ied dan musim yang dirayakan, bergembira dengan kedatangannya, mengkhususkan dan menjadikannya sebagai hari spesial bagi mereka, yaitu bertepatan pada tanggal tanggal 18 Dzul Hijjah.

Menurut mereka, setelah Allah menurunkan wahyu terakhir (Alyauma akmaltu lakum..), maka Rasul mengatakan Maha besar Allah yang telah menyempurnakan agama dan memilih Ali sebagai pemimpin setelahku. (Ghadir… 1/11).

Thibrisy di dalam A’lam Wara halaman 169-170 memberikan asbab wurud (sebab turunnya) hadits ini yang tak lain dan tak bukan adalah imamah Imam Ali sepeninggal nabi, karena tidak mungkin memberikan makna kenabian, maka yang paling tepat adalah imam. Walaupun ada sebagian kalangan Syiah yang menganggap Ali sederajat dengan Nabi.
Dalam konsep Syiah, hadits Ghadir ini tak pelak menjadi pegangan utama mereka dalam memberikan hak khilafah “wajib” kepada Imam Ali. Karena menurut mereka sangat jelas sabda nabi yang mengatakan bahwa siapa yang menganggap aku sebagai maulah (pemimpinnya-versi Syiah-), maka Imam Ali adalah pemimpinnya.

Kepemimpinan Imam Ali sepeninggal nabi dan keturunannnya menurut Syiah tidak boleh diingkari dan menjadi hak utama. Di dalam Abhal Madad Fi Syarah Ulama Baghdad:116 disebutkan wajibnya hak-hak tersebut ditunaikan dan menjadi akidah umat Islam.

Apa benar hadits diatas adalah dalil akan keimamahan Ali? Benarkah hadits ghadir khum ini menjadi bukti bahwa khlalifat sepeninggal Nabi haruslah Ali r.a?

Berikut ulasannya:

Ada beberapa point penting terkait klaim Syiah akan keimahan Ali sepeninggal Nabi dengan dalil hadits Ghadir diatas, yaitu:

a.    Tidak ada dalam hadits ghadir isyarat sekecil apapun bahwa Nabi mengangkat Ali atau lainnya dari ahlil bait sebagai Khalifah atau imam. Sebab wurud hadits adalah karena ada beberapa orang yang berbicara menggunjing sahabat Ali radhiyallahu a’nhu karena telah melarang mereka untuk menggunakan onta zakat dan meminta mereka mengembalikan perhiasan-perhiasan yang dilepaskan untuk mereka oleh wakilnya. Maka ketika nabi saw pulang dari haji di tempat yang namanya Ghadir Khum beliau berkhutbah membersihkan nama Ali dan meninggikan kedudukannya di sisinya agar hilang apa yang ada di hati banyak orang.

b.    Kata “maulah” yang terkandung di dalam hadits tersebut tidak kurang mengandung 23 makna menurut Ibnu Mandhur di dalam Lisanul Arab. Dan kita harus melihat konteks hadits tersebut untuk memastikan makna mana yang dimaksud. Setelah diteliti oleh ulama Ahlus Sunnah, makna yang paling tepat adalah makna mahabbah (kecintaan). Karena setelah kata kata فعلىي مولاه disambung dengan sabda nabi اللهم وال من والاه و عاد من عاداه (Sanyangilah orang yang menyayanginya dan bencilah orang yang yang membencinya). Ini jika kita teliti melihat konteks hadits tersebut. Apabila kita maknakan secara makna khalifah atau pemimpin, maka penggalan hadits ini setelahnya akan sangat paradoks dan tidak berdasar.

c.    Haidar Ali dalam Tahqiq Haula Nushsush Imamah menjelaskan kelemahan makna pemimpin dalam maksud hadits akibat hadits tersebut tidak diikat dengan kata kata بعدى (setelahku). Katakanlah jika yang dimaksud di sini mungkin benar bermakna pemimpin, maka ketika itu akan terdapat dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi dan Imam Ali, dan tentu kita tidak ada yang sepakat dalam hal ini.

d.    Di dalam I’tiqad Ala Madzhab Ahlus Sunnah wa Al Jama’ah: 205 Imam Baihaqi menuturkan sebuah riwayat. Ketika Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ditanyakan kepadanya, Bukankan Nabi Muhammad telah mengatakan من كنت مولاه فعلي مولاه, lantas Imam Hasan menjawab, sekiranya yang dimaksud oleh Nabi adalah pemimpin, maka Nabi akan menjelaskannya secara lebih terperinci, sebagaimana dijelaskannya perkara wajibnya shalat, puasa dan zakat.

e.    Tidak ada seorang sahabat pun yang memahami dari hadits ini bahwa Ali ditunjuk menjadi khalifah, tidak secara tersurat maupun tersirat. Oleh karena itu saat mereka berkumpul di SAQIFAH BANI SAIDAH (waktu membaiat Khalifah Abu Bakar assiddiq ra) tidak ada seporang pun yang berhujjah dengan hadits ini, karena memang para sahabat ra memahami bahwa al-maula yang ada hadits ini adalah untuk kecintaan dan kesetiaan. Bukan untuk imamah dan imarah. Bahkan Ali ra sendiri mengingkari orang yang memanggilnya dengan ya mawlana. Seandainya beliau memahami bahwa kata mawlana sinonim dari ya amirana ya imamana tentu beliau tidak mengingkari mereka.

f.    Salah satu bukti nyata bahwa hadits Ghadir ini tidak mengandung makna khalifah adalah ketika terjadi Musyawarah Bani Tsaqifah yang pada akhirnya membaiat Abu Bakar sebagai Khulafaur Rasyidin pertama, tidak ada seorang pun sahabat yang menggunakan dalil ini untuk mengangkat Imam Ali. Padahal peristiwa Ghadir Khum dan wafatnya Nabi hanya sekitar 70 hari saja dalam catatan sejarah. Padahal, sahabat ini sangat memahami hadits ini dengan baik, lagipun mereka tak akan bersepakat di dalam kesesatan.

g.    Antara peristiwa Ghadir dan wafat Nabi saw kira-kira hanya 70 hari, ini dengan ijma’nya orang syiah sebab mereka mengatakan bahwa peristiwa itu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10. berdasarkan kesepakatan bahwa wafatnya Rasul tanggal 28 shafar tahun 11, jadi jaraknya hanya 70 hari. Apakah masuk akal jika seluruh sahabat dalam waktu yang singkat ini melupakan hadits ini?!!. Bagaimana mungkin 100 ribu sahabat itu- seperti yang diyakini syiah- setelah 70 hari saja melupakan baiat yang telah mereka lakukan bersama nabi mereka?!! Sungguh tidak ada duanya kejadian seperti ini dalam sejarah manusia!!!

h.    Maka jika faktor untuk mengutip hadits itu ada dan penghalang dari itu tidak ada, tetapi tetap hadits itu tidak muncul maka ini menunjukkan kalau nash itu benar-benar tidak ada!!!
kata mawla menurut ibnul atsir bisa berarti:
الرب والمالك والمنعم والناصر والمحب والحليف والعبد والمعتق وابن العم والصهر
“Tuhan, Yang Memiliki, Yang memberi nikmat, penolong, mencintai, sekutu, hamba/budak, orang yang memerdekakan budak, saudara sepupu, dan menantu.”
Kalau nabi saw ingin mengangkatnya menjadi khalifah tentu tidak menggunakan istilah yang mengandung banyak makna, lebih utama kalau nabi yang sangat fashih dan nashih itu mengatakan: “Khalifah adalah Ali”.

i.    yang dimaksud dengan “Man kuntu mawlahu fa aliyy mawlahu” adalah kecintaan dan kesetiaan serta wasiat untuk berbuat baik kepada ahlul bait, dan menjelaskan tingginya kedudukan ahlul bait. Tidak ada dalam redaksi maupun mafhumnya bahwa Ali adalah imam atau khalifah!

j.    Seandainya Nabi saw menginginkan awla tentu tidak akan mengatakan mawla akan tetapi akan mengatakan awla. Kalau kita mengalah bahwa maksud dari mawla adalah awla niscaya maksudnya adalah bukan wilayah, hukum dan kepemimpinan mengatur urusan kaum muslimin, karena Allah telah berfirman:
{ إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين }
Maka apakah para pengikut Nabi Ibrahim menjadi pemimpin atas Nabi Ibrahim? Atau apakah para pengikut Ibrahim menjadi pemimpin semua?

k.    Sebagian ulama syiah sendiri menolak jika hadits Ghadir khum diartikan sebagai pernyataan atas imamah Ali setelah Rasulullah saw. An-Nuri al-Thubrusi berkata:
:” لم يصرح النبي لعلي بالخلافة بعده بلا فصل في يوم الغدير وأشار إليها بكلام مجمل مشترك بين معان يحتاج في تعيين ما هو المقصود منها إلى قرائن

l.    Adapun riwayat dengan lafazh “wa huwa waliyyukum min ba’di” maka telah didhaifkan oleh para pakar hadits. Ia datang dari 2 jalur, dalam sanadnya ada ja’far ibn Sulaiman dan Ajlaj al-Kindiy yang sangat lemah.
Adapun tambahan min ba’di maka kata al-Mubarakfuri adalah tambahan dari dua perawi syiah tadi. Kbeliau berkata:
:” والظاهر أن زيادة ( بعدي ) في هذا الحديث من وهم هذين الشيعيين جعفر بن سليمان والأجلح ويؤيده أن الإمام أحمد روى في مسنده هذا الحديث من عدة طرق ليست في واحدة منها هذه الزيادة

m.    Meskipun kita anggap benar misalnya maka hadits ini bertentangan dengan keyakinan orangh syiah sebab mereka meyakini keimamahan Ali semenjak Nabi masih hidup berdasarkan ayat
{ إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون
Lalu bagaimana ada tambahan “min ba’di?!”
Kita, tidak menolak hadits Ghadir Khum, sebagaimana kita tidak menolak untuk mencintai ahlul bait. Tetapi sebagai ummat Islam, kita harus menolak segala penyimpangan dan distorsi sejarah yang berkembang.Wallahu A’lam. (Nisyi/Syiahindonesia.com)


************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: